Bangsaku Merindukanku, Wahai Pemuda!

Apa yang akan kujawab jika kelak aku bertemu dengan Alm.Bung Karno?

Dulu aku dicintai, setiap nyawa yang berpijak di atas punggungku berjuang demi diriku. Mereka meneriakkan namaku di setiap hela nafasnya.

Dulu aku mencintaimu, bangga ketika kau berbicara di kancah dunia. Ketika sang merah putih dikibarkan, dada ini merasakan rasa sayang yang teramat sangat besar membuncah memenuhi semua pikiranku.

Aku dipuji dan di eluk-elukan di semua penjuru. Ada rasa yang sulit diungkapkan ketika mendengar mereka menyebut namaku. Aku begitu bahagia. Tapi itu dulu. Dan aku tidak hidup di masa lalu namun masa kini. Aku rindu, pada jiwa-jiwa hangat yang mencintaiku. Aku rindu pada mereka, padamu.

Seandainya bumi pertiwi dapat berbicara, dapat berkata, mungkin kurang lebih begitulah ungkapan hatinya. Mengharapkan rasa cinta yang dulu ia peroleh dari Bung Karno, Bung Hatta, Agus Salim, dan sederet tokoh yang membuncah cintanya kepada tanah air. Rasa cinta yang amat dalam hingga beliau mampu mngorbankan jiwa dan raga serta keluarga. Siapa yang tak bahagia jika dicintai dengan sedemikian cintanya? Akupun akan bahagia jika dicintai seperti itu.

Seandainya Bung Karno masih hidup, begitupun dengan tokoh-tokoh lainnya. Beliau bertemu denganku, dan kemudian bertanya, apa yang telah kau berikan kepada Indonesia ini? Apa yang akan kujawab sementara aku masih terus berpikir tentang apa saja yang telah dan akan kuperoleh dari bangsa ini? Tak terbayangkan olehku jika suatu saat Bung Karno dan Bung Hatta bertamu kerumahku, beliau bertanya tentang Indonesia yang telah lama diwariskan padaku. Dan aku cuma bisa terdiam dan tak mampu menjawab. Beliau mungkin akan tersenyum, namun senyum yang terpancar itu memperlihatkan kesedihan jiwanya. Beliau tersenyum getir karenaku.

Kemudian ketika Bung Hatta bertanya mengenai pendidikan di negara ini. Lagi-lagi aku tak mampu menjawab. Novel-novel dan komik-komik yang bertaburan di rak-rak buku dibelakangku akan tersenyum mengejek. Mengejekku yang tak menaruh hati pada bumi tempat aku berpijak. Novel-novel itu menarik perhatian kedua tokoh besar tersebut, lalu mereka bertanya, “Siapa penulis novel-novel tersebut anakku?” Dimana akan kusembunyikan wajahku jika nama-nama yang bisa kusebut adalah Dan Brown, J.K Rowling dan Agatha Christie?

Lebih lanjut, Bung Karno akan bertanya mengenai kesejahteraan rakyatnya. Rakyat bangsa yang katanya dimana rakyat dapat hidup dengan bermodalkan tongkat, kayu dan jala. Dan bagaimana aku bisa menjelaskan jika saat itu begitu banyak ibu-ibu tua, anak-anak kecil yang mengais reski di bawah kolong jembatan dan di setiap perempatan lampu merah hanya demi sesuap nasi. Tak terbayangkan olehku, bagaimana reaksi kedua tokoh besar itu saat itu. Akankah beliau memarahi kita yang tak mampu berusaha yang terbaik untuk negara ini? Atau, beliau akan menangis tersedu di depanku? Seandainya itu terjadi, apa yang harus aku lakukan?

Aku tak mampu mengolah kata menjadi kalimat-kalimat yang begitu indah ketika aku ditanya mengenai bangsa ini sementara kenyataan yang sebenarnya menari-neri di hadapan mataku. Aku tak mampu menutupi bobroknya pemerintahan negara ini sementara di depanku, terpampang begitu banyaknya orang-orang yang dibayar untuk tidur. Wanita-wanita yang berpikiran singkat dan wakil-wakil rakyat, keduanya sama-sama dibayar untuk tidur. Aku tak mampu.

Mungkin, beliau akan segera beranjak meninggalkan rumahku dan tak akan pernah kembali. Warisan yang ia tinggalkan dengan menumpahkan darah kusia-siakan begitu saja. Aku terlena pada dunia yang semakin lama semakin menua tanpa mampu berbuat apa-apa. Akankah ia berpikir bahwa suatu kesalahan ketika ia mengorbankan nyawa demi nusantara yang akhirnya jadi begini? Terlukakah hatinya melihat generasi yang ia harap mampu mengubah Indonesia mengecewakannya? Indonesia yang ia peroleh dengan menghantarkan diri pada malaikat maut.

Mungkin, aku akan beralasan dengan mengatakan bahwa aku masih kecil dan belum bisa berbuat apa-apa. Namun, sejarah membantahku dengan menampilkan pemuda-pemuda yang begitu besar kontribusinya terhadap umat. Sungguh, tak dapat kubayangkan jika semua itu terjadi. Aku malu, ketika tak mampu berbuat apa-apa demi negaraku.

Bagaimana denganmu? Siapkah kau jika suatu saat, kau mendapati Bung Karno bertamu kerumahmu? Sementara kau menyadari Indonesia kita terperosok dan menjadi negara yang bermoral bobrok. Siapkah kau melihat luka dari mata yang dulu menantang dunia demi satu kata merdeka? Luka yang kau toreh sendiri dengan hati dan tanganmu. Siapkah?

Pada akhirnya Bung Karno akan berkata, Indonesia yang dulu kuperjuangkan ini untukmu. Negara ini, negara yang kami rebut dari tangan-tangan besi penjajah untuk kau kelola dan kau cintai karena kami yakin kau merupakan generasi terbaik yang mampu berkontribusi lebih  daripada kami. Kau mampu membawa nusantara menjadi negara terkuat di bumi ini, kau mampu menjadikan untaian zamrud di katulistiwa ini sebagai negeri yang paling diberkahi. Kau mampu! Kau hanya belum menyadarinya. Buka matamu nak, dan rasakan bumi pertiwi ini memanggilmu. Dengar dengan hatimu tangan-tangan yang menggapai-gapai mengharap uluran tanganmu. Akhirnya dengan tanganmu kau buka mata dunia bahwa Indonesia adalah negara berkarakter yang tak akan bisa dijadikan boneka oleh bangsa lain. Dengarkan pada mereka nyayian nyiur di tepi pantai yang kita banggakan.

Indonesia ini,bukan negeri orang lain. Ini negeriku, negerimu, negeri kita. Yang kita peroleh dengan cara terhormat dan dengan perujuangan yang membara. Saat kata-kata merdeka menggelegar membelah langit nusantara  pada tanggal 17 Agustus 1945 lalu dapat kau rasakan kebahagiaan yang melimpah dari segenap jiwa makhluk yang bernanung di bawah panji sang merah putih. Namun, itu bukan akhir dari perjuangan, saat itu adalah awal yang membahagiakan untuk sebuah kata perjuangan tanpa akhir.

Perjuangan, satu kata kaya makna yang membawa kita pada puncak kemerdekaan. Perjuangankulah yang bumi pertiwi ini rindukan. Perjuangan untuk pulau-pulaunya yang kaya raya. Untuk setiap pantai dan lautnya yang membawaku ke tempat antah berantah yang mempesona. Untuk setiap bintang yang berpendar dan menemani pelaut-pelaut ulungnya yang membelah samudra di tengah gelapnya malam dan kibasan angin darat. Untuk setiap hutannya yang menjadi paru-paru dunia, tanahnya yang gembur dan subur.

Begitu banyak yang telah bangsa ini berikan padaku. Tempat yang indah untuk ditinggali, udara yang sejuk, dinginnya suasana pegunungan dan nikmatnya beraneka ragam kebudayaan. Berahun-tahun aku tumbuh dalam kasih sayang alam. Alam yang menjagau da mengajariku. Bertahun-tahun lamanya. Mereka membelaiku dan membesarkanku dalam kesejahteraan.

Sekarang, kurasakan mereka memanggilku dan mengingatkanku. Begitu banyak alam yang bergejolak dan meneriakkan amarahnya padaku. Mentawai, Merapi dan Bromo seakan-akan menjadi pelopor dalam mengingatkan aku yang lalai. Terlupa akan peryataan cinta yang dulu aku ucapkan saat pertama kali merasakan kehangatan saat menyanyikan lagu Indonesia Raya di kelas satu SDku. Bukan seperti sekarang dimana aku menyanyikannya dengan sebelah hati seakan-akan bosan dan tak menikmatinya.

Bangsaku merindukanku, merindukan perjuanganku untuk dirinya, merindukan kehangatan jiwaku saat menyanyikan lagu kebanggannya. Bangsaku merindukanmu, merindukan uluran tanganmu untuk membenahi negeri yang tengah porak poranda kau hajar. Jemput kembali cintamu yang dahulu begitu membakar jiwamu. Jika bukan sekarang, kapan lagi? Apakah kau akan menunggu hingga pulau-pulau yang membentang sepanjang katulistiwa ini meninggalkanmu?

Leave a Comment