Ngulik Berita 2/Noti/-18/6/11 Kastrat SALAM UI 14
Commuter Line: Sistem perkeretaapian terbaru yang direncanakan mulai beroperasi pada 2 Juli 2011 ini cukup menarik untuk dicermati. Berbekal pada studi banding sistem kereta single service di negara tetangga seperti Thailand, Singapura, dan Malaysia membuat PT KAI menetapkan kebijakan baru. Konon PT KAI akan melenyapkan sistem lama dan mendesain sebuah sistem perkeretaapian baru untuk sebuah tujuan strategis, menjadikan KA sebagai backbone transportasi pada 2019 yang bisa mengurangi kemacetan Jakarta. Nantinya hanya akan ada dua macam KA: Commuter Line dengan fasilitas AC yang berhenti di setiap stasiun yang bertarif sembilan ribu rupiah dan KA ekonomi dengan tarif 1500-2000 rupiah.
Masa percobaan pun dilakukan, tepat hari ini Sabtu 18 Juni 2011 Commuter Line perdana beroperasi. Masyarakat kaget dengan tarif yang tiba-tiba naik hampir 100% dan memprotes kenaikan yang harusnya berlaku mulai 2 Juli, rupanya sosialisasi mengenai masa percobaan commuter line tidak begitu mengakar ke masyarakat meskipun PT KAI berdalih bahwa pengumuman masa percobaan commuter line sudah diberitahukan jauh-jauh hari.
Lalu apa yang membuat commuter line ini begitu istimewa sehingga menuai berbagai reaksi, baik pro ataupun kontra?
Pertama, katanya Kereta Commuter Line yang akan diluncurkan pada 2 Juli 2011 ini merupakan sistem perkeretaan yang paling cocok dengan kawasan perkotaan Jakarta, jumlah kereta lebih banyak dan selang waktu pemberangkatan Kereta lebih sering setiap sepuluh menit sekali. Kereta juga berhenti di setiap stasiun untuk memperbesar aksesibilitas penumpang. Katanya juga, jadwal Commuter Line tidak akan mengalami ketelatan, dengan kata lain PT KAI menawarkan sebuah sistem kereta tepat waktu berfasilitas “wah” yang berhenti di setiap pemberhentian kepada penumpang yang bersedia merogoh kocek lebih dalam, yaitu karcis seharga sembilan ribu rupiah saja.
Prakteknya, pada masa percobaan, saya termasuk penumpang yang “dipaksa” ber-commuter line hari ini tidak terlalu merasakan efek dahsyatnya ketepatan waktu. Jadwal Commuter Line pada brosur tidak terlalu sesuai dengan jadwal “lapangan” Commuter Line, meskipun berbeda selisih hanya 3 menit-an, telat tetap saja telat..tidak memandang menit ataupun detik. Masalahnya klasik, gangguan sinyal, bahkan tadi kereta sempat terhenti selama dua puluh menit di tengah perjalanan menuju St.Manggarai dikarenakan terputusnya sinyal.
Kedua, tarif. Yang ini bisa membuat penumpang elus-elus dada, apalagi untuk mereka yang terbiasa mengandalkan KA Ekonomi AC bertarif 5500 rupiah. Pemukulan rata tarif 9000 rupiah baik untuk jarak jauh maupun dekat cukup memberatkan, mengingat banyaknya manusia yang bergantung pada moda transport yang satu ini. Pemberlakuan tarif akan terasa lebih adil dan manusiawi bila ditinjau ulang berdasarkan jarak tempuh, bukan tarif flat pukul rata.
Pada akhirnya penumpang dihadapkan pada dua titik ekstrem. Memaksakan diri merogoh uang lebih tiap harinya untuk jasa Commuter Line atau mengorbankan kenyamanan bahkan keamanan jiwa dengan tetap memilih layanan KA Ekonomi yang makin hari makin mengenaskan. Mungkinkah itikad baik PT KAI untuk mengurangi kemacetan Jakarta melalui layanan Commuter Line akan terwujud? Apakah ini akan menjadi win-win solution baik itu bagi masyarakat sebagai konsumen dan PT KAI sebagai penyedia jasa? Semoga.
Kita lihat saja nanti, 2 Juli 2011
berita:
http://megapolitan.kompas.com/read/2011/06/18/10162213/Uji.Coba.KRL.Commuter.Line.Hari.Ini
referensi:
intinya cuma satu, tarif jangan flat, terlalu berat
tarif seblumnya juga ga murni berdasarkan jarak juga sih.. kalo saya rasa tarif flat konsekuensi dari infrastruktur stasiun kereta kita yang tidak mampu memberikan sistem yang tertutup. selama ini saya kira krl sudah kewalahan melakukan pengecekan tiket kereta. jadi tarif flat memang konsekuensi yang cukup logis dari segi operator. kalau tidak puas dengan kondisi ini maka kita harus menuntut dinas/kementerian perhubungan untuk benerin stasiun-stasiun yang ada. supaya sistem ticketing berdasarkan stasiun masuk dan keluar penumpang bisa terwujud.
lagipula untuk urusan penetapan harga, saya sih bersimpati saja sama PT. KAI. selama puluhan tahun ini mereka memang sudah menjadi anak tiri dalam pembangunan sistem transportasi kita. di mana pendanaan dan subsidi terus dipangkas namun BUMN tetep ditekan untuk untung, pilihan yg ada pastinya membebankan itu semua kepada pelanggan. kondisi di mana penumpang kereta itu captive memang sudah diketahui semua pihak, jadi tidak mgk PT. KAI tidak mengetahui hal itu. yang mgk terjadi adalah justru dgn fakta seperti itu mereka tahu bahwa pengguna kereta api tidak akan punya pilihan lain selain “nurut” dgn tarif yg berlaku.
sebagai solusi sbenarnya kita, masyarakat, harus lebih mengkritisi kebijakan2 transportasi non-publik (khususnya non-kereta). segala pelebaran jalan, atau pembangunan jalan tol itu harusnya bisa direduksi dan anggarannya dipakai untuk transportasi umum. kita harus bisa memaksa pemerintah untuk fokus kepada angkutan umum. kalau mau mencontoh senator di Jepang sih, di indonesia harusnya anggota dpr, menteri, atau jajaran pemerintah manapun itu jangan dikasi mobil dan protokoler. kasi aja mereka tiket gratis krl seumur hidup. kalau mereka dipaksa merasakan ketidaknyamanan itu pasti mereka concern utk ngebenahin..
tapi terlepas dr mslh harga kalau saya sih kecewanya karena pada perencanaan sebelumnya, yang saya tahu adalah pola operasional kereta yang diubah menjadi hanya 5 relasi + 1 circle line. tapi entah kenapa, malah kembali diubah menjadi pola operasi yang diuji coba kemarin itu. kalau seperti itu, ibaratnya hanya menghilangkan pelayanan ekspres saja. tapi semua kereta dari kota-kota penyanggah tetap saja menusuk ke kota. kalau begini yaa tidak mengherankan jadwal yg ada tetap tidak dapat terlaksana.