Angan-angan Negara Ideal Plato

Plato tentu saja sangat mencintai gurunya, Socrates. Begitu mendalam perasaan Plato akan sosok guru yang dihormatinya tersebut, membuatnya begitu sangat lunglai –benar-benar lemah, ketika menghadapi kenyataan akan kematian sang guru tercinta. Terutama untuk menerima sebuah kenyataan  bahwa  gurunya  telah  mati  dengan  cara  yang  sungguh mengenaskan. Meminum racun cemara dihadapan penduduk Athena, setelah  sidang  pengadilan  yang  dilangsungkan  di  Agora  menyatakan Socrates bersalah.

“Apa yang akan kita harapkan lagi setelah sang guru meninggal?” keluh Plato di hadapan sahabat dan murid-murid Socrates setelah kematiannya.

Mungkin memang akan menjadi begitu sangat berat dalam menjalani kehidupan selanjutnya, terutama bagi murid-murid Socrates tersebut. Terlebih sosok guru yang selalu mengajarkan teladan dalam berfikir, kini telah tiada. Kesedihan tentu saja dirasakan oleh Plato, terutama akan kenangannya akan sosok sang gurunya itu sebelum kematian.

Beberapa hari sebelum kematian Socrates di hadapan pengadilan dari Dewan Kota dengan 500 orang hakimnya –dari 6000 negarawan yang terpilih pada tahun tersebut, Plato sempat memberikan ide kepada sang guru tercinta untuk menyerahkan semacam ‘uang pengertian’ kepada kepala penjara agar dapat melarikan diri sebelum pelaksanaan pengadilan. Namun yang didapatkan oleh Plato adalah marah yang sangat dari sang gurunya.

Sosok Socrates memang dikenal sangat mencintai negaranya, dan dengan cara yang mengagumkan. Dia dikirim ke Potidea dalam sebuah perintah untuk  menangai  adanya  pemberontakan.  Dikisahkan  bahwa  wilayah Korintus mempengaruhi Potidea untuk memberontak, setelah marah atas perilaku  Athena  yang  meminta  kepada  Potidea  untuk  menyerahkan tawanan  setelah  perang  usai.  Peristiwa  tersebut  nantinya  mengawali perang Peloponnesia yang dikenal sangat panjang.

Tepat pula juga sosok Socrates disebut sebagai patriot yang sejati. Dalam hidup diri Socrates tersimpan rasa beban pada negara –semacam hutang, bahwa  seluruh  kehidupannya  hanya  akan  dibaktikan  untuk  Athena tercinta, dalam pengajaran-pengajarannya, agar masyarakat menjadi yang lebih sehat –terutama perihal moral, politik maupun cara berpikir serta menggugah kesadaran. Sekalipun dia tidak diterima oleh sebagian warga Athena,  termasuk  beberapa  hakim-hakim  kota,  atas  segala  perilaku pengajarannya.

Tuduhan  kemudian dilancarkan dari Meletos, Anitus dan Lycon –dalam pengadilan di Agora, atas semua ‘keonaran’ yang dibuat Socrates  dengan meracuni pikiran anak-anak muda hingga mereka berani melawan negara.

“Lebih  lanjut,  saya  mengajukan  tuduhan  kepada  Sokrates.  Dengan pengajarannya ia meracuni pikiran anak-anak muda sehingga mereka berani berkhianat dan melawan negara. Maka saya menuntut untuk itu hukuman mati baginya” seru Meletos.

Sokrates naik ke mimbar, melakukan pembelaan diri. Semua yang hadir tampak diam sejenak, seluruh mata tampak tertuju pada sosok Socrates. Ia membuka  dengan  salam,  lalu  menyampaikan  pembelaan  atas  semua tuduhan tersebut.

”Para hakim yang terhormat. Saya memang tidak mengingkari kenyataan bahwa sering berbicara atau lebih tepatnya bercakap-cakap. Akan tetapi semua hal itu saya lakukan dengan terus terang dan terbuka. Saya tidak pernah berbicara  secara  sembunyi-sembunyi. Saya  pun  tidak  pernah mempunyai maksud mengasut ataupun menyatakan kebohongan. Saya menyadari bahwa saya tidak punya pengetahuan untuk diajarkan. Yang kemudian saya lakukan adalah mengajak anak-anak muda berpikir dan mencari  kebenaran.  Karena  itulah  semua  tuduhan  yang  dibebankan kepada saya adalah mengada-ada dan tidak mengena.”

 

“Bagaimana juga pertanggungjawaban Anda terhadap pernyataan yang pernah Anda lontarkan bahwa tak ada dewa-dewa. Matahari hanyalah batu dan bulan yang terbuat dari tanah?” sambungnya Meletos kembali.

‘Tapi, Saudara  Meletos. Anda mengacaukan  orang lain dengan saya. Pengetahuan semacam itu sudah lazim dan segala pernyataan-pernyataan tersebut dapat dibaca dari buku-buku Anaxagoras yang dijual bebas di sudut-sudut pasar.” sanggah Socrates.

Beberapa kali Socrates memberikan pembelaan diri atas semua tuduhan- tuduhan tersebut. Namun hasilnya tampak tidak memuaskan. Proses pengadilannya sendiri berjalan hingga larut malam, dengan banyak hal di sana sini yang belum jelas. Tetapi sidang hari itu harus selesai. Kelimaratus hakim yang ada menentukan pilihan atas Socrates. Hasilnya 220 orang berpihak pada Socrates,  sedangkan  280 hakim yang lain bersetuju dengan semua tuduhan Meletos, dan menjatuhkan hukuman mati kepada Socrates.

Rupanya memang pengadilan itu tidak berjalandengan semestinya. Ada beberapa  hakim  yang  pernah  dipermalukan  oleh  Socrates  dalam perdebatan-perdebatan umum. Bagi para hakim-hakim tersebut, Socrates adalah seorang yang ‘sombong’, karena tidak mengakui sebagai orang yang berpengetahuan  layaknya  para  sophis-sophis  kala  itu,  tetapi  malah mengaku sebagai orang yang bodoh. Padahal Socrates dikenal sering mempermalukan para sophis dan negarawan-negarawan di muka umum. Sesudah sehari ditunda karena  ada upacara  agama negara,  Sokrates menjalani hukuman dengan meminum racun cemara, degan ketenangan
dan tanpa beban.

“Memang tak ada lagi  yang dapat kita harapkan darinya. Namun kita semua mesti ingat, bukankah sejak semula dia selalu mengingatkan bahwa dia tidak bermaksud memberikan apa-apa. Kita sendirilah yang harus membangun diri, menemukan kebenaran dari dalam diri kita masing- masing. Dia hanya ingin membantu melahirkan kebenaran itu.”

“Dia bahkan tak mau untuk disebut sebagai guru. Dia menyebut kita sebagai hetaritos (rekan sejawat) bukan mathetes (murid-murid) dan mengajak kita membentuk persaudaraan sejati dalam kedudukan yang sama.” Plato kembali mengingatkan kawan-kawannya.

Semua orang pasti sepaham, bahwa apa yang kemudian banyak ditulis oleh  Plato  dalam  karya-karyanya  seringkali  adalah  impresi  akan perjumpaannya dengan sang guru tercinta Socrates. Sekalipun benar, Plato mempunyai pandangannya sendiri. Tetapi sekali lagi, bayang-bayang yang kuat dari sosok Socrates pastilah memberikan warna yang khas ataupun juga mendorong Plato hingga berpikir demikian adanya. Semisal ketika membicarakan mengenai eidos (idea).

Pokok mengenai idea ini mungkin menjadi bagian yang paling terkenal dari pemikiran Plato. Namun hal tersebut pulalah yang sebenarnya mendekatkan pada kita bahwa bayang-bayang dari Socrates tampak begitu jelas. Sama halnya dengan Socrates –gurunya, yang memiliki penekanan pada kebebasan berpikir, maka Plato pun juga meyakini sebuah hal yang sama. Lebih pokok lagi, bagi Plato pikiran manusia yang kemudian diolah dengan baik, dapat membawa manusia pada kebajikan tertinggi (virtue) dan asal-mula yang sakral.

Plato menyadari bahwa seluruh pengetahuan manusia yang kemudian dihasilkan dari proses berpikir tersebut, bukanlah hasil dari kepasrahan saja  akan  seluruh realitas  dunia.  Pengetahuan  yang  kemudian  hadir tersebut, dalam angan-angan Plato, hadir berserta dengan pengertian. Pikiran manusia dikatakannya selalu aktif dalam menafsirkan segala hal yang  diterima.  Manusia  dikenal  menggunakan  konsep-konsep  untuk mengklasifikasi pengetahuan dan mental. Mengatur segala sesuatu yang ada  di  dalam  kehidupan,  yang  kemudian  terlihat  sebagai  ide  akan pengutamaan kekuatan rasional manusia.

Terdapat  empat  pokok  utama  yang  kemudian  disebut  sebagai  eidos tersebut. Yang pertama adalah logika atau juga disebut dengan semantik. Pokok ini berkaitan dengan segala makna dan konsep-konsep. Yang kedua adalah metafisika. Pokok ini berkaitan dengan apa yang kemudian dikenal sebagai kenyataan dsb. Yang ketiga adalah epistemologis atau segala sesuatu yang dilakukan dalam usaha untuk mengetahui –mendapatkan pengetahuan. Yang terakhir adalah moral atau politea, yaitu segala hal dalam hubungannya dengan bagaimana seharusnya manusia hidup.
Manusia dalam pikiran Plato kenyataannya adalah murni hidup sosial. Manusia individu tidaklah mandiri, terutama dalam memenuhi masing- masing kebutuhannya. Makanan, tempat tinggal, dan pakaian hampir tidak dapat dipenuhi tanpa bantuan dari orang lain. Ketika individu tersebut  berusaha  untuk  keluar  dari  kegiatan  yang  khas  manusiawi semisal: persahabatan, bermain, politik, seni, pembelajaran maka manusia tersebut  seakan-akan  hidup  di  pulau  terpencil  –sendirian.  Sangat dimungkinkan dia tak akan mampu untuk bertahan.

Dalam penggambaran tersebut terlihat sebenarnya bagaimana gagasan Plato akan imajinasi sosialnya adalah sebuah bentuk yang khas sangat komunal.  Walaupun  begitu  tetaplah  harus  diingat  bahwa  Plato memberikan tempat yang sangat kuat pada aspek pikiran manusia, sama seperti  gurunya  –Socrates.  Gagasan  tersebut  pun  semestinya  sangat memberikan warna penekanan aspek manusia individual yang kuat. Lalu bagaimanakah gagasan Plato yang sebenarnya?
Tidak pelak lagi selama ini akan tuduhan terhadap gagasan Plato yang mendua –terutama sangat jelas ketika membahas mengenai tubuh dan jiwa. Menurut Plato, jiwa manusia adalah suatu entitas non-material yang dapat  terlepas,  terpisah  dari  tubuh.  Jiwa  manusia  itu  ada  sebelum kelahiran, begitu kata Plato. Dalam Meno, gagasan mengenai praeksistensi jiwa dicoba dijelaskan dan dibuktikan argumentasinya. Plato memberikan semacam alasan berkaitan dengan belajar, yaitu dikatakannya sebagai semacam ‘ingatan’ dari jiwa manusia yang sudah dimilikinya dalam kealamiahan sebelum manusia tersebut lahir. Sangat mendekati gagasan mengenai reinkarnasi. Gagasan  tersebut  jugalah  yang  mendekatkan  tafsiran  bahwa  Plato memberikan tempat yang lebih pada bakat individual –semacam keunikan pribadi seorang manusia. Karenanya, alam pikiran antara satu manusia dengan  manusia  lain  jelas  tidaklah  sama.  Meskipun  tetap  dapat digarisbawahi bahwa secara material-sosial mereka –manusia tidaklah dapat benar-benar sendirian.
Pada posisi inilah sebenarnya tafsiran yang lebih mungkin akan gagasan dari Plato tersebut. Apabila Aristoteles memberikan konsep mengenai keseimbangan  antara  tubuh  dan  jiwa,  sehingga  aspek  mengenai individualitas dan  sosialitas  pun  jelas ditempatkan  pada posisi yang seimbang –tidak berat pada salah satunya, maka Plato lebih memberikan keyakinannya bahwa yang ideal tentulah yang disebut sebagai pikiran ataupun jiwa ataupun ideos. Ini mengingatkan kembali kita, bagaimana Socrates, gurunya memberikan
impresi  akan  keyakinan  berkenaan  dengan  rasional  pikir  manusia tersebut. Ajakan yang dilakukan oleh Socrates pun pada awalnya dan selalu sederhana, seringkali menyentuh rasa keingintahuan mendasar dari seorang anak manusia.

“Tahu di mana orang menjual ikan?” tanya Socrates pada perjumpaan
awalnya dengan Xenophon.
“Tahu. Di pasar tentu saja!” jawab Xenophon.
“Tahu di mana orang menjadi utama?” tanya Socrates lebih lanjut.
“Tidak,” jawab Xenophon ragu-ragu.
“Kalau demikian, ikutilah aku!”

Begitulah ajakan sederhana Socrates kepada murid-muridnya. Yang lebih mengesankan kembali dari Socrates adalah sosoknya yang tidak mau menganggap sebagai seorang guru, melainkan rekan sejawat dari seluruh murid-murid yang mengikutinya tersebut. Sangat kontras dengan perilaku para sophis-sophis yang umumnya berkeliling di kota-kota pada waktu itu dan menjajakan pengetahuannya.

Socrates  berusaha  mengajak  orang-orang  untuk  berhasrat  mencari pengetahuan itu. Benar-benar mengajak untuk memiliki rasa ingin tahu yang  sangat,  hingga  seseorang  mampu  mengenali  kebajikan  dan kebijaksanaan keadilan. Oleh Plato, pokok ini dia gambarkan dalam mitos mengenai kehidupan. Dalam  Phaedrus –yang merupakan dialog-dialog mengenai  cinta,  Plato  membandingkan  jiwa  manusia  dengan  sebuah kereta yang ditarik oleh kuda putih (simbol dari Roh) dan kuda hitam (simbol dari Appetite) dengan kusirnya (simbol dari Pikiran) berusaha tiada henti menggerakkan kereta dalam kontrol.

Tiga  pokok  dari  simbol  tersebut  oleh  Plato  digambarkan  sebagai manifestasi dari pengetahuan, status dan hasrat materi dalam kehidupan manusia. Ketiga hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari seorang manusia individual. Ataupun juga dalam kehidupan manusia yang lebih komunal. Perlu perjuangan yang hebat untuk menjalani ketiga hal tersebut dengan baik, dan itu hanya dapat dilakukan melalui kendali pikiran.

Dalam  suatu  himpunan  manusia  yang  luas,  masing-masing  citraan menurut Plato tersebut merupakan proyeksi dari kondisi tiga lapisan secara  umum  di  masyarakat.  Pengetahuan  yang  nantinya  memujud sebagai  sebuah  kebijaksanaan  tidak  lain  menjadi  bagian  dari  sikap, perilaku  dan  manifestasi  para  pemimpin –raja.  Status  atau  reputasi merupakan sebuah harga yang tertinggi dikalangan pejabat dan kaum militer. Sedangkan hasrat mendapatkan keuntungan ataupun hasil dari bekerja tidak lain ditunjukan oleh kaum petani, pengrajin maupun para pedagang.

Sama seperti dalam penggambaran mitosnya, masing-masing lapisan di masyarakat tersebut jelas memiliki kehendak yang berbeda-beda, layaknya kuda putih dan kuda hitam yang bergerak berlawanan. Juga seperti tubuh dan  jiwa  yang  mempunyai  kehendak  berbeda.  Kemenduaan  menjadi sesuatu  yang  sangat  khas  dalam  alur  berpikir  Plato.  Sedikit  yang membedakan dengan sang guru Socrates. Pikiran  layaknya  sang  kusir  kereta  yang  dengan  segenap  daya mengendalikan  gerak  laju  kuda  dan  kereta,  adalah  sama  seperti “seseorang” yang sanggup mengendalikan dirinya sekaligus himpunan manusia yang banyak. Plato hendak mengungkap bukan hanya pada sisi manusia individual, tetapi juga pada lingkup komunalitas yang besar. Katakanlah seperti negara Athena.

Plato mempunyai sebuah angan-angan yang kuat, mengikuti tradisi alam pikir ideal Yunani. Yunani mengenal sebuah kata yaitu dikaionuse, untuk mengangankan kondisi ideal dari manusia dan himpunan manusianya. Dalam  tafsiran  tradisional, kata tersebut diartikan  sebagai ‘keadilan’. Tetapi bisa juga menujuk pada ‘kebajikan’, ‘moralitas’, ‘hidup yang baik’, ‘well-being’ serta ‘mental-health’.
Dikaionuse tersebut, merupakan angan-angan ideal, salah satunya adalah angan-angan dari Athena, Sparta ataupun wilayah-wilayah lain di Yunani pada waktu itu. Entah akan memujud seperti apa, tidaklah menjadi sebuah masalah pokoknya. Dalam angan Plato mungkin lebih kepada perwujudan akan suatu Negara dengan pemimpin-pemikir. Pemimpin-pemikir ini diandaikan sebagai manifestasi dari eidos, sebagai sesuatu yang sakral.  Siapakah yang sanggup menjalankan beban ideal tersebut?
Hanya orang yang memiliki pikiran yang sungguh-sungguh, dengan segala keutamaan pada kebajikanlah yang akan melakukannya. Itulah keyakinan dalam gagasan Plato. Tidak semua orang memang akan sanggup, ataupun memiliki  kesempatan  tersebut.  Namun  Plato  percaya,  sama  seperti kepercayaannya akan jiwa yang kekal –pastilah ada yang akan mampu untuk menanggungnya.

Dalam tafsiran saya, sosok itu tidak lain tidak adalah bayang-bayang dari Socrates,  sang  guru  terbaiknya.  Guru  yang  bagi  Plato  tentu  saja mempunyai impresi sang kuat, sekaligus hebat dalam sebuah praktik keteladanan. Seluruh gagasan Plato yang kemudian dituangkan dalam beragam karyanya tidak lain wujud refleksi mendalamnya, pencarian dan keteguhan untuk mengejar kebenaran.

Ketika orang-orang mengenal Socrates semasa hidup sebagai orang yang tidak  pernah  memberikan  pengetahuan  kepada  siapapun,  tidak  mau disebut sebagai guru ataupun yang terbijaksana karena pengetahuannya tentunya  memang  tepatlah,  Plato  mendambakan  pemimpin-pemikir seperti itu. Sosok nyatanya seharusnya siapa, jelas bagi Plato bukanlah menjadi pembahasannya. Plato hanya menggagas pada model eidosnya, bukan siapa yang harus menempatinya. Alam pikir Plato adalah alam pikir citraan, alam pikir yang penuh hasrat dan gairah akan pengetahuan –seperti yang sang guru ajarkan.

“Saya tak akan pernah berhenti menjadi kumbang, untuk menyengat perut
kuda Athena yang maunya tidur saja,” begitu kata Socrates.
Itulah juga yang sepertinya membuat kesan utopia dari gagasan-gagasan
Plato, karena memang seluruh daya, hidup maupun ingatannya memang
bersuara atas nama Socrates.

 

 

 

Karena itulah, Negara ideal yang kemudian dapat diresapi dari angan- angan gagasan Plato tidak lain tidak Negara dengan ‘warga negaranya yang sejati’. Suatu teladan integritas tiada batas akhir dan ujungnya, seperti yang Socrates –sang guru, berikan semasa hidupnya. Socrates memang  telah  mati,  meminum  racun  cemara,  atas  perintah  dari Negaranya. Bagi Socrates, Negara itu adalah segala-galanya karena itu merupakan sarana gerak menuju  dikaionuse.  Karenanya jangan pernah mengingkarinya,  sekalipun  itu  akan  berwajah  ironi  layaknya  yang ditanggung Socrates.

Negara ideal Plato juga adalah sebuah ingatan akan peristiwa kelam tersebut, agar anak cucu Athena di kemudian hari –nantinya, tidak
melakukan kesalahan yang sama. Membunuh orang yang tidak bersalah. Agar masyarakatnya mampu menempa diri dalam daya pikiran, sebagai gairah dan manifestasi dari jiwa yang kekal, yang tentu saja melebihi dari semua nilai material apapun.
Ini semua adalah suara-suara dari kebenaran, suara-suara atas matahati kebajikan,  yang  menghidupi  seluruh  manusiadalam  kebimbangannya –kemenduaannya,  menderita  atas  seluruh  perjuangan  kehidupan layaknya kereta-kereta kuda yang berjalan  dalam dua arah yang tak pernah dapat disatukan, selalu seperti itu sepanjang masa.

Berbahagialah yang kemudian masih mendengar suara-suara kebenaran dari sang guru tersebut, dan selalu merindukannya. Sama seperti Plato selalu merawat kerinduannya akan sebuah angan-angan ‘Negara Ideal’.

 

 

Rujukan Bacaan:
G.R.F Ferrari (ed.). Plato The Republic : Cambride Texts in the History of Political Thought. 2000.Cambridge: Cambridge Univeristy Press
Leslie Stevenson & David L. Haberman. Ten Theories of Human Nature. 1998. New York: Oxford University Press
Martin Cohen. Political Philosophy From Plato to Mao. 2001. London: Pluto Press
Majalah Basis No 01-02, Tahun Ke-47, Januari – Februari 1998. Artikel Bayang-bayang karya A. Sudiarja berjudul Socrates Mati!

3 thoughts on “Angan-angan Negara Ideal Plato”

    • Saudara mungkin dapat mengambil inspirasi dari sebuah film berjudul Delicatessen (1991).

      Pada dasarnya, manusia adalah omivora dengan kondisi masyarakat hari ini: manusia lebih banyak menjadi carnivora. Secara natural biologis, itu adalah mekanisme bertahan hidup.

      Ada kalanya kita menyaksikan adanya kejadian, orangtua menjual anaknya, orangtua membunuh anaknya sendiri, orang-orang putus asa bunuh diri dsb. Itu semua bukan problem moral, tetapi problem bahwa ternyata tidak ada masyarakat di dalam kehidupan kita.

      Kita hari ini, hanyalah manusia-manusia individual yang terasing, yang kesepian dan terus saja tergerus oleh kemajuan, teknologi dan tentu saja kapitalisme. Hidup kita dipertahankan jika kita mampu menghasilkan keuntungan buat yang lain. Entah uang, entah prestise, entah kebanggaan, entah moralitas, entah juga rasa ego diri.

      Seorangtua membunuh anaknya sendiri, pasti karena kita melupakannya orang tersebut sebagai manusia, dengan seluruh beban hidupnya hari ini. Orang itu terlalu berat memananggung kepenatan hidup. Tidak ada tempat pelarian lagi. Bahkan rumah-rumah ibadah yang dulunya menjadi tempat pelarian pun hari ini telah menjadi sebuah koorporasi besar. Ribut-ribut memperebutkan “umat” atau konsume pengisi kas-kas keuangan tempat-tempat itu.

      Rasa-rasanya segala yang lantas dilakukan oleh orang-orang disekeliling kita merupakan cerminan dari diri kita sendiri. Sebera tegakah kita ketika kita mengumpat tentang sesuatu tanpa kita ketahui kebenarannya? Sebera sering juga kita membuat lesu dan sakit hati atas orang-orang disekeliling kita setiap harinya?
      Berapa kalikah kita menyeduhkan teh manis hangat untuk kakak kita atau ibu kita yang kelelahan?

      Kita masih saja menjadi kaum-kaum carnivora, entah kita mau mengakui atau tidak.

      Reply

Leave a Comment