Balas: Surat untuk UI

Dear Ibnu Faisal,

Saya bukan ‘UI’ yang anda tuju dalam surat anda, tetapi saya ingin merespon tulisan tersebut karena banyak hal yang tidak saya mengerti.

Sebelumnya izinkan saya merangkum sejenak. Pernyataan anda adalah menyatakan ke “Indonesia”-an dari Universitas Indonesia yang hilang (UI sombong). Argumennya terletak pada paragraf 4-6, dimana paragraf 4 berbicara tentang perpus pusat tidak menunjukkan identitas tempat perpustakaan itu berada. Paragraf 5 berbicara gedung ‘bule’ di tengah pribumi, dengan contoh fasilkom dan vokasi. Paragraf 6 berbicara tentang biaya pendidikan. Paragraf 7-9 berbicara tentang keadaan ideal yang harus dicapai, dimana paragraf 7 menekankan mahasiswa sebagai aktor, paragraf 8 menekankan nilai keramahan dan kesederhanaan, dan paragraf terakhir sekedar menekankan kembali dengan simbolisme makara.

Saya akan fokus pada argumennya saja.

Paragraf 4: Perpus pusat tidak menunjukkan identitas tempat perpustakaan itu berada

Apa yang anda maksud dengan identitas tempat? Saya melihat bangunan tersebut merespon tempatnya dengan sangat baik. Bangunan perpustakaan pusat berusaha mempertahankan pohon-pohon besar yang ada di lokasi, kemudian meresponi pemandangan sekitarnya, terutama danau, dengan sangat baik. Jika anda bermaksud mahasiswa menjadi aktor, perpustakaan menurut saya sangat berhasil dalam menjadikan mahasiswa sebagai aktor. Sekarang, UI tidak lagi menjadikan rektorat sebagai landmarknya. Keberadaan perpustakaan pusat telah mengimbanginya, bahkan menurut saya lebih menonjol daripada rektorat. Sementara rektorat adalah pusat kebijakan (para pejabat UI), perpustakaan pusat adalah pusat kebajikan yang menurut saya memang seharusnya menjadi pusat dari universitas. Perpustakaan pusat justru adalah tempat yang mayoritas diisi oleh mahasiswa, yang berarti mahasiswa menjadi aktornya.

Cobalah datang ke perpustakaan pusat pada hari sabtu/minggu, datangi courtyardnya dan anda akan melihat betapa hidupnya daerah tersebut. Anda bisa melihat komunitas musik berlatih disana. Courtyard pun bukan hanya oleh mahasiswa, tetapi juga oleh warga sekitar yang berekreasi. Saya pribadi sangat senang dengan keberadaan Perpustakaan Pusat. Ruang diskusi untuk mengerjakan tugas cukup banyak. Masalah peminjaman buku pun saya rasa cukup berkembang. Sekarang kita bisa meminjam sejumlah 7 buku, padahal dulu di Teknik hanya boleh pinjam 2 buku.

Paragraf 5. ‘bule’ di tengah pribumi

Yang saya tangkap dari pernyataan anda, atap berundak dan bata merah itu mewakili pribumi. Maaf, tetapi itu seperti mengidentikkan Indonesia dengan batik. Padahal kita tidak hanya punya batik, tetapi juga punya ikat tenun, itu pun begitu beragam. Masing-masing suku memiliki cirinya sendiri. Lantas apa yang membuat bata merah menunjukkan indonesia? Padahal, rumah-rumah di Kalimantan umum menggunakan kayu, ada juga rumah di Flores menggunakan bambu. Atap berundak? Di Papua dan di Manggarai rumah adatnya berbentuk seperti kerucut. Di Sumba, bentuk atapnya.. bisa anda cek sendiri di google. Tetapi apakah yang menjadikan rumah-rumah tersebut penting adalah aspek fisiknya? Bukankah keragaman Indonesia harus dirayakan, bukan sekedar melihat fisik?

Terkait estetika minimalis, saya sangat tidak setuju. Gedung vokasi dan gedung fasilkom baru sama sekali bukan minimalis. Coba cari visualisasi 3d dari kedua gedung tersebut dan saran saya pahami betul apa arti minimalis. Bahkan fasilkom menurut saya nantinya adalah gedung yang sangat mencerminkan “fasilkom”, perancangnya sangat paham dengan computer aided manufacturing. cek link berikut  , ditulis oleh arsitek fasilkom baru tentang pendekatan desainnya.

Paragraf 6. Biaya pendidikan

Untuk argumen ini saya sendiri tidak menguasai. Tetapi, menurut saya argumen ini tidak ada sangkut pautnya dengan ke-“Indonesia”-an yang jadi fokus pembahasan anda. Lebih baik isu ini dibahas sebagai isu terpisah.

 

Di luar gagasan desainnya itu sendiri, bangunan-bangunan tersebut merupakan hasil sayembara (kompetisi) yang begitu ketat dan diikuti para arsitek handal di Indonesia, dan jurinya selalu memasukkan salah satu guru besar Departemen Arsitektur yang memang menangani masterplan UI.

Sekian dulu dari saya.

 

p.s.: pesan ini terbuka untuk dikritisi kembali. 🙂

 

Salam,

Robin Hartanto

5 thoughts on “Balas: Surat untuk UI”

  1. terima kasih bang atas kritikannya, senang rasanya bisa mendapat pelajaran dari yang lebih paham dan lebih mengerti, sekali lagi terima kasih 🙂

    Reply
  2. “Bangunan perpustakaan pusat berusaha mempertahankan pohon-pohon besar yang ada di lokasi, kemudian meresponi pemandangan sekitarnya, terutama danau, dengan sangat baik.”

    –> untuk argumen merespon danau saya setuju di mana sekarang danau itu sudah lebih diperhatikan dengan ruang terbuka menghadap ke danau dan pembuatan dermaga (walau belum sepenuhnya difungsikan). Tapi untuk mengatakan pembuatan perpustakaan itu mempertahankan pepohonan agak sangat sulit untuk “di-amin-i”.

    Sudah ada postingan sebelum2nya di anakui.com ini bahwa lokasi perpustakaan pusat sebenarnya lokasi penanaman pohon oleh alumni fisip. Ini bisa dibuktikan dengan masih adanya monumen acara tsb. Dan sebenarnya pepohonan besar mana yg Anda maksud? Di area depan pintu perpus hanya hamparan rumput dengan “hiasan” pohon2 baobab yang ditanam dgn kurang memperhatikan kondisi tanah sehingga berulangkali hampir roboh.

    “Sekarang, UI tidak lagi menjadikan rektorat sebagai landmarknya. Keberadaan perpustakaan pusat telah mengimbanginya, bahkan menurut saya lebih menonjol daripada rektorat. Sementara rektorat adalah pusat kebijakan (para pejabat UI), perpustakaan pusat adalah pusat kebajikan yang menurut saya memang seharusnya menjadi pusat dari universitas. Perpustakaan pusat justru adalah tempat yang mayoritas diisi oleh mahasiswa, yang berarti mahasiswa menjadi aktornya.”

    –> On the contrary, justru pembuatan perpus pusat itu upaya menarik kembali “pusat kekuasaan” ke rektorat. Sebelumnya UI depok mempunyai kesan “scattered” di mana kegiatan tersebar ke masing2 fakultas. Daerah rektorat merupakan daerah sepi dan mati dari aktifitas kecuali saat wisuda. Kalau sekarang kesannya perpus pusat yg lebih menarik perhatian itu karena dilihat oleh mahasiswa yg sebelumnya telah tau adanya gedung rektorat. Tapi bagi orang yg baru ke UI pastinya rektorat yg menjadi pusatnya. Bukti lainnya adalah pembuatan jalan akses baru yang tepat mengarah ke gedung rektorat.

    Reply
  3. Halo Uday,
    Coba saya jawab kembali counter-argument nya.

    “Dan sebenarnya pepohonan besar mana yg Anda maksud?”

    Yang ini. https://www.anakui.com/wp-content/uploads/2011/02/perpusbaruUI.jpg
    Saya perlu pastikan dahulu bahwa kita tidak sedang membicarakan isu lingkungan, tetapi tentang “rancangan yang mencerminkan identitas tempat”. Lagi-lagi saya akan merekomendasikan courtyard Perpustakaan Pusat. Datanglah kesana, duduk sejenak, perhatikan seksama, alami tempat tersebut. Perhatikan bagaimana lekukan lekukan bangunan tersebut meresponi pepohonan. Perhatikan bagaimana bangunan dan pepohonan tersebut bekerja sama melindungi manusia yang beraktivitas di sana dari terik matahari. Saya pernah mengupload sebuah foto kelompok orkestra Sa-Unine berlatih di ruang luar tersebut. Mereka tentu memahami bahwa alat musik yang terbuat dari kayu tidak boleh terkena terik matahari. Foto tersebut saya ambil sekitar 1 siang, sementara mereka begitu menikmati permainan mereka.
    https://www.anakui.com/wp-content/uploads/2011/11/sa-unine.jpg

    Saya tidak akan mengomentari hamparan rumput dan pohon baobab, maupun pepohonan yang ditanam fisip, karena saya sama sekali tidak berniat membela penguasa UI, melainkan membela arsitektur Perpustakaan Pusat. Hal-hal yang disebutkan tadi seharusnya dijawab oleh pihak UI sendiri. Semoga standing point saya bisa dipahami.

    “On the contrary, justru pembuatan perpus pusat itu upaya menarik kembali “pusat kekuasaan” ke rektorat. Sebelumnya UI depok mempunyai kesan “scattered” di mana kegiatan tersebar ke masing2 fakultas.”

    Lucu juga, bahwa perancang masterplannya lah yang berkata bahwa masterplan awal UI memang dirancang untuk “scattered” agar kegiatan tersebar ke masing-masing fakultas, atas permintaan rezim soeharto. Posisi UI di Depok (yang rencana awalnya seharusnya di dalam kota Jakarta) adalah untuk menghindari UI dekat dengan “rektorat” nya Indonesia, sama seperti posisi fakultas-fakultas yang seperti pulau terpisah-pisah agar mempersulit komunikasi mahasiswa secara menyeluruh, dan pusat kekuasaan berada di rektorat. Jika pembuatan perpustakaan pusat baru adalah upaya menarik kembali “pusat kekuasaan” ke rektorat, sebenarnya UI sama sekali tidak perlu membuat perpustakaan pusat baru.

    “Daerah rektorat merupakan daerah sepi dan mati dari aktifitas kecuali saat wisuda.”

    Lalu? Apakah rendahnya tingkat aktivitas masyarakat di daerah pusat kekuasaan berbanding lurus atau berbanding terbalik dengan tingkat kekuasaan petinggi, saya rasa bisa terjawab jelas. Lapangan besar yang berada di depan Museum Fatahillah, gedung bekas balai kota pemerintahan Batavia, dulunya selalu dihindari oleh penduduk Batavia.

    “Kalau sekarang kesannya perpus pusat yg lebih menarik perhatian itu karena dilihat oleh mahasiswa yg sebelumnya telah tau adanya gedung rektorat. Tapi bagi orang yg baru ke UI pastinya rektorat yg menjadi pusatnya.”

    Saya asumsikan bahwa ini adalah asumsi, dan saya berasumsi sebaliknya bahwa perpus pusat akan lebih menarik perhatian. Tetapi ini tidak bisa diperdebatkan, kita berdua berasumsi dan saya sama sekali tidak berminat untuk membuktikan hal yang sangat subyektif seperti ini.

    “Bukti lainnya adalah pembuatan jalan akses baru yang tepat mengarah ke gedung rektorat.”

    … dan juga tepat mengarah ke Balai Sidang, gedung Fasilkom, dan asrama UI. Lalu apakah rektorat berarti pusatnya?

    Mari sedikit berimajinasi. Bukalah wikimapia.org, carilah citra satelit dari UI. Jika anda perancangnya, kemanakah anda akan mengarahkan akses baru tersebut?
    Jika saya, saya akan membuat arah serupa.

    Perhatikan bahwa ada rencana jalan tol depok. Boulevard tersebut adalah jalur terpendek yang dapat menghubungkan rencana jalan tersebut dengan UI.
    Di luar fiksi tersebut, sebenarnya rencana jalan tersebut sudah ada sejak 95’an, sebelum Gumilar menjadi rektor. Masterplan UI telah direvisi dua kali. Dari gagasan awalnya (lihat http://digital.library.adelaide.edu.au/dspace/bitstream/2440/65554/1/02whole.pdf hal 266) sumbu visual UI menjadi axis utama dari masterplan UI. Pada revisi pertama sekitar 95’an, jalan (boulevard) sudah ada dalam gambar masterplan (saya tidak memiliki gambarnya, bisa hubungi Prof. Emirhadi Suganda jika ingin melihatnya)

    Tetapi dari axis itu sendiri, sebenarnya boulevard tersebut satu garis dengan Balai Sidang, Rektorat, Fasilkom, dan Asrama (bisa dicek di citra satelit). Perancang masterplan berusaha mempertahankan konsistensi axis-axis yang telah digagas semenjak masterplan awal. Lantas, apakah berarti pusatnya adalah rektorat?

    Sekali lagi, saya bukan membela UI. Banyak hal yang saya tidak setuju terkait kebijakan-kebijakan di UI. Tetapi saya membela arsitekturnya, yang sebenarnya sama sekali tidak membutuhkan pembelaan saya.

    Salam.

    Reply

Leave a Comment