Curhat Dosen tentang Sistem Penggajian UI: How Lovely, Now We Live with Rp112.500

Dear friends

This note is based on the information compilation from several Special Lecturers (Dosen Luar Biasa) who attended at the UI New Payment System for Communications Lecturers on Friday, 4 December 2009.

Based on the meeting with the head of Communications Department, there are three types of lecturer:
A. Full time lecturer for research (Dosen Inti Penelitian) with the qualification is doctorate degree

B. Full time lecturer (Dosen Inti Pengajaran): (1) Full time with the status of Civil Servant (Pegawai Negeri) or BHMN. (2) Special Lecturer (Dosen Luar Biasa). The qualification: Master degree, age max 35 years; or Doctorate degree, age max 40 years. They have to dedicate their time for UI 30 hours/month.

C. Other scheme lecturer (Dose Skema Lain-lain): (1) Full time lecturer with the status of Civil Servant (Pegawai Negeri) or BHMN who decide doesn’t want to include in “B” type. (2) Special Lecturer (Dosen Luar Biasa)

Salary

  • Type A: maximum teach 6 credits, they focus in research and have to publish it in a book format. They have their own office cubicle at Selo Soemardjan Research Center, 6th floor. Their salary approximately is as competitive as the top manager in a commercial company.
  • Type B: teach 6 to 18 credits, with salary might be Rp7-10 million.
  • Type C: teach 4 credits and the salary will be Rp 112.500/attendance/regular (bachelor/S1) program, and probably Rp200 thousand something/attendance/Diploma and extension program.
    For type C, the management said that we might get take home pay Rp1.6 – Rp1.8 million/month.

Really? If we calculate for1 subject:

  • Bachelor (S1) regular program: 4 x Rp112.500 = Rp450.000. Or
  • Diploma 3 or Extension programs: 4 x Rp 200.000 = Rp800.000

I think it’s true we can get take home pay Rp1.6 million but every 2 months… and if they remember they have to transfer to our account. Just for your info Fresh graduate will have Rp2 – Rp2.5 million for their first time career.

Thank you very much UI, you are very generous, kind, loving, caring, full of appreciation to us. Every day will be ‘fasting’ day. How can I pay my:

Nanny? My son’s school tuition + extracurricular? My transportation for teaching? My electricity + wifi for input your ‘smart’ data administration? My laptop? My books? My brain? My time? My expertise? My health? My family meal? My knowledge? My doctor? My saving? My cell phone voucher? My newspaper? My simple entertainment? My graphic novel books? My life?

Even elementary school teacher their salary now is approx. Rp2 million, although this is still very sad!

published @Facebook note, 14 Desember 2009, 11:23pm

31 thoughts on “Curhat Dosen tentang Sistem Penggajian UI: How Lovely, Now We Live with Rp112.500”

      • Wendy,
        Barangkali Anda harus belajar melihat dengan pemikiran yang lebih luas dan dari berbagai sisi. Pertanyaan saya sederhana kok: apakah layak seorang pendidik pada institusi seperti UI memberi honor sebesar itu? Nah kalau sebuah pendidikan sebesar UI tidak dapat memberikan apresiasi yang benar, mau jadi apa negara ini? Sekarang saja sudah morat-marit. Kalau juga mikir,”Ah banyak kok yang mau jadi dosen.” Tentu Mas banyaaaaakkkkk…. tapi kualitasnya???

        Untuk Julbe… nah benahi dulu ya Anda dalam berbahasa. Barangkali Anda juga korban akibat pendidikan kita yang sudah rendah kualitasnya. Saya sebagai dosen tertusuk nuraninya karena tidak mampu melahirkan generasi yang mampu memberikan kontribusi positif pada negara ini, karena perilakunya. Sopan santun dalam berbahasa, menunjukkan Bangsa. Saya malu bila mahasiswa ataupun sudah luluspun, tidak memiliki perilaku yang baik.

        Reply
        • Masih diungkit, ya? 🙂
          Saya (gak pake kata: “gue”) penganut egaliter di dunia maya. Lagipula ini situs anakUIdotcom (komunitas mahasiswa dan alumni UI) bukan situs civitasUIdotcom. Saya menganggap Anda (gak pake kata: “lo”) sebagai alumni UI yang berkarir sebagai dosen UI. Nanti ada yang nyamber: “sama alumni koq pake bahasa gue-lo? kan bisa mbak atau abang”. Bisa salah juga, karena gak semua alumni yang udah jadi dosen ntar pun ada yang marah, mereka maunya dipanggil bapak-ibu.

          “Sopan santun dalam berbahasa menunjukkan bangsa.” << Ini pun nanti akan banyak yang salah tangkap, beberapa pemakai bahasa jawa timur-an akan membuat sakit hari beberapa orang di Solo sana. Apakah beberapa orang pengguna bahasa Jawa Timur-an dianggap tidak sopan? Ntahlah, kalo bahasa kaum humanis, relatif dan tergantung ini tergantung itu. Ini alasan kenapa saya untuk beberapa hal menganggap dunia maya sebagai dunia egaliter.

          Sudahlah, daripada keterusan dianggap defense saya sudahi di sini. Padahal fokus kita di sini adalah kesejahteraan pengajar bukan tata bahasa.

          Maaf kalo sudah merasa menusuk nurani Anda karena telah melahirkan generasi macam saya.

          Salam.

          p.s: Dosen seperti Bu Vashti ini sangat perlu didukung, karena jarang sekali pengajar yang concern akan dunia pendidikan yang tidak hanya bergerak tentang mengajar-diajar. Tapi ada aspek lain juga, seperti kesejahteraan. Jadi inget berita tempo lalu tentang peneliti Indonesia yang memilih keluar negeri dibanding bergiat di dalam negeri. Karena apa? Gak dihargai. Sayang sekali.

  1. Maaf, sepertinya tdk selayaknya anda bertanya demikian.. Apa yg akan terjadi kalau dosen2 di ui brhenti mengajar? Mreka sudah mendedikasikan waktu dan ilmunya utk negeri ini.

    Jika memang benar dmikian, memang sungguh memprihatinkan kondisi ini.. Setahu sy sumber pemasukan dana ui sdh ckup besar.. Memangnya dikemanakan uang itu?
    Oh iya saya lupa, kita sedang membangun sebuah perpustakan nan megah serta literatur lainnya..
    Bagaimana dana utk kesejahteraan mahasiswa dan dosen, ah itu sih nomor 2, yg penting dari luar kita OKE..

    CMIIW

    Reply
  2. nampaknya anda penuh kecurigaan mempertanyakan balik kepada saya akan layak/tidak layaknya sebuah pertanyaan tersebut oleh saya..

    bukankah kita bisa belajar lebih dari seorang dosen ini, yang ternyata bagaimanapun juga kondisi dia, dia masih mempunyai jiwa mengajar/mendidik yang begitu tinggi kepada almameter tecinta kita ini.

    Reply
  3. Ya kalaupun begitu kata2 yg anda gunakan tidak sopan utk ditujukan kpd sang dosen.. Apa pantas gunakan kata gw/lw pd org yg lebih tua?

    Reply
  4. hahaa, lo mengalihkan topik dan mencari kesalahan lain yang ada di diri gw.. udah baca tulisan lain dari bu dosen ini belum?

    okeh, gw salah terlalu pukul rata semua dosen berjiwa muda (sepert ibu vashti) di ui bisa dipanggil “gw-lo”..

    sori ya, bu dosen.. tetap semangat mengajar dan semangat pula berjuang mengembalikan hak seorang dosen..!

    Reply
  5. Terima kasih semua atas pertanyaan dan tanggapan anda. Sayangnya sang penanya rupanya harus belajar berkomunikasi dan berbahasa yang lebih baik dan sopan.

    Memang tidak pantas kalau Anda bertanya ‘gue/lu’ kepada dosen atau orang yang lebih tua. Apalagi nanti kalau Anda berkomunikasi via email di dunia kerja. Anda dapat kehilangan bisnis. Jagalah kesopananmu.
    Berjiwa muda bukan berarti tidak sopan bukan?

    Nah, alasan saya mengajar sebenarnya adalah menjembatani antara dunia kerja dan dunia pendidikan di universitas, agar mahasiswa UI tidak kaget dan setidaknya paham dengan arenanya. Dosen Luar Biasa hampir semua dalah praktisi dan pakar di bidang masing-masing yang dapat dimanfaatkan serta berbagi ilmu. Saya bisa seperti ini karena dasar pendidikan kebetulan kami dapatkan dari UI, tetapi kepakaran yang saya dapatkan karena bertahun-tahun pengalaman di dunia bekerja. Inilah yang SAMA SEKALI TIDAK ADA APRESIASI dari UI.

    Kalau dunia pendidikan tinggi dapat memperlakukan dosen luar biasa seenaknya… seperti apa masa depan dunia pendidikan kita?

    Kalau Anda mengatakan,”Ah kan dapat ilmu bukan dari dosen aja, dari mana saja juga dapat!” Hal itu tidak ada salahnya, tetapi kenapa Anda kuliah dan belajar di UI? Universitas itu mengasah wawasan berpikir, meruntunkan logika, belajar berdebat yang sistematis dan menimba ilmu sebanyak-banyaknya.

    Setiap hari pun saya sebagai dosen juga selalu belajar. Berusaha memahami generasi yang jauh di bawah saya, melihat perkembangan ilmu lainnya di luar, dan berusaha mengaplikasikan hal-hal yang terkini.

    Dosen itu aset universitas yang terpenting. Mau gedung sehebat apapun, tetapi manusia di dalamnya tidak memiliki mutu yang baik… ibarat super komputer tetapi tidak ada yang mampu mengoperasikannya. Lama-lama juga jadi fosil tak berguna.

    Akibatnya apa? Kalau Anda tidak hati-hati, Anda tidak tahu medan yang Anda hadapi, seperti juga salah satunya cara Anda berkomunikasi.

    Maaf ya… sebagai dosen, saya sedih sekali dengan cara Anda bertanya, sepertinya Anda tidak mendapatkan pendidikan tinggi yang bermutu. Apalagi saya tidak kenal Anda sama sekali. Kalau Anda adalah anak UI, wah hati saya miris sekali. Saya merasa gagal untuk membentuk mahasiswa UI yang baik.

    Kalau Anda seperti itu menghadapi dunia kerja, alangkah malangnya kultur bangsa ini. Sopan santun dan pemahaman budaya sudah luntur…

    Tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki diri. Cara Anda berbicara dan menulis, menunjukkan siapa Anda, dan orang dapat menilai Anda di tingkat pendidikan seperti apa.

    Reply
  6. Jika anda membaca artikel ini dengan teliti maka sesungguhnya tidak tepat menganggap bahwa gaji kecil untuk Tipe C adalah masalah.

    Tipe A dan B yang full-time di UI mendapat kompensasi yang bagus. Jadi untuk yang full-time di UI tidak ada masalah. Dan memang *bukankah* dosen sebaiknya merupakan tipe A atau B ? Pegawai negeri, full-time di UI.

    A dan B merupakan model yang ditiru dari perguruan tinggi di negara maju dimana ada dosen dengan fokus penelitian dan dosen dengan fokus pengajaran. Ini perkembangan positif, dimana sebelumnya dua fungsi ini tidak dikenali.

    C yang merupakan dosen honorer/luar biasa dan tidak full-time memang tidak layak digaji sama besar dengan A dan B. Lagipula tentunya C karena part-time, saya menduga bahwa pertimbangannya adalah C seharusnya memiliki pekerjaan lain. Adalah *bukan* tanggung jawab UI memikirkan apakah C memiliki pekerjaan lain atau bukan!

    Kalaupun ada masalah aku duga adalah: Ada bbrp dosen junior yang belum PNS/Pegawai BHMN dan dipaksa mengajar dengan skema C. Kalau begini yang salah adalah:

    – Kurangnya kuota atau jatah PNS/P-BHMN dan pihak fakultas/departemen tidak punya kuasa menambah jumlah PNS/P-BHMN.

    – Kesalahan dosen junior sendiri yang tidak segera melanjutkan pendidikan pascasarjana (atau bahkan tidak mampu/mau menyelesaikan pendidikan doktoral). Seandainya tidak ada orang muda yang mau dipaksa menjadi dosen tipe C (sambil menunggu disekolahkan/beasiswa oleh UI), maka UI mau tidak mau harus menambah jatah dosen tipe A atau B. Jaman sekarang, beasiswa berlimpah untuk program master dan doktor di luar negeri *tanpa harus menjadi dosen/pegawai negeri*, jadi kesalahan besar jika orang menggantungkan pada UI untuk mendapat beasiswa sekolah master/doktor.

    Kesimpulan saya: adalah *tidak ada masalah sama sekali dengan dosen tipe C*. Masalah sebenarnya terletak di skema kuota pegawai dan pola pikir orang muda sendiri. Pergantian pola pikir orang muda akan membawa perubahan ke arah yang lebih baik bagi semua.

    NB: Saya alumni UI namun bukan dosen atau staf UI baik full-time ataupun part-time.

    Reply
  7. terima kasih Bpk Haryo yang rupanya pro dengan perubahan. Asal tahu saja Pak, banyak dosen dengan skema C memilih untuk menjadi pendidik yang pada akhirnya menjadi pekerjaan utamanya. Masalah persiapannya sama kok dengan dosen utama.

    Selain itu banyak juga yang tidak mungkin jadi PNS atau BHMN karena memang usia tidak memungkinkan. Saya bukan dosen muda yang baru lulus kemarin sore, dan juga bukan sekedar S1 kok.

    Tetapi di mana-mana tidak ada pembayaran yang turun lebih dari 50%, apalagi kalau biaya masuk sekolah juga sudah menjulang tinggi.

    Terima kasih atas empati yang Bapak berikan. Rupanya pendidik yang notabene ‘manusia’ bukan menjadi hal yang penting.

    Maaf… saya tetap memperjuangkan harkat & martabat sebagai dosen luar biasa, yang rasanya tidak layak dengan hanya diberi upah Rp 112.500/kedatangan. Memang bukan tanggung jawab UI bahwa perlu tahu mereka bekerja di tempat lain atau tidak. Tapi bukan berarti mereka punya cara berpikir,”Oh… kan mereka dapat penghasilan dari tempat lain, jadi layaklah kalau dibayar segitu…”

    Menyedihkan sekali pendidikan kita ini…

    Reply
  8. “banyak dosen dengan skema C memilih untuk menjadi pendidik yang pada akhirnya menjadi pekerjaan utamanya”

    Now this is where the problem lies. They know that it is not enough yet they still up to it. I think it applies everywhere that if you work part time, you cannot expect to have the same facility and salary as the full-timers.

    The salary gap between the full time employee and the part time employee is always big either in some government office or in multinational corporation. Take British universities for comparison, the full time lecturer can be paid starting from £20.000 per anno to… infinity and beyond. While the part-time lecturer mostly paid hourly starting £20/hour to £40/hour. As far as I am concern, one is bound to that payment scheme if they choose to do the part-time job no matter how important or how expert they are in their discipline.

    Let us set aside humanity issue for a while, being a part-time worker means one have less obligation than the full-time worker. Hence with less obligation it is normal that they have less rights.

    Reply
  9. Mac Clar yth

    terima kasih komentarnya. Apa yang kamu katakan itu benar sekali. Bahkan memberikan perbandingan dengan yang ada di UK. Di mata orang UK juga bisa jadi ‘pahit’ dibayar segitu dengan biaya hidup di sana super sangat tinggi. Kalau di rupiahkan: dosen per jam dibayar Rp 300-Rp 600 ribu/jam. Kalau 2 jam, sekitar Rp 600 rb-Rp1.2 juta.

    Less rights? Oho… persiapan kita sebagai dosen “upahan” dengan dosen tetap sama kok. Bahkan karena kepakaran kita, seringkali diminta untuk memikirkan untuk membenahi kurikulum dan pemikiran lainnya, yang porsinya sama dengan yang full time.

    Kita hanya melihat kelayakannya. Masuk akalkah seseorang dibayar Rp 112.500/SKS/S1 reguler (bukan per jam) tanpa dilihat kepakaran dan statusnya? Kalau iya, Alhamdulillah… Anda ternyata punya perhatian yang luar biasa terhadap pendidikan kita ini… dan barangkali ini juga jadi pikiran masyarakat umum.

    Sedihnya….

    Reply
  10. Salam kenal, Ibu Vashti.

    Maaf sebelumnya, saya sangat awam dengan dunia pengajaran, tapi sangat tertarik setelah membaca artikel ini.

    Kalau boleh tahu, untuk menjadi tipe C atau tipe B apakah diri sendiri yang menentukan atau kampus yang merujuk?

    Peraturan ini berlaku untuk setiap jurusan?

    Maaf sekali lagi, saya masih awam.
    Terima kasih.

    Reply
  11. Dear Riri

    Kalau Anda masih di bawah 35 tahun, sudah dapat Master dan mengajar, besar kemungkinan Anda akan ditawarkan untuk yang “B”, dosen Inti Pengajaran dan bisa menjadi pegawa negeri (dengan proses panjang ya). Karena setahu saya kemungkinan tidak ada BHMN lagi. Tapi sebaiknya ditanyakan kepada rektorat.

    Nah kalau BHMN, hanya bisa masuk Dosen Inti Pengajaran yang “Mengajar” TIDAK BOLEH masuk dalam “Peneliti”. “Peneliti” hanya untuk yang sudah berstatus pegawa negeri.

    Bagi mereka yang sudah BHMN dan Pegawai Negeri, bisa juga memilih yang “C”, dimana tidak terikat dengan 18SKS mengajar dan 30 jam di kampus. Tetapi dibayar sama seperti Dosen Luar Biasa/Skema Lain-lain (C), per kedatangan, di mana di FISIP untuk reguler S1 hanya dibayar Rp 112.500, dan tidak boleh lebih dari 4 kredit. Jadi… silakan memilih dan berpikir untuk jadi dosen di UI.

    Semoga menjawab ya…

    Reply
    • Alinea ke 2 “Peneliti hanya untuk yang sudah berstatus pegawai negeri” —-> ?

      Dr. Donny Gahral A, Dosen UI-BHMN, tidak berstatus PNS. Beliau adl Dosen Inti Penelitian.

      Reply
      • Terima kasih Ibu Lily, nah… barangkali itu terjadi di Fakultas Budaya. Tapi dari informasi yang saya terima adalah seperti itu. Nah barangkali oerlu ada kejelasan bukan?

        Reply
    • Dasar hukumnya (di tingkat Universitas):

      1) SK Rektor UI No. 013/SK/R/UI/2009 tentang Pembentukan Dosen Inti Penelitian Universitas Indonesia
      2) SK Rektor UI No. 191/SK/R/UI/2009 tentang Sistem Remunerasi Dosen Terintegrasi Universitas Indonesia
      3) SK Rektor UI No. 1345/SK/R/UI/2009 tentang Sistem Remunerasi Terintegrasi Tenaga Pendidik Universitas Indonesia

      SK tsb lalu diterjemahkan di tingkat Fakultas (contohnya, yg ada di FT) spt :
      SK Dekan FT No. 1319/D/SK/FTUI/IX/2010 tentang Ketentuan Remunerasi bagi Staf Pengajar FTUI.

      Dengan demikian, untuk dosen tipe C, Fakultas menentukan sendiri tariff dosen type C, dan bukan SDM UI.

      Contohnya dari SK di atas, sy kutip ya: “Biaya penyelenggaraan yg dikelola oleh Dosen Status Lain2 Non PNS (ini S2, yg ada di SIAK NG) sebesar (saya ambil 1 contoh ya): Program Sarjana Reguler S1 Reguler Rp. 2,000,000/sks/semester.” Ini artinya, 3 sks mk biaya gaji dosennya adalah 6 juta (3 sks x 2 jt/sks). Kalau 1 semester ada 16 x pertemuan, tinggal dibagi saja, @ datang = Rp. 375.000.- Ini berlaku sama dari mulai Wakil Menteri, Perekayasa Utama BPPT s.d dosen muda yg baru lulus S2 yg mengajar di FT.

      Nah, bagaimana dengan Fakultas Anda? Sila tanya langsung ke Sekretaris Fakultas Anda!

      Reply
      • Terima kasih penjelasannya Ibu Lily. Bangga sekali ya setiap kedatangan dibayar Rp 375.000, sayangnya waktu renumenerasi yang “cantik” diselenggarakan, saya tidak pernah mendapatkan sebesar itu. Bahkan pada program vokasi juga masih di bawah itu kok. Jadi tak bisa dipukul rata… dan kasihan ya, ilmu yang dimiliki oleh para dosen ini sangat “murah” harganya… pantaslah kalau pendidikan kita ini tidak ada visi dan morat-marit adanya. 🙂

        Reply
  12. Achmad

    dasar hukum? Perhitungan itu atas dasar yan dilakukan Pak Rek tor tercinta. Nah silakan Anda tanyakan kepada beliau. Jurang para petinggi dan dosen seperti kita ini sangat lebar. Beliau kan selalu gembar-gembor (itu juga di Kompas sekitar 4 th yang lalu), gadi dosen UI mencapai minimal Rp 10 juta. Nah bisa hitung sajalah kalau kita hanya mendapatnya ya… Rp 200 ribuan/kedatangan. Sebulan Rp 800 ribu kan?

    Reply
  13. Nampaknya yang banyak dipermasalahkan adalah Tipe C.

    saya ingin menyampaikan bahwa keadaan di banyak setiap fakultas/departemen/jurusan berbeda, sehingga ada kemungkinan sistem seperti diatas tepat adanya.

    di jurusan arsitektur terdapat beberapa mata kuliah yang diampu oleh satu dosen (tipe B) dan pembelajarannya difasilitasi oleh beberapa dosen (tipe C). segala urusan kurikulum, administrasi, dll, dalah tanggung jawab dosen pengampu. tugas dosen fasilitator adalah membimbing proses belajar mahasiswa.

    sebagai salah satu dosen/fasilitator tipe C tersebut, saya merasa upah 150 ribuan perkehadiran tersebut sudah cukup. setiap kehadiran saya menghabiskan waktu sekitar 3 jam, sehingga setiap jam waktu saya dihargai 50 ribu rupiah. ‘hitungan honor per-jam’ tersebut saya rasa cukup mengingat kualifikasi dosen fasilitator yang cukup S1.

    untuk satu mata kuliah tersebut saya hanya perlu menyisihkan waktu 6-8 jam perpekan, waktu yang saya miliki untuk melakukan pekerjaan lain masih sangat banyak.

    demikian pendapat saya. 🙂

    Reply
  14. dear ibu vashti…
    saya adalah salah satu dosen tidak tetap UI yang senasib dengan anda. saya saat ini mengajar di FISIP, dan tengah menempuh pendidikan S2 juga. ketika saya pertama kali mengetahui mengenai skema ini, jujur saya sedih, terutama karena saya mengampu lebih dari 8 sks setiap smesternya. ketika sistem ini pertama kali berjalan, saya mengampu 10 sks, dan mengajar kelas sarjana reguler dan ekstensi, dr senin hingga sabtu. saya tidak bisa masuk ke skema dosen B karena saya belum S2. yang menyedihkan adalah, ktika smester pertama sistem itu berlaku, dari 10 sks yang saya ampu, yang dibayarkan hanya 4 sks saja, sehingga 6 sks sisanya tidak dibayarkan. namun untungnya departemen tempat saya mengajar membantu dgn mengusahakan agar kekurangan pembayaran tsb dapat dibayarkan di akhir semester, dan memang akhirnya dibayarkan, meskipun saya harus menunggu lama hingga bulan oktober. smester berikutnya kembali saya mengajar lebih dari 8 sks, dan kali ini lebih baik karena kekurangan pembayaran dpt dibayarkan dibulan berikutnya. smester berikutnya 6 sks, dan hanya 4 yg dibayarkan, sisanya hangus (tidak dibayarkan sampai sekarang). smester ini saya mengajar 8 sks, tapi dgn remunerasi yg tidak jelas karena sistem insentif khusus yg dulu saya bisa dapatkan, belum tentu bisa saya nikmati lagi di semester ini, shinga jika memang terjadi spt itu, yah terpaksa saya relakan 4 sks sisanya utk “pengabdian”.
    sebenarnya, yang saya inginkan (atau mungkin kawan2 saya yg lain yg snasib dgn saya) itu mudah. begini, setau saya dosen skema A dan B, selain mereka mendapatkan xf (honor yg hanya diterima jika datang mengajar) sperti dosen skema C, mereka juga mendapatkan xu (honor yang diberikan meskipun mereka tidak mengajar). yang saya inginkan adalah, kenapa sih kami, dosen skema lain, yg mengajar lebih dari 4 sks (terkadang lebih dari 8 sks) harus dipotong honornya? kenapa tidak xf kami utk sisa sks lainnya tetap dibayarkan? kami tidak meminta xu dibayarkan! kami hanya meminta, pekerjaan yang kami lakukan tetap dihargai seutuhnya.

    Reply
  15. Nida, kalau kamu masih muda dan kemungkinan besar tidak akan jadi dosen tetap, atau hanya dapat janji-janji surga, nah… ngajar saja 4 SKS yang dijatah, sisanya yang bisa Anda lakukan:
    1. Olah ilmu mu dan mencari pekerjaan lainnya di luar.
    2. Kalau mengajar adalah “passion” mu, coba mengajar di universitas swasta, dengan catatan selesaikan S2-mu secepatnya.

    Hargailah dirimu dan profesimu, janganlah menghamba… karena para “dewa’ yang di rektorat itu akan ‘take it for granted’. Kita perjuangkan pendidikan agar benar-benar menjadi perhatian besar di negara kita ini.

    Reply
  16. saya sebagai mahasiswa turut prihatin,, bandingkan saja dengan fee les privat, gaji dosen tipe c tak jauh berbeda,,,
    #sekali ngajar privat aja ada yang dapat 100.000 atau mungkin bisa lebih *tergantung Bimbel yg menaunginya juga sih,,,

    buat Bu vashti, sabar ya bu,,, semangat! tetap berikan yg terbaik bagi pendidikan,,, :)hehe

    Reply

Leave a Comment