Berhenti Bicara dalam Level Indonesia dan Perhatikan Sekelilingmu

“Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”

-Pasal 31 Ayat 1 UUD NKRI 1945-

Kita harus mengakui bahwa pendidikan adalah salah satu masalah terberat yang dihadapi bangsa ini. Begitu banyak masalah yang harus diselesaikan. Misalnya saja masalah anggaran 20% pendidikan, infrastruktur yang serba kurang, dan baru-baru ini yang sedang melanda UI adalah BHP (Badan Hukum Pendidikan).

Kita berdebat sana-sini, berargumentasi sini-sana. Wacana-wacana yang dihasilkan sungguh bagus, banyak yang brilian malah. Ada beberapa hasil diskusi yang bisa kita kirim ke surat kabar nasional untuk dimuat karena saking bermutunya. Namun, sayang sekali, rasanya ada yang kurang dalam niat baik ini: memperhatikan sekeliling.

Ketika kita berbicara tentang mahalnya pendidikan, kita sering berbicara dalam level Indonesia, level nasional. Kita mengutip data dari mana-mana bahwa ada sekian juta anak yang gagal sekolah gara-gara mahalnya biaya pendidikan. Kita mengecam pemerintah dan berkoar-koar pentingnya pendidikan murah.

Tapi coba sejenak berhenti. Maksud saya, coba berhenti sejenak membicarakannya dalam level Indonesia dan coba bicarakan dalam level mikro, lokalitas masing-masing. Bertanyalah pada diri sendiri seperti ini –dan kalau kamu nggak tahu jawabannya, tanyalah pada orang yang tahu:

“Berapa banyak sih teman-teman di fakultas saya yang kesulitan bayar BOP? Berapa orang teman saya yang terpaksa harus berhenti kuliah gara-gara itu? Berapa banyak Maba yang nggak jadi masuk UI gara-gara itu?”

Pernahkah teman-teman membayangkan bahwa bisa jadi misalnya ada 50-an Maba yang tidak jadi masuk UI gara-gara masalah biaya, padahal BOP dan UP-nya sudah ditekan semurah-murahnya? bukannya mereka tidak mau, tapi memang karena tidak mampu. Sungguh ironis, di tengah julukan daftar ulang 2009 yakni “banjir mobil”, bisa jadi nun jauh di pojokan rektorat sana, ada mahasiswa baru yang keringat dingin karena bingung harus membayar BOP pakai apa.

Itulah mungkin yang terlupa oleh kita. Lupa karena kita sibuk bicara dalam level Indonesia dan melupakan level terdekat kita, yakni di UI sendiri, di fakultas sendiri, atau bahkan di jurusan sendiri. Tidak salah memang berbicara dalam level nasional, tapi ingat kata pepatah bahwa hidup harus seimbang. Ada saatnya berwacana, ada saatnya mengambil langkah konkret; ada saatnya memperhatikan keseluruhan Indonesia, ada saatnya memperhatikan lingkungan sendiri; ada saatnya bermimpi, ada saatnya mewujudkan.

10 thoughts on “Berhenti Bicara dalam Level Indonesia dan Perhatikan Sekelilingmu”

  1. sedih bacanya, kebetulan teman saya sekelas saya juga ada yang bernasib seperti itu, ia memilih lebih baik nganggur karena tidak mampu membayar BOP. dan akhirnya ia sekarang mencoba beberapa sekolah kedinasan seperti STAN, STIS dan Sandi Negara.

    Reply
  2. rasanya sedih ya..
    kita juga nggak bisa berdiam diri aja.
    Harus bergerak dengan langkah nyata.
    Bukan berkoar-koar di jalan aja, tapi bener-bener “langkah nyata”.

    Reply
  3. Kalau begitu, lakukan dg aksi nyata
    Mulai dari org yg kalian kenal,misal adek kelas SMA kalian
    Pasti ada salah satu yg pintar,tapi tidak mampu secara ekonomi
    Mulai bujuk dari sekarang,terangkan kemungkinan kuliah murah di UI
    Dan apa saja yg harus dipersiapkan utk meraihnya
    Agar ketika penerimaan 2010 nanti
    Satu anak bangsa bisa memperoleh haknya
    Satu mahasiswa mnyelamatkan satu bibit bangsa
    Cara ini terbukti cukup efektif
    Dan mungkin lebih baik daripada sekedar berwacana

    Reply
  4. @imz: ya, imz…bagus sekali saranmu itu..
    lakukan, lakukan saja..
    sampaikan walau hanya 1 ayat. Sampaikan walau hanya 1 harapan..

    Reply
  5. Sebenarnya kl mw masuk UI modal otak itu gampang
    Hanya persiapkan modal finansial untuk bertahan pada semester 1
    Dg kata lain BOP plus UP tahap awal, kalo berat, msih bisa dicicil juga kan?
    Untuk selanjutnya, bnyak beasiswa yg sudah bisa diperoleh
    Entah itu PPA,BBM,mandiri,Bca,tanoto,KS4
    Smw itu cukup kalo hanya untuk ‘kuliah gratis’
    Pesan inilah yg perlu disampaikan kepada yg ‘berhak’

    Reply
  6. @Imz: bener juga, tuh…
    tapi ya justru orang-orangkan telernya pas nyiapin duit pertama itu..Banyak bener siihh…

    @Eltina: sayangnya sudah mempraktekkan apa yang saya tulis, hehe (walau belum terlalu hebat)…alhamdulillah..

    Reply
  7. @Hadi: eeh, perlu dijawab ya…oke lah.

    @Eltina: supaya gak dibilang NATO (Not Action Talk Only) juga, oke saya jawab..alhamdulillah saya dah mencoba membantu temen2 yang kesulitan BOP-B. Intinya, di fakultas saya (FIB), tim Adkesma BEM FIB 09 ketika awal-awal masuk kuliah 2009/2010 mendapat banyak permintaan bantuan BOP. Ada maba yang minta dibantu lewat keringanan di BOP-B, tapi ada juga yang minta dibantu lewat biaya langsung (uang cash). Nah, saya membantu di bidang uang cash. Jumlahnya? rahasia perusahaan, hehe..Saya tahu bantuan itu gak terlalu berarti, tapi saya sudah mencoba..

    Nah, saya sudah menceritakan. Gimana dengan saudari Eltina..langkah konkret apa yang sudah kamu lakukan?

    @Okza: mimpimu pas-pasan apa nggak? kita menyesal biasanya atas apa yang nggak kita lakukan, bukan menyesal atas apa yang kita lakukan.

    Saya pikir, coba saja dulu. Memang dengan kondisi seperti itu butuh usaha yang jauh-jauh-jauh lebih keras. Tapi itu bukan alasan kita utnuk menyerah kan?

    Reply

Leave a Comment