Bila seorang mahasiswa mendengar kata “beasiswa” maka ada dua kemungkinan tanggapan yang diberikan orang tersebut. Pertama, ia akan bersikap biasa – biasa saja, cuek, dan masa bodoh. Kedua, Ia akan kaget, gembira, ingin tahu, dan penuh harap. Kedua sikap tersebut wajar terjadi. Bagi sebagian mahasiswa mungkin akan bersikap seperti sikap yang pertama, dan bagi sebagian mahasiswa yang lain akan bersikap seperti sikap yang kedua. Setelah mengetahui sikap yang demikian, tentunya sudah jelas bahwa beasiswa diperuntukan untuk golongan mahasiswa yang memberikan sikap seperti sikap yang kedua karena sikap tersebut mengindikasikan adanya keinginan atau kebutuhan.Memang betul bahwa tidak semua mahasiswa bisa mendapatkan beasiswa, tetapi bukan berarti beasiswa hanya bisa dinikmati oleh segelintir mahasiswa saja. Oleh karena itu, diharapkan adanya konsep beasiswa yang berkeadilan, yaitu sesuai dengan kebutuhan. Memang jumlah beasiswa tidak banyak, walaupun tidak bisa juga dikatakan sedikit. Dengan keadaan seperti itu, maka peran pemberi beasiswa, lembaga perantara (contoh: universitas/fakultas), dan sasaran penerima beasiswa (mahasiswa) menjadi penting untuk menciptakan konsep beasiswa yang berkeadilan.
Akan tetapi, banyak masalah yang membuat beasiswa masih belum mampu diberikan secara adil. Masalah yang terjadi antara lain, yang pertama, kurangnya informasi tentang beasiswa. Masalah ini biasanya terjadi pada kurangnya peran lembaga perantara (universitas/fakultas) dalam mensosialisasikan adanya beasiswa. Masalah kedua adalah proses seleksi yang tidak akurat sehingga mahasiswa yang mendapatkan beasiswa, ya itu – itu saja. Masalah ketiga adalah kurangnya keaktifan mahasiswa dalam mencari beasiswa. Sebenarnya ketiga masalah tersebut saling terkait satu sama lain.
Sekarang mari kita analisis masalah tersebut! Kita mulai dari menganalisis masalah kurangnya sosialisasi dari pihak universitas atau fakultas. Dalam masalah tersebut, pihak universitas atau fakultas biasanya berdalih bahwa sosialisasi beasiswa tidak boleh terlalu terbuka dan provokatif karena dikhawatirkan akan membuat orang – orang yang sebenarnya tidak berhak mendapat beasiswa akan ikut mendaftarkan diri bahkan mendapatkannya. Akan tetapi, orang – orang yang sebenarnya berhak malah tidak mendapatkan beasiswa karena kurangnya informasi. Sebenarnya, dalih pihak uiversitas atau fakultas semacam itu tidak beralasan. Masalah orang yang sebenarnya tidak berhak (secara persyaratan) yang mendapat beasiswa terletak pada proses seleksi. Bila seleksi yang dilakukan dengan benar dan menggunakan prinsip yang berkeadilan, maka dengan sendirinya orang – orang yang tidak berhak tersebut akan tereliminasi. Itu berarti, sosialisasi tidak bisa setengah – setengah atau bahkan tertutup lagi karena yang menentukan adalah proses seleksi. Malahan, sosialisasi yang dilakukan tertutup atau setengah – setengah mengindikasikan adanya proses seleksi yang kurang beres, acak – acakan, dan tidak adanya kejelasan standar penerimaan beasiswa. Masalah ini sebenarnya bermula dari kurang benarnya sistem seleksi beasiswa. Oleh karena itu, yang perlu dibenahi adalah sistem seleksi beasiswanya, setelah sistem seleksi ini efektif untuk menciptakan konsep beasiswa yang berkeadilan, maka sosialisasi seterbuka atau seprovokatif apapun, tetap tidak memberi dampak negatif bagi terciptanya konsep beasiswa yang berkeadilan.
Dalih lain yang dipakai oleh pihak universitas atau fakultas dalam menjawab tentang kurangnya sosialisasi adalah menginginkan mahasiswa yang lebih aktif mencari informasi. Entah kenapa banyak dalih yang dipakai, padahal dalih – dalih semacam itu tidak tepat dan terkesan mencari alasan untuk melempar tanggung jawab dan tidak mau disalahkan. Sebagai pihak yang memang ada (bahkan digaji) untuk tugas mensosialisasikan adanya beasiswa, universitas atau fakultas selayaknya memberikan pelayanan yang maksimal kepada orang yang membutuhkan. Bukan hanya sekedar menunaikan (sedikit) kewajiban lalu melempar tanggung jawab ke pihak lain yang menjadi sasaran. Memang benar bahwa mahasiswa harus aktif mencari informasi beasiswa karena itu kebutuhannya sendiri. Akan tetapi, sudah selayaknya pihak yang memang sudah ada (bahkan digaji) memberikan pelayanan yang maksimal agar informasi itu sampai ke sasaran. Bukan berarti cukup bila ternyata sudah ada mahasiswa yang mendaftar beasiswa sebagai tolak ukur informasi sudah sampai ke segala penjuru. Fakta yang ada sekarang, banyak keluhan dan pengaduan tentang kurangnya informasi beasiswa, itu menandakan masih adanya kekurangan dalam sosialisasi.
Berikut sedikit saya ceritakan sebuah kisah. Di masa kekhalifahan Umar bin Khattab yang waktu itu sudah memiliki daerah kekuasaan yang luas dan sedang dilanda kemarau panjang. Banyak dari rakyat di luar pusat pemerintahan datang untuk mendekatkan diri dengan pusat pemerintahan supaya lebih mudah mendapatkan pasokan bahan pangan. Akan tetapi, apa yang dilakukan khalifah Umar, Ia memerintahkan untuk membagi – bagikan dan mengantarkan bahan pangan langsung ke wilayah mereka supaya mereka tidak repot – repot mencari. Sepertinya, mental dan kultur kerja semacam ini yang belum dimiliki oleh pihak – pihak yang masih menggunakan berbagai dalih untuk melempar tanggung jawab dan tidak mau disalahkan dalam permasalahan beasiswa ini. Padahal, sekali lagi, itu kewajiban mereka, dan mereka tidak sukarela tetapi digaji dan ada memang untuk hal itu. Masalah ini memang agak sulit dibenahi karena berkaitan dengan kultur kerja dan perilaku kerja yang sangat sulit berubah. Kalaupun ingin membuat kultur kerja yang seperti di atas berubah, maka butuh waktu yang lama. Oleh karena itu, cara yang terbaik adalah memunculkan keaktifan mahasiswa dalam mencari informasi tentang beasiswa.
Semoga apa yang menjadi permasalahan seputar beasiswa seperti permasalahan di atas, dapat terselesaikan dengan baik dan cepat agar tidak ada lagi pihak – pihak yang dirugikan. Agar permasalahan di atas dapat terselesaikan maka harus ada i’tikad yang baik serta tindakan nyata dari i’tikad tersebut untuk menyelesaikan permasalahan di atas.
Ngomongin tentang beasiswa katanya temasek mau ngasih beasiswa atau sudah ngasih beasiswa ke anak-anak UI, apakah ini bukan hal yang patut diwaspadai karena sadar tidak sadar temasek memang sedang berupaya untuk mencari antek-anteknya untuk memuluskan agenda komersialisasi yang dimilikinya di bumi pertiwi ini.
@ian:
Jika ragu-ragu atau takut jadi ‘antek-antek’, coba lihat prasyarat dari beasiswa. Apakah ada prasyarat harus bekerja di perusahaan tersebut? Adakah persyaratan ikatan-ikatan tertentu dengan perusahaan tersebut?
Jika setiap perusahaan yang memberi beasiswa dianggap memiliki agenda komersialisasi, lalu siapa yang bisa ngasih beasiswa? Pemerintah? Weits.. beasiswanya kecil. Yayasan Software Bebas (Free Software Foundation)? Memangnya mereka pernah ngasih beasiswa?
belajar aja dari sistem pengelolaan beasiswa yang dilakukan BEM FTUI dan Mahalum Dekanat FTUI…
G tambahin ya faktor-faktor kenapa ga semua mahasiswa tahu ada info beasiswa:
1. Mahasiswa sendiri suka MT (makan temen) ada info sperti itu malah dirahasiakan malah posternya pake dicabut segala (hayoo ngaku…)
2. Kadang-kadang jalur info beasiswa ke suatu lembaga malah macet alias ga disebarluaskan ke luar (tebak siapa…)
2. Jangan-jangan tawaran beasiswa itu udah ‘disalurkan’ langsung ke ‘orang dalam’ (baca: nepotisme)
Maaf kalo ada yg merasa tersindir.
Tertanda, mahasiswa saksi ketidakadilan info beasiswa
@friska Gw setuju bgt ma lw !!!
banyak bgt mahasiswa kayak gitu !!!
payah…
aneh, saya sedikit berbeda pendapat
untuk orang yang kata anda “Kedua, Ia akan kaget, gembira, ingin tahu, dan penuh harap”
atau bisa dibilang orang yang haus beasiswa. Seharusnya tidak mungkin ketinggalan informasi, karena ia memang membutuhkan. jaman informatika sudah berkembang sedemikian rupa, situs UI yang isinya tentang beasiswa pun ada, forum2 tentng beasiswa sudah banyak. Klo pun ada orang yang membutuhkan beasiswa tetapi tidak mendapatkannya itu murni kesalahan dia. tidak bisa kita mnyalahkan orang lain