Departemen Sejarah UI Tidak Peka

Keluarga saya terkejut melihat iklan seperempat halaman di Kompas tanggal 20 November yang lalu. Dengan terang-terangan, Departemen Sejarah UI menyatakan “Mengucapkan Selamat atas penganugerahan gelar PAHLAWAN NASIONAL bagi DR. Ide Anak Agung Gde Agung SH atas jasa-jasanya yang luar biasa terhadap negara dan bangsa Indonesia yang diserahkan langsung oleh Presiden Republik Indonesia Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara”.

Ucapan Selamat dari Departemen Sejarah UI yang memenuhi seperempat halaman Kompas tanggal 20 November 2007

Mengapa saya katakan Departemen Sejarah UI Tidak Peka?
Karena Ide Anak Agung Gde Agung adalah sosok kontroversi dan masih ada mereka, baik keluarga pahlawan-pahlawan Bali yang telah gugur maupun pejuang-pejuang dari Bali, yang masih memiliki trauma atas kekejaman beliau pra-1948.

Salah satu buku tulisan Ide Anak Agung Gde Agung yang bercerita tentang diplomasi RI selama 20 tahun dari 1945-1965

Siapakah Ide Anak Agung Gde Agung?
Secara ringkas bisa disebutkan bahwa Ide Anak Agung Gde Agung, dahulunya berpihak pada Belanda hingga sekitar tahun 1948 dan dengan kesatuan tempurnya, PPN-nya secara aktif memerangi pihak republik (Pemuda Republik Indonesia, PRI). Setelah tahun 1948, negara-negara boneka (Bijeenkomst voor Federaal Overleg, BFO) terbentuk dan arah angin sedang berpihak pada Indonesia. Di masa inilah, Ide Anak Agung Gde Agung mulai berpihak pada Indonesia dan setelah Belanda mengakui kedaulatan, beliau berperan dalam diplomasi-diplomasi Pemerintah Indonesia.

Tidak ada yang menyangkal jasa-jasa Ide Anak Agung Gde Agung setelah tahun 1948. Namun pemihakan pada Belanda yang dilakukan sebelum tahun 1948 masih membekas di antara pejuang-pejuang dari Bali. Kita tidak tahu apa yang membuat IAAGA berpindah pihak, apakah ia insyaf, apakah ia mendapat tekanan dari sekitarnya, atau ia seorang petualang. Karena itu, namanya perlu diragukan untuk menjadi pahlawan.

Yang menjadi sorotan di sini bukan IAAGA, namun kebijakan pemerintah untuk mengangkat IAAGA menjadi Pahlawan. Pada koran yang sama, Budiarto Shambazy menyindir, “Pengkhianat jadi pahlawan, Bung Tomo dianggap belum pantas”.

Benar!
Panitia yang sama lagi-lagi menolak kepahlawanan Bung Tomo dengan alasan perjuangan beliau bersifat lokal. Lalu untuk apa perayaan 10 November sebagai Hari Pahlawan? Pertempuran Surabaya adalah salah satu titik perjuangan Republik Indonesia, di mana para pemuda, memaksa Pemerintah Indonesia, yang sebelumnya berhati-hati, terlibat konfrontasi langsung. Pertempuran Surabaya adalah pertempuran yang membuat Tentara Inggris terkejut dengan semangat rakyat dan memutuskan untuk tidak membantu Belanda di hari-hari selanjutnya. Dan Bung Tomo, yang menjadi tokoh pada pertempuran Surabaya yang mengubah arah perjuangan ini, kepahlawanannya dianggap lokal? Kenapa tidak sekalian saja batalkan kepahlawanan Sultan Hasanuddin dan Pangeran Diponegoro yang jelas-jelas lokal?

Kesimpulannya?
Keputusan Pemerintah mengangkat IAAGA sebagai Pahlawan Nasional dan mengabaikan Pahlawan-Pahlawan lain dengan vonis “sifatnya lokal” adalah bukti ketidakpekaan pemerintah. Mekanisme pemberian gelar Pahlawan Nasional yang tidak menyertakan publikasi dan sosialisasi pada rakyat terlebih dahulu adalah bukti kediktatoran Pemerintah yang merasa berhak mencuci otak rakyatnya dengan menentukan siapa pahlawan dan siapa yang bukan.

Dan Departemen Sejarah UI bersalah karena berkomplot mendukung mekanisme tersebut, terbukti dari iklan seperempat halaman yang dimuat di Kompas 20 November 2007. Tidak heran jika dahulu Soe Hok Gie merasa dikucilkan.

Bacaan Lebih Lanjut:

  1. Kompas, 20 November 2007 (iklan Departemen Sejarah UI dan tulisan Budiarto Shambazy)
  2. Kompas, 16 November 2007 halaman 6 (Opini Asvi Warman Adam)
  3. Blog Wibisono Sastrodiwiryo, alumni SMAN 1 Singaraja, http://dendemang.wordpress.com/2007/11/11/bila-oportunis-diangkat-pahlawan/ (diakses terakhir 21 November 2007)
  4. Majalah Tempo minggu ini (19-26 November 2007)

(Penulis, Kunderemp “An-Narkaulipsiy” Ratnawati Hardjito, adalah Mahasiswa Kelas Internasional Fakultas Ilmu Komputer angkatan 2002 yang dahulu menempatkan “Pendidikan Sejarah” Universitas Negeri Jakarta di tempat ketiga pada UMPTN tahun 2000)

28 thoughts on “Departemen Sejarah UI Tidak Peka”

  1. Beliau (IAAGA ) masih hidupkah? Pasti banyak di antara kita yang belum kenal dengan beliau nih.. Bahkan gw sendiri baru denger namanya setelah kunderemp posting ini..

    Reply
  2. Beliau sudah wafat, Ilman.

    Nama beliau memang tidak terlalu dikenal untuk orang-orang di luar Bali. Tetapi di Bali sendiri, nama beliau masih kontroversi.

    Yang jadi pertanyaan, kenapa Pemerintah dan Departemen Sejarah FIB UI menjadi seperti menara gading, langsung mendukung beliau menjadi pahlawan tanpa berbicara pada orang-orang yang masih melihat beliau sebagai pengkhianat? Kenapa tidak ada usaha diskusi membersihkan nama beliau dahulu, melainkan langsung memberikan gelar?

    Dan kenapa iklan seperempat halaman itu begitu menyolok?
    Apakah Departemen Sejarah UI memang sedang menantang pihak-pihak yang berkeberatan atau benar-benar polos tidak tahu?

    Reply
  3. senak-enak kata coba anda baca!! kekuatan ketiga:rz.Leirisa, renville:ide anak agung gde agung
    ada bukti tidak??????????

    Reply
  4. Sekali lagi saya tegaskan…
    yang jadi masalah adalah peranan IAAGA di MASA-MASA AWAL kemerdekaan Indonesia. Biarpun beliau akhirnya membantu diplomasi Indonesia setelahnya, tetapi masa-masa ketika beliau masih berpihak pada Belanda masih menyisakan trauma pada pejuang-pejuang Bali.

    Melihat sejarah pahlawan nasional tidak hanya dilihat dari sebagian hidupnya, tetapi seharusnya seluruhnya, dan keputusan tersebut harusnya juga mempertimbangkan kerelaan rakyat. Bukan sekedar diskusi menara gading.

    Bukti?
    Anda pikir Majalah Tempo, Budiarto Shambazy di Kompas, akan sembarangan menulis kontroversi kalau tidak ada bukti?

    Dan kenapa dari empat pahlawan yang baru diangkat kemarin, hanya IAAGA yang cuma diucapkan selamat oleh Departemen Sejarah UI?

    Reply
  5. Lihat majalah Tempo minggu ini, bagian surat kabar. Ada jawaban dari sang anak..

    Lupakan apa yang kutulis di atas, biarkan pikiran jernih..
    Dan…
    benar..
    IAAGA punya jasa…
    Tapi apakah harus diganjar dengan gelar Pahlawan Nasional?

    Reply
  6. kontroversi pemberian gelar pahlawan itu emang biasa…
    contohnya imam bonjol…yg kata orang Mandailing telah membunuh tuanku Rao dan warga Mandailing lainnya, tidaklah pantas jadi pahlawan nasional dan yang lebih pantas adalah Tuanku Rao…tapi, menurut sebagian lainnya, ia telah berjasa dengan melawan Belanda sehingga dianugerahi pahlawan nasional….Ini terungkap pada seminar “Tuanku Rao” di PSJ UI beberapa waktu lalu….
    Kita ga bisa mengharapkan pahlawan itu seratus persen baik…..dan kita harus memahami sikap IAAGA ketika sebelum, selama, dan setelah perjanjian KMB.

    Anda sebagai orang eksak sebaiknya mengerti metode dan teori sejarah…sumber kompas, tempo, dan sebagainya yang berupa surat kabar tidaklah sekredibel buku-buku sejarah yang ditulis oleh sejarawan profesional yang mampu memisahkan subjektivitas dan mereka bisa berada di luar peristiwa…
    saya yakin belum memiliki pengetahuan yang luas mengenai sejarah revolusi Indonesia…
    coba anda cari dan baca buku2 berikut ini…kebetulan saya adalah mahasiswa jurusan ilmu sejarah ui 2005

    Anthony Reid, Revolusi Nasional Indonesia, Terbitan Sinar Harapan
    George Mc Turnan Kahin, Nasionalisme dan Revolusi Indonesia, Terbitan sinar harapan
    Rz Leirissa, Kekuatan Ketiga
    M.C.Ricklef, Sejarah Indonesia Modern, terbitan Serambi..
    Sartono Kartodirjo, Sejarah Indonesia Baru, terbitan Gramedia,
    dan Sejarah Nasional Indonesia jilid VI, buku babonnya anak sejarah….

    Kalo cuma baca di surat kabar doang, tanpa buku2…ya ga kredibel dong…pahamilah dulu, kami ini orang sejarah lebih mengerti dan memahami teori, metode, dan historiografi…tapi, perbedaan pendapat dalam sejarah selalu dapat diterima ko..sepanjang anda memiliki sumber dan bukti primer maupun sekunder yang kredibel…karena ilmu sejarah adalah ilmu yang paling demokratis….
    Thankyou
    Sejarah Merah Universitas Indonesia

    Reply
  7. Kalau cuma dari buku atau peneliti, saya juga bisa membela aksi-aksi sepihak PKI.

    Permasalahannya adalah, KITA TIDAK HIDUP DI ZAMAN ITU, KITA TIDAK MENGALAMI TRAUMA DI MASA ITU, dan KITA TIDAK LAYAK MENGABAIKAN PERKATAAN ORANG-ORANG YANG HIDUP DI MASA ITU…

    Kita bicara tentang gelar Pahlawan Nasional, bukan sekedar pahlawan. Kita bicara tentang gelar yang diberikan oleh pemerintah.

    Apakah IAAGA, pahlawan? Terserah anda.. Memang ia punya jasa-jasa yang tidak kecil. Tetapi apakah ia layak menerima Gelar Pahlawan Nasional? Bahkan pertanyaannya adalah: Apakah RAKYAT RELA dia punya gelar Pahlawan?

    Coba lihat Tempo Minggu ini BAGIAN SURAT PEMBACA!
    Lihat surat yang ditulis oleh anak IAAGA SENDIRI!! Kurang kredibel apa? Dia lebih kredible daripada peneliti2 yang anda sebutkan. Peneliti-peneliti yang anda sebutkan hanya menafsirkan peristiwa dari jarak aman sementara anak IAAGA, pasti pernah mendengar curhat-curhat ayahnya secara langsung.

    IAAGA boleh mengelak di bukunya bahwa NIT adalah buatan Belanda. Ia boleh mengutip pendapat George Mc Kahin atau mengutip fakta bahwa PM Amir Sjafruddin mengakui NIT. Tetapi anaknya sendiri mengatakan bahwa NIT adalah hasil prakarsa belanda dan bapaknya baru menyesal setelah Belanda melakukan aksi polisionil.

    Masih kurang KREDIBEL apa?

    Benar, sang anak masih menyangkal bahwa ayahnya pernah melakukan kejahatan terhadap para pejuang di masa pra-aksi polisionil. Lagi-lagi, permasalahan seperti itu, seharusnya diselesaikan baik-baik, bukan dengan bergaya MENARA GADING memamerkan iklan seperempat halaman.

    Dan sebenarnya, justru tujuanku memosting hal ini adalah Pemberian GELAR PAHLAWAN NASIONAL, bukan masalah IAAGA. Kontroversi IAAGA hanya merupakan salah satu isu akibat TIDAK BERESNYA MEKANISME PEMBERIAN GELAR. Masih ada isu kenapa Bung Tomo belum dapat, apakah sultan Hasanuddin menganiaya rakyat Bone, atau tuannku Rao seperti yang anda sebutkan.

    Dan pemberian Gelar Pahlawan harusnya tidak sekedar melalui buku-buku, seminar sepihak, diskusi menara gading, tetapi seharusnya juga dengan mempertimbangkan keberatan dari pihak-pihak lain.

    PEMBERIAN GELAR PAHLAWAN NASIONAL tanpa mempertimbangkan perasaan mereka yang berkeberatan, yang tiba-tiba namanya muncul setelah diangkat (dan tidak pernah dikenal masyarakat kecuali mereka yang di menara gading), adalah SUATU BENTUK KEDIKTATORAN!

    DAN DEPARTEMEN SEJARAH UI BERSALAH KARENA MENDUKUNG KEDIKTATORAN MENARA GADING SEPERTI INI.

    Reply
  8. Benar.. aku sepakat bahwa pahlawan tidak 100% suci.
    Contoh terbaik dari hal ini adalah Bung Karno sendiri. Tapi, berbeda dengan IAAGA,

    1. saya yakin, yang bertentangan dengan Bung Karno sendiri pun sepakat kalau Bung Karno layak dihargai Pahlawan Nasional.

    2. nama Bung Karno sudah memasyarakat. Mereka tahu kelemahan dan kekuatan Bung Karno. Mereka tahu kedekatan Bung Karno dengan PKI, tetapi mereka tetap menganggap Bung Karno sebagai pahlawan.

    ITU BEDANYA!

    Lihat komentar di atas,
    berapa banyak mahasiswa yang tidak mengenal beliau dan baru tahu setelah saya tulis kontroversinya di sini? BAGAIMANA IAAGA LAYAK JADI PAHLAWAN?

    Harusnya beritakan dulu nominasi dia. Lihat dan dengarkan suara-suara yang keberatan (bukan cuma mengadakan SEMINAR SEPIHAK ‘ALA MENARA GADING). Biarkan masyarakat menilai, dengan cacat tersebut, apakah rakyat rela? Kalau iya.. maka, oke.. barulah Pemerintah memberikan gelar Pahlawan Nasional.

    BUKAN DENGAN CARA DIKTATOR SELAMA INI!!

    Reply
  9. @hendaru:

    Kutipan dari komentar saya pada Blog saya yang relevan denga komentar anda:

    Apa yang dianugrahkan adalah core value, beda dengan anugrah pria berbusana terbaik. Bagi kita yang terpisahkan waktu jauh kedepan mungkin sulit menghayati nilai yang diperjuangkan 61 tahun yang lalu itu.

    Tapi coba kita bayangkan dalam konteks sekarang. Setujukah anda bila suatu saat nanti dikemudian hari para koruptor yang membuat negeri ini hampir bangkrut kemudian mendapat predikat pahlawan ekonomi?

    Setujukah anda bila dikemudian hari para pelanggar HAM orde baru kemudian mendapat predikat pejuang HAM negeri ini?

    Jadi Bung Hendaru, kontroversi pahlawan nasional tak bisa dianggap hal biasa saja dan mesti diterima sebagai sebuah kontroversi belaka. Kalau memang ada yang salah mesti di koreksi.

    Soal buku buku itu saya sudah pernah baca sebagian dan baik sekali sebagai sebuah pemahaman. Tapi tentu diluar konteks, kecuali yang Lerissa itu. Saya ingin sekali punya tapi tidak tahu harus cari dimana.

    Yang paling baik adalah kita bertemu untuk saling bertukar referensi dan membicarakan masalah ini secara obyektif dan terbuka.

    Untuk surat pembaca AA Gde Agung Jr di majalah Tempo saya telah membuat tanggapanya yang sekiranya bisa menjelaskan beberapa hal.

    Reply
  10. Yah, kenapa bangsa Indonesia kebanyakan kurang respek pada pahlawannya, karena menurut saya bangsa Indonesia itu sangat gemar memberi titel pahlawan pada orang2 yang ‘sedikit’ berjasa.. semestinya pemerintah bersikap kritis dan tidak terlalu royal dalam memberikan gelar itu..

    pernah ada seorang penulis yang menyinggung masalah ini di salah satu koran di ibukota..

    dan menurut saya pribadi, seorang pengkhianat, sekali pengkhianat tetap pengkhianat.. sangat ironis sekali memberikan gelar pahlawan pada mantan pengkhianat..

    Reply
  11. hmm.. kalau pemberiam gelar untuk pahlawan “sekelas” AAGA menjadi semua kontroversi.. bagaimana dengan wacana (atau sudah ya?) pemberian gelar kepada pak Harto ya…

    Reply
  12. Di negeri yang moral para pejabatnya bejat ini, siapa saja bisa jadi pahlawan. Bisa saja suatu saat nanti koruptor, penjarah uang rakyat, para anggota DPR yang serakah itu akan dberi gelar pahlawan…
    Di negeri ini terlalu banyak Orang yang oportunis sih…..!!!!!!!!!!!!!!

    Reply
  13. say di bali
    kalo saya liahat yang protes2 itu, adalah orang yang selalu memprotes kebijakan pemerintah, selalu.
    bener, bukan masalah IAAGA saja, masalah pariwisata mereka ikut memprotes terlalu ini dan itu,harusnya ihi, itu. petani harus siap menjaga tanah mereka dll. sedangkan mereka hidup dengan alat2 rumahtangga lengkap. ditanya pernah terjun langsung, jawabannya: menurut analisa saya begini…

    hehe

    yang protes dari bali itu, include veterean dsb. kebanyakan orang yang punya masalah setelah mereka tua, yah.. gak nyaman ma diri sendiri mungkin.. masak ada tokoh veteran musuh IAAGA gak ngubur di kuburan umum/desa, punya sendiri, artinya dia gak disukai ma desa..
    hehe

    liat tuh IAAGA in 1999 it could be the highest royal cremation in bali, top of the top..
    dihadiri oleh pejabat, dalam dan luar negeri
    dengan dukungan dari seluruh rakyat di bali..
    karena apa, karena IAAGA punya jasa dan betul2 sebagai negarawan dan sebagai orang bali secara utuh..
    mau bukti ???

    lihat saja tulisan puteranya IAAGA bahwa tahun 49 dst ada pihak yang mau merebut kekuasaan puri gianyar dst…
    memang betul, dan betul2 ada.
    sampai sekarang malah, tetapi tetap saja rakyat masih loyal sama keturunan beliau, apapun yang terjadi. karena dari turun temurun kami dan tetua kami menceritakan kebaikan serta kemuliaan yang dimiliki oleh beliau…
    bersambung

    Reply
  14. “DAN DEPARTEMEN SEJARAH UI BERSALAH KARENA MENDUKUNG KEDIKTATORAN MENARA GADING SEPERTI INI”

    Maaf kepada saudari Kunderemp, saya tegaskan disini bahwa perbedaan persepsi dan interpretasi mengenai suatu topik yang bermuatan kontroversi jangan pula diiringi dengan semangat “memvonis” satu jurusan, karena dengan statement yang gegabah bisa mencemarkan nama anda, institusi kita sebagai kampus intelektual, bolehlah anda menarik suatu konklusi tapi dengan bahasa yang intelek atau suggest yang intelek. Bila begini yang jelek jadinya adalah sejarah UI, nah itu yang ingin saya sampaikan disini. Sejarah memanh multi interpretasi, dan sebenarya semua oarang bisa menjadi sejarawan yang melakukan kegiatan historiografi, tapi tanpa ilmu dan metode tentu akan menjadi sejarah yang egosentrik. Sejarah bukan sekadar memoir tapi juga ilmu, nah anda sebagai orang eksakta harus bisa memahami itu agar tidak memaksakan suatu topik atau memvonis “Anda salah, saya benar……..”
    Sejarah tidak bisa seperti itu. Bangsa kita bukan bangsa pembaca, jadi bisa dipahami pemahaman kita sebagai satu bangsa akan sejarah, bagi bangsa kita sejarah bukan hal yang utama, dipinggirkan, beda dengan eksakta misalnya, tapi saya tidak mau Classis, dan sebagai mahasiswa 2008 saya menyadari itu…
    Tolong perhatikan statement anda, karena bisa jadi anda menjelekkan satu institusi, apalagi kita sesama warga UI, apa begini ucapan seorang mahasiswa……
    Saya hargai anda sebagai senior saya, tetapi saya lebih menghargai bila anda menggunakan intelektualitas anda dengan hormat.

    Reply
  15. @Hendra Saktiono:

    Bila begini yang jelek jadinya adalah sejarah UI, nah itu yang ingin saya sampaikan disini.

    Tapi anda juga sebagai anak sejarah jangan berdiam diri dong, usulkan seminar untuk membahas kasus ini. Saya dukung sepenuhnya, jika anda mau mencari jalan untuk itu.

    @bagus:

    kalo saya liahat yang protes2 itu, adalah orang yang selalu memprotes kebijakan pemerintah, selalu.

    Wah ini asumsi tanpa dasar.

    liat tuh IAAGA in 1999 it could be the highest royal cremation in bali, top of the top..

    Ketahuan deh semangat feodalnya
    anda ini anak UI bukan sih?

    Reply
  16. saya tertarik juga dengan “konsep” menara gading milik saudara Kunderemp An-Narkaulipsiy. tidak tahan juga menahan rasa gatal di jari untuk tidak menulis.

    menurut saya, gelar pahlawan nasional selalu akan menimbulkan kontroversi. Tidak ada pahlawan yang suci 100 persen. kita semua sepakat, tapi harus diingat, konsep pahlawan nasional itu adalah kepentingan POLITIK. bukan bagian dari ilmu sejarah.

    jadi bagi saya kurang tepat ketika ucapan selamat kepada IAAGA itu disampaikan oleh departemen sejarah. tapi SANGAT SALAH ketika saudara Kunderemp An-Narkaulipsiy diatas berana men-judge kesalahan dengan pernyataan2 misalnya “Kalau cuma dari buku atau peneliti, saya juga bisa membela aksi-aksi sepihak PKI.” (apa yang salah dengan komunisme? dalam ilmu sejarah, komunisme tidak bersalah.) atau pernyataan saudara “Bukti?
    Anda pikir Majalah Tempo, Budiarto Shambazy di Kompas, akan sembarangan menulis kontroversi kalau tidak ada bukti?”

    saya pikir anda sungguh bersalah dengan pernyataan itu.
    karena,
    ketika bicara tentang sejarah, maka bicaralah tentang sejarah murni. dan bagi saya, Budiarto shambazy bukan sejarawan seperti Susanto Zuhdi, Leirissa, atau Hilmar Farid.

    Jadi saran saya, coba anda lebih banyak membaca lagi sebelum membuat pernyataan.
    -Tyson- sejarah UI 2007

    Reply
  17. @ Kunderemp An-Narkaulipsiy :

    saya orang awam pak. saya mau bertanya tentang yang anda tulis di atas :

    “” berapa banyak mahasiswa yang tidak mengenal beliau dan baru tahu setelah saya tulis kontroversinya di sini? BAGAIMANA IAAGA LAYAK JADI PAHLAWAN? “”

    APAKAH SEORANG PAHLAWAN HARUS TERKENAL.. BARU LAYAK DISEBUT PAHLAWAN ???

    Apakah semua pejuang kemerdekaan harus terkenal baru boleh di sebut pahlawan ????

    Salam…

    Reply
  18. gue setuju sm bang tyson ‘n bang hendaru..
    sejarah itu punya metode..
    tolong hargain sejarah karena bangsa kita sendiri aja kurang bisa menghargai sejarahnya..
    inget JAS MERAH,,
    jangan sekali-kali melupakan sejarah!!

    -dita, ilmu sejarah 09

    Reply

Leave a Comment