10 Kekeliruan dalam Wacana Anti RUU Pornografi
Ditulis pada Oktober 5, 2008 oleh Ade Armando
Seusai Ramadhan ini, DPR akan membicarakan kembali RUU Pornografi yang kontroversial. Ada harapan,RUU ini bisa disahkan menjadi UU sebelum akhir tahun. Kritik terhadap draft RUU yang beredar sudah banyak terdengar. Sebagian kritik bahkan sampai pada tahap “Hanya satu kata – Lawan!”. Sembari mengakui bahwa RU tersebut masih mengandung beberapa hal yang perlu diperebatkan, saya merasa salah satu persoalan yang mendasari ketajaman kontroversi adalah adanya kekeliruan mendasar dalam mempersepsikan dan menilai RUU ini. Saya ingin berbagi pandangan tentang apa yang saya lihat sebagai 10 kekeliruan mendasar dalam kritik terhadap RUU. Laporan lebih lengkap tentang RUU Pornografi ini sendiri akan dimuat dalam Majalah Madina edisi Oktober ini.
Rangkaian kekeliruan cara pandang tersebut adalah:
1. RUU Pornografi ini bertentangan dengan hak asasi manusia karena masuk ke ranah moral pribadi yang seharusnya tidak diintervensi negara.
Argumen ini memiliki kelemahan karena isu pornografi bukanlah sekadar masalah moral. Di berbagai belahan dunia, perang terhadap pornografi dilancarkan karena masalah-masalah sosial yang ditimbulkannya. Pornografi diakui – bahkan oleh masyarakat akademik—sebagai hal yang berkorelasi dengan berbagai masalah sosial.
Kebebasan yang dinikmati para pembuat media pornografis adalah sesuatu yang baru berlangsung sekitar 30-40 tahun terakhir. Sebelumnya untuk waktu yang lama, masyarakat demokratis di berbagai belahan dunia memandang pornografi sebagai “anak haram” yang bukan hanya mengganggu etika kaum beradab tapi juga dipercaya membawa banyak masalah kemasyarakatan.
Saat ini pun, industri pornografi yang tumbuh pesat dalam beberapa dekade terakhir dipercaya mendorong perilaku seks bebas dan tidak sehat yang pada gilirannya menyumbang beragam persoalan kemasyarakatan: kehamilan remaja, penyebaran penyakit menular melalui seks, kekerasan seksual, keruntuhan nilai-nilai keluarga, aborsi, serta bahkan pedophilia dan pelecehan perempuan. Sebagian feminis bahkan menyebut pornogafi sebagai “kejahatan terhadap perempuan”.
Karena rangkaian masalah ini, plus pertimbangan agama, tak ada negara di dunia ini yang membebaskan penyebaran pornografi di wilayahnya. Bentuk pengaturannya memang tak harus dalam format UU Pornografi, namun dalam satu dan lain cara, negara-negara paling demokratis sekali pun mengatur soal pornografi.
Di sisi lain, argumen bahwa soal “moral” seharusnya tidak diatur negara juga memiliki kelemahan mendasar. Deklarasi Univeral Hak-hak Asas Manusia (ayat 29), misalnya, secara tegas menyatakan bahwa pembatasan terhadap kebebasan berekspresi dapat dilakukan atas dasar, antara lain, pertimbangan moral dalam masyarakat demokratis. Hal yang sama tertuang dalam amandemen Pasal 28J UUD 1945. Dengan begitu, kalaupun RUU ini menggunakan pendekatan moral pun sebenarnya tetap konstitusional.
2. RUU ini memiliki agenda penegakan syariah.
Tuduhan ini sulit diterima karena RUU ini jelas memberi pengakuan hukum terhadap sejumlah bentuk pornografi. RUU ini menyatakan bahwa yang dilarang sama sekali, hanyalah: adegan persenggamaan, ketelanjangan, masturbasi, alat vital dan kekerasan seksual. Pornografi yang tidak termasuk dalam lima kategori itu akan diatur oleh peraturan lebih lanjut.
Dengan kata lain, RUU ini sebenarnya justru mengikuti logika pengaturan distribusi pornografi yang diterapkan di banyak negara Barat. Mengingat ajaran Islam menolak semua bentuk pornografi, bila memang ada agenda Syariah, RUU ini seharusnya mengharamkan semua bentuk pornografi tanpa kecuali.
Dengan RUU ini, justru majalah pria dewasa seperti Popular, FHM, ME, Playboy (Indonesia) akan memperoleh kepastian hukum. Mereka diizinkan ada, tapi pendistribusiannya akan diatur melalui peraturan lebih lanjut.
Memang benar bahwa kelompok-kelompok yang pertama berinsiatif melahirkan RUU ini, sejak 1999, adalah kelompok-kelompok Islam. Begitu juga dalam prosesnya, dukungan terhadap RUU ini di dalam maupun di luar parlemen, lazimnya datang dari komunitas muslim. Dalam perkembangan terakhir, bahkan pembelahannya nampak jelas: Konferensi Waligereja Indonesia dan Persatuan Gereja Indonesia meminta agar RUU tidak disahkan; Majelis Ulama Indonesia mendukung RUU.
Namun kalau dilihat isi RUU, agak sulit untuk menemukan nuansa syariah di dalamnya. Ini yang menyebabkan Hizbut Tahrir Indonesia secara terbuka mengeluarkan kritik terhadap RUU yang dianggap mereka sebagai membuka jalan bagi sebagian pornografi. Bagaimanapun, HTI juga secara terbuka menyatakan dukungan atas pengesahannya dengan alasan “lebih baik tetap ada aturan daripada tidak ada sama sekali”.
3. RUU ini merupakan bentuk kriminalisasi perempuan.
Tuduhan ini sering diulang-ulang sebagian feminis Indonesia. Tapi, sulit untuk menerima tuduhan ini mengingat justru yang berpotensi terkena ancaman pidana adalah kaum lelaki. RUU ini mengancam dengan keras mereka yang mendanai, membuat, menawarkan, menjual, menyebarkan dan memiliki pornografi. Mengingat industri pornografi adalah industri yang dibuat dan ditujukan kepada (terutama) pria, yang paling terancam tentu saja adalah kaum pria.
RUU ini memang juga mengancam para model yang terlibat dalam pembuatan pornografi. Namun ditambahkan di situ bahwa hanya mereka yang menjadi model dengan kesadaran sendiri yang akan dikenakan hukuman. Dengan begitu, RUU ini akan melindungi para perempuan yang misalnya menjadi “model” porno karena ditipu, dipaksa, atau yang gambarnya diambil melalui rekaman tersembunyi (hidden camera).
Para pejuang hak perempuan juga lazim berargumen bahwa RUU ini membahayakan kaum perempuan karena banyak model yang terjun ke dalam bisnis pornografi karena alasan keterhimpitan ekonomi. Sayangnya, kalau dilihat muatan pornografi yang berkembang di Indonesia, argumen itu nampak tidak berdasar. Para model pornografi itu tidak bisa disamakan dengan para pekerja seks komersial kelas bawah yang tertindas. Para model itu mengeruk keuntungan finansial yang besar dan sulit untuk membayangkan mereka melakukannya karena keterhimpitan dalam struktur gender yang timpang.
4. Definisi pornografi dalam RUU sangat tidak jelas.
Secara ringkas, definisi pornografi di dalam RUU ini adalah: “materi seksualitas melalui media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat”.
Para pengeritik RUU menganggap, definisi ini kabur karena penerapannya melibatkan tafsiran subjektiif mengenai apa yang dimaksudkan dengan “membangkitkan hasrat seksual” dan “melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat”. Karena kelemahan itu, para pengeritik menganggap RUU sebaiknya ditunda atau dibatalkan pengesahannya.
Kritik semacam ini tidak berdasar karena definisi soal pornografi yang lazim berlaku di seluruh dunia – kurang lebih – seperti yang dirumuskan dalam RUU itu. Ensiklopedi Encarta 2008, misalnya menulis pornografi adalah film, majalah, tulisan, fotografi dan materi lainnya yang eksplisit secara seksual dan bertujuan untuk membangkitkan hasrat seksual. English Learner’s Dictionary (1986-2008) mendefinisikan pornografi sebagai literatur, gambar film, dan sebagainya yang tidak sopan (indecent) secara seksual.
Di banyak negara, pengaturan soal pornografi memang lazim berada dalam wilayah multi-tafsir ini. Karena itu, pembatasan tentang pornografi bisa berbeda-beda dari tahun ke tahun dan di berbagai daerah dengan budaya berbeda. Sebagai contoh, pada tahun 1960an, akan sulit ditemukan film AS yang menampilkan adegan wanita bertelanjang dada, sementara pada abad 21 ini, bagian semacam itu lazim tersaji di filmfilm yang diperuntukkan pada penonton 17 tahun ke atas. Itu terjadi karena batasan “tidak pantas” memang terus berubah.
Soal ketidakpastian definisi ini juga sebenarnya lazim ditemukan di berbagai UU lain. Dalam KUHP saja misalnya, definisi tegas “mencemarkan nama baik” atau “melanggar kesusilaan” tidak ditemukan. Yang menentukan, pada akhirnya, adalah sidang pengadilan. Ini lazim berlaku dalam hukum mengingat ada kepercayaan pada kemampuan akal sehat manusia untuk mendefinisikannya sesuai dengan konteks ruang dan waktu.
5. RUU ini mengancam kebhinekaan
Cara pandang keliru ini nampaknya bisa terjadi karena salah baca. Dalam draft RUU yang dikeluarkan pada 2006, memang ada pasal-pasal yang dapat ditafsirkan sebagai tidak menghargai keberagaman budaya. Misalnya saja, aturan yang memerintahkan masyarakat untuk tidak mengenakan pakaian yang memperlihatkan bagian tubuh yang sensual seperti payudara, paha, pusar, baik secara keseluruhan ataupun sebagian.
Ini memang bermasalah karena itu mengkriminalkan berbagai cara berpakaian yang lazim di berbagai daerah. Tak usah di wilayah yang dihuni masyarakat non-muslim; di wilayah mayoritas muslim pun, seperti Jawa Barat, kebaya dengan dada rendah adalah lazim. Hanya saja, pasal-pasal itu seharusnya sudah tidak lagi menjadi masalah karena sudah dicoret dari RUU yang baru.
Begitu juga dengan kesenian tradisional yang lazim menampilkan gerak tubuh yang sensual, seperti jaipongan. Dalam RUU yang baru, tak ada satupun pasal yang menyebabkan kesenian semacam itu akan dilarang. RUU ini bahkan menambahkan klausul yang menyatakan bahwa pelarangan terhadap pornografi kelas berat (misalnya mengandung ketelanjangan) akan dianulir kalau itu memiliki nilai seni-budaya.
6. RUU ini akan mengatur cara berpakaian.
Sebagian pengeritik menakut-nakuti masyarakat bahwa bila RUU ini disahkan, perempuan tak boleh lagi mengenakan rok mini atau celana pendek di luar rumah. Ini peringatan yang menyesatkan. Tak satupun ada pasal dalam RUU ini yang berbicara soal cara berpakaian masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
7.RUU ini berpotensi mendorong lahirnya aksi-aksi anarkis masyarakat.
Para pengecam menuduh bahwa RUU ini akan membuka peluang bagi tindak anarkisme masyarakat, mengingat adanya pasal 21 yang berbunyi: “Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.”
Tuduhan ini agak mencari-cari, karena dalam pasal berikutnya, RUU menyatakan bahwa “peran serta” masyarakat itu hanya terbatas pada: melaporkan pelanggaran UU, menggugat ke pengadilan, melakukan sosialisasi peraturan, dan melakukan pembinaan terhadap masyarakat.
Dengan kata lain, justru RUU ini memberi batasan yang tegas terhadap kelompok-kelompok yang senang main hakim sendiri bahwa dalam alam demokratis, peran serta itu tak boleh ditafsirkan semena-mena.
8. RUU ini tidak perlu karena sudah ada perangkat hukum yang lain untuk mengerem pornografi.
Para pengeritik lazim menganggap RUU ini sebagai tak diperlukan karena sudah ada KUHP yang bila ditegakkan akan bisa digunakan untuk mengatur pornografi.
Argumen ini lemah karena sejumlah hal. Pertama, KUHP melarang penyebaran hal-hal yang melanggar kesusilaan yang definisinya jauh lebih luas daripada pornografi. KUHP pun menyamaratakan semua bentuk pornografi. Selama sesuatu dianggap “melanggar kesusilaan”, benda itu menjadi barang haram yang harus dienyahkan dari Indonesia. Dengan demikian, KUHP justru tidak membedakan antara sebuah novel yang di dalamnya mengandung muatan seks beberapa halaman dengan film porno yang selama dua jam menghadirkan adegan seks. Dua-duanya dianggap melanggar KUHP.
RUU ini, sebaliknya, membedakan kedua ragam pornografi itu. Media yang menyajikan adegan pornografis kelas berat memang dilarang, tapi yang menyajikan muatan pornografis ringan akan diatur pendistribusiannya.
Lebih jauh lagi, sebagai produk di masa awal kemerdekaan, KUHP memang nampak ketinggalan jaman. Terhadap mereka yang membuat dan menyebarkan hal-hal yang melanggar kesusilaan, KUHP hanya memberi ancaman pidana penjara maksimal 18 bulan dan denda maksimal empat ribu lima ratus rupiah! KUHP juga tidak membedakan perlakuan terhadap pornografi biasa dan pornografi anak.
9. RUU Pornografi tidak perlu, yang diperlukan adalah mendidik masyarakat.
Para pengecam menganggap bahwa sebuah pornografi tidak diperlukan karena untuk mencegah efek negatif pornografi yang lebih penting adalah memperkuat kemampuan masyarakat untuk menolak dan menseleksi sendiri pornografi. Jadi yang diperlukan adalah pendidikan melek media dan bukan Undang-undang.
Argumen ini lemah karena bahkan para pendukung mekanisme pasar bebas pun, lazim mempercayai arti penting aturan. Bila pornografi memang dipercaya mengandung muatan yang negatif (misalnya mendorong perilaku seks bebas, melecehkan perempuan, mendorong kekerasan seks, dan sebagainya), maka negara lazim diberi kewenangan untuk melindungi masyarakat dengan antara lain mengeluarkan peraturan perundangan yang ketat.
Di Amerika Serikat, sebagai contoh sebuah negara yang demokratis, terdapat aturan yang ketat terhadap pornografi yang dianggap masuk dalam kategori cabul (obscene). Di sana pun, masyarakat tak diberi kewenangan untuk menentukan sendiri apakah mereka mau atau tidak mau menonton film cabul, karena begitu sebuah materi pornografis dianggap `cabul’, itu akan langsung dianggap melanggar hukum.
Pendidikan untuk meningkatkan daya kritis masyarakat tetap penting. Namun membayangkan itu akan cukup untuk mencegah efek negatif pornografi, sementara gencaran rangsangan pornografi berlangsung secara bebas di tengah masyarakat, mungkin adalah harapan berlebihan.
10. RUU ini mengancam para seniman.
Tuduhan bahwa RUU ini akan mengekang kebebasan para seniman juga mencerminkan kemiskinan informasi para pengecam tersebut. RUU ini justru memberi penghormatan khusus pada wilayah kesenian dan kebudayaan, dengan memasukkan pasal yang menyatakan bahwa pasal-pasal pelarangan pornografi akan dikecualikan pada karya-karya yang diangap memiliki nilai seni dan budaya
Ade Armando: Pornografi bukan Semata Urusan Agama
Dampak negatif meruyaknya pornografi seperti semakin meluasnya perilaku seksual bebas, pelecehan seksual, perilaku seks menyimpang,penyebaran HIV/AIDS, seks permisif di kalangan generasi muda, dan aborsi, sudah banyak dirasakan masyarakat. Tanpa menyandarkan pada argumen teologis tertentu, pornografi menjadi problem kemanusiaan yang semestinya menjadi agenda bersama seluruh komunitas agama. Rekomendasi Sidang Tahunan MPR melalui TAP MPR No. VI Tahun 2002 kepada presiden agar mengambil langkah mencegah pornografi harus menjadi stimulasi lahirnya regulasi yang mengatur secara jelas masalah pornografi.
Berikut petikan wawancara Ulil Abshar-Abdalla dengan Ade Armando, ketua Jurusan Komunikasi FISIP UI dan aktivis LSM yang gencar memerangi pornografi, pada 15 Mei 2003:
Seberapa kronis kondisi real pornografi di Indonesia saat ini?
Sangat serius. Misalnya, Associated Press (AP) pernah menyatakan bahwa Indonesia akan menjadi “surga pornografi berikutnya” (the next heaven of pornography). Dua negara yang disebut AP adalah Indonesia dan Rusia. Indonesia jauh lebih serius dari Thailand, karena di Thailand sudah ada penataan yang sangat serius. Saat ini, di Thailand industri pornografi ilegal sudah semakin sempit. Nah, Indonesia dianggap sangat bebas, terutama kalau bicara masalah VCD porno. Juga karena Indonesia yang tidak mengatur adanya regulasi internet sama sekali.
Sekarang yang kita punyai menyangkut regulasi soal internet hanya berdasarkan KUHP pasal 282 tentang kesusilaan. Itupun terkait dengan larangan menyebarkan sesuatu yang melanggar susila dengan definisi yang amat longgar sekali. Selain itu, pasal 282 KUHP itu hanya menyebutkan larangan menyebarkan sesuatu yang membangkitkan birahi remaja.
Anda ingin mengatakan bahwa pasal-pasal dalam KUHP menyangkut kesusilaan itu tidak memadai?
Tergantung kita mau melihatnya dari segi mana. Justru kalau sekadar untuk menghabisi segala bentuk pornografi tanpa pandang bulu, (pasal KUHP) itu bisa dipakai. Itupun jika polisinya mau. Tapi itu bisa kontraproduktif.
Apa raison d’etre dari RUU Anti-Pornografi dan Pornoaksi?
Rancangan yang dimasukkan Departemen Agama (Depag) dan dibantu Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu bertajuk RUU Anti-Pornografi dan Pornoaksi. Sementara yang dibuat Badan Legislatif (Baleg) namanya hanya RUU Anti-Pornografi.
Ada situasi yang chaotic, sehingga adanya RUU Anti-Pornografi susah dibendung. Ada beberapa hal yang menjadi penyebabnya. Pertama, perlu diakui, industri pornografi dalam skala global itu tumbuh terus, terutama sejak tahun 1990-an. Di Indonesia, industri pornografi disebut secara khusus karena dia bisa diakses oleh siapapun. Dan tak ada regulasi sama sekali. Sekalipun kita bicara tentang negara-negara Eropa Barat yang sangat bebas dalam nilai-nilai seksualnya, mereka memproduksi pornografi, tapi dijual di tempat-tempat khusus. Tidak sembarang orang bisa membelinya.
Kedua, masalah harga dari produk pornografi yang murah sekali. VCD porno di Glodok, Jakarta, dengan uang sepuluh ribuan bisa dapat tiga atau empat keping. Dalam tingkat kevulgaran pornografi juga luar biasa. Harga semurah itu bisa terjadi karena teknologinya yang sangat murah. Anda tahu, kepingan VCD itu sangat murah. Jadi dengan margin keuntungan yang rendah pun, karena jumlah pembeli yang banyak, mereka bisa juga untung. Hal ini yang tak terjadi di Eropa Barat.
Bagaimana membatasi pornografi ini, karena definisi pornografi itu sendiri tidak jelas?
Bila kita kembali ke istilah generik pornografi, secara sederhana, berasal dari dua kata yang berarti “gambar” dan “pelacuran.” Tapi, dalam perkembangannya, definisi pornografi yang bisa diterima oleh masyarakat modern adalah materi-materi dalam media massa yang membangkitkan gairah atau syahwat seksual. Itu definisi yang paling sederhana.
Adapun definisi yang dipakai dalam RUU Anti-Pornografi dan Pornoaksi sangatlah detail. RUU yang dikeluarkan Depag ini memang ambisius karena mencakup semua hal. RUU ini betul-betul untuk membersihkan semua jenis pornografi dan -jangan salah- juga pornoaksi.
Lantas apa definisi pornoaksi itu sendiri?
Jika pornografi itu ter-cover di media, baik berupa gambar, grafis atau bisa juga suara di radio. Cakupan pornografi terkait dengan media. Adapun pornoaksi menyangkut concern yang sama seriusnya tentang perilaku masyarakat sehari-hari. Misalnya, pertunjukan live show atau striptease (tari telanjang) sebagaimana yang digambarkan dalam buku Jakarta Under Cover (2003) karangan Moammar Emka.
Apakah buku seperti “Jakarta Under Cover” itu nanti bisa terjaring dengan RUU itu?
Bisa jadi. Memang ada persoalan penafsiran. Ada yang lebih tegas misalnya, bila ada gambar payudara. Jadi pornografi yang tersiar melalui audio-visual jauh lebih mudah ketimbang yang berupa teks atau suara. Itu problem yang mengandung jebakan-jebakan tertentu. Sebetulnya RUU Anti-Pornografi dan Pornoaksi yang sekarang dibuat pun belum tentu memuaskan. Masih ada celah-celah kelemahannya.
Bagaimana jika kita belajar dari pengalaman negara lain dalam mengatur masalah pornografi?
Ada beberapa contoh. Ada negara yang menghabisi pornografi sama sekali. Kalaupun masih tersisa, pornografi berada di wilayah yang ilegal. Misalnya, Arab Saudi dan Iran. Negara yang agak bergerak ke arah sana, tapi masih membuka kemungkinan lain adalah Malaysia. Kalau kita lihat negara-negara Barat, kita jumpai mereka masih mempunyai regulasi tentang pornografi.
Di negara-negara Barat ada larangan dalam artian tidak bisa dijual secara bebas. Kalaupun diizinkan, tetap dengan operasi, distribusi dan pasar terbatas. Atau dengan penonton, konsumen dan pembaca terbatas. Kalau kita bikin perbandingan seperti itu, maka yang bisa diterima semua kalangan di sini adalah yang berada di tengah-tengah. Singapura itu keras sekali dalam menangani masalah pornografi.
Saya tidak menjumpai barang-barang pornografi yang dijual secara terbuka di Singapura?
Ya. Majalah Playboy dan Penthouse tidak akan dapat ditemukan di Singapura. Tapi Singapura tetap terbuka untuk akses ke MTV. Di TV kabel Singapura, Britney Spears dimungkinkan untuk ditonton. Tapi Britney Spears sudah dianggap sebagai sesuatu yang tak boleh disiarkan di TV Malaysia. Di Indonesia masih boleh kan? Meskipun demikian gambar-gambar yang benar-benar seronok masih sulit ditemukan pada tabloid-tabloid di sini.
Bahkan Singapura mengeblok akses ke situs-situs internet yang dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai Singapura. Salah kita selama ini adalah menganggap bahwa tak ada yang bisa diregulasi dari internet. Jadi ada sebuah list tentang hal-hal yang terlarang dalam soal pornografi dan ada hal yang masih dimungkinkan. Beda dengan Eropa Barat yang hanya membatasi distribusi, peredarannya dan akses terhadap terhadap pornografi.
Intinya, bentuk regulasi antarberbagai negara itu berbeda-beda?
Bahkan di Amerika Serikat (AS), regulasi soal pornografis antarnegara-negara bagian saja berbeda-beda. Ada yang disebut standar komunitas. Karena itu, menarik bila AS kita tiru dalam hal tertentu. AS itu negara yang sangat luas dan relatif heterogen, sehingga standar komunitas antara satu wilayah dengan wilayah lainnya berbeda-beda. Di Utah yang sangat konservatif, kita tidak bisa menemukan media porno seperti majalah Playboy. Sangat berbeda dengan San Francisco.
Sementara kecenderungan di Eropa Barat yang sangat liberal membuat diadakannya red district atau red zone. Karena di Indonesia tak ada regulasi pornografi, maka disebut sebagai the heaven of pornography. Anda bisa memperoleh di mana pun dan tidak ada pembatasan atas siapa pun untuk mengedarkan pornografi.
Kalau kita mengatasi pornografi dan pornoaksi secara eksesif, apalagi misalnya, berbasis doktrin Islam, apakah tidak kontraproduktif?
Saya setuju dengan argumen Anda. Kita sulit meniru Malaysia yang jelas dasar negaranya adalah Islam. Karena itu, masalah pornografi di Indonesia harus kita sikapi tanpa menyebut dasar agama. Perlu apresiasi dan toleransi pada pihak-pihak yang barangkali menjadi konsumen pornografi. Juga di sini ada pihak yang memproduksi pornografi. Karena negara ini sangat plural dan multikultural, maka standar penilaian terhadap pornografi bisa bermacam-macam.
Barangkali tidak terlalu realistis hendak menerapkan standar buat perangkat peraturan perundangan yang menyamakan saja seluruh aspek yang dianggap pornografi. Artinya, segenap materi yang di media massa yang membangkitkan syahwat, di mana standar agama tertentu punya kriteria yang sangat ketat, lantas tidak dibolehkan sama sekali, barangkali itu tidak realistis.
Bagaimana jika RUU Anti-Pornografi itu diterapkan dalam kasus Inul?
Jadi segala hal yang membangkitkan syahwat kemudian harus dilarang semuanya justru akan kontraproduktif. Kalau ada pasal-pasal seperti itu dalam RUU Anti-Pornografi dan Pornoaksi, saya khawatir, malah akan terjadi debat berkepanjangan, sehingga meng-counter sebuah proses yang sudah sangat sehat, yaitu melahirkan undang-undang yang akan mengatur masalah pornografi. Alih-alih kita mendapatkan undang-undang yang dapat memproteksi kita semua dari bahaya pornografi, RUU itu malah tidak kunjung selesai karena kita juga mengatur bagaimana perilaku orang sehari-hari.
Mengapa semua hal harus diandalkan pada pemerintah untuk mengurusnya?
Pornografi itu bukan urusan agama saja. Bahkan di negara-negara yang sangat sekuler pun, ada pengaturan masalah pornografi. Yang penting pornografi itu tidak merugikan masyarakat. Sebagian pihak menganalogikan pornografi dengan narkoba. Tapi sebetulnya analogi itu kurang tepat karena pornografi tidak tunggal, meski ada juga pornografi yang levelnya setingkat narkoba. Maka dari itu harus ada pornografi yang dilarang sama sekali.
Maksudnya, harus ada kesepakatan tentang gradasi pornografi. Harus ada pornografi yang jelas disepakati oleh siapapun sebagai sesuatu yang tidak boleh sama sekali. Misalnya, pornografi di mana model yang tampil disiksa, atau pornografi yang melibatkan anak-anak atau berhubungan dengan binatang. Itu bisa disepakati bersama. Bangsa ini bisa bersepakat tentang hal-hal yang tidak boleh sama sekali. Di luar itu ada hal-hal debatable. Misalnya, goyangan Inul yang dianggap sebagian pihak mengandung unsur pornografi. Nah, apakah Inul ini akan dilarang sama sekali? Apakah tampilannya di media saja yang dibatasi? Ataukah Inul boleh tampil dengan pembatasan-pembatasan?
Jadi harus ada regulasi, dan regulasi itu yang mengeluarkan adalah pemerintah. Jangan kontradiktif juga mengatakan bahwa pemerintah tak boleh campur tangan dalam urusan masyarakat ini. Masalahnya siapa yang menjamin regulasi itu akan berjalan? Pemerintah juga kan. Maka perlu ada penataan dan aturan yang jelas, misalnya dalam masalah VCD porno. Saya kasih contoh sederhana saja. Buku tentang teknik bersenggama, misalnya. Bolehkah buku itu beredar di sebuah negara? Nah, kalaupun boleh, buku jenis itu mesti ditaruh di tempat khusus semacam adult book (bacaan dewasa), misalnya. Bukannya ditaruh di bagian best seller.
Dalam penerapannya, regulasi soal pornografi apakah bisa dilakukan secara beragam?
Bentuk regulasi itu bisa berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lain. Undang-undangnya memang berlaku secara nasional, tapi tentang materi yang dilarang itu mesti lebih dahulu diperjelas. Misalnya, pornografi yang melibatkan anak, berhubungan dengan binatang dan mengandung unsur kekerasan, harus dilarang di seluruh Indonesia.
Tapi ada juga pengaturan pornografi yang lebih detail. Misalnya dalam hal distribusi. Bagaimana mengatur distribusi agar tayangan-tayangan pornografi itu tidak menggangu kalangan beragama. Kaum beragama di Padang dengan Bali, tentu saja, punya standar komunitas yang tidak sama. Masalah distribusi bisa berbeda teknisnya antara satu daerah dengan daerah lain.
Referensi: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=323