“Karena diam dalam pergerakan adalah pengkhianatan!” (Agus Taufiq)
“Pembinaan ibarat air yang senantiasa mengalir, jernih, dan tidak tersumbat apapun. Air yang tersumbat akan kotor dan tercemar.” (M. Ivan RIansa)
Pada suatu masa yang acak, seorang ketua BEM FTUI dibuat gundah sendiri. Sebabnya karena warga mahasiswa Teknik sedikit-demi sedikit menghilang dari lingkungan kampus setelah kegiatan berkuliah pagi dan sore. Mereka yang habiskan waktu untuk meramaikan kampus makin berkurang. Makin jarang terlihat mahasiswa yang duduk-duduk di kantin, mengobrol bersama teman-teman, rapat atau diskusi ringan, mengerjakan tugas di selasar, dan lain sebagainya. Rupanya hal ini membuat was-was orang-orang kelembagaan, yang mengindikasikan penumpulan kesadaran akan sense of belonging terhadap fakultas dan lingkungan kampus. Kesimpulan buru-burunya; sistem pembinaan yang berkesinambungan barangkali mencapai suatu kegagalan.
Hipotesis si ketua BEM menawarkan premis bahwa mahasiswa Teknik saat ini lebih tertarik untuk ikut kegiatan di luar fakultas, yang punya orientasinya masing-masing dan tidak terikat dengan lembaga. Kegiatan bisnis, gerakan sosial, kampanye, gaya hidup, hobi, yang terpisah dari kesatuan sejarah pergerakan kemahasiswaan dalam lembaga yang lebih mengakar dan telah mewadahi itu semua di fakultas. (1)
Kegundahan serupa sebenarnya sudah pernah terjadi secara makro pada kaum sosialis-komunis jauh di masa Golden Age of Capitalism di Amerika Serikat tahun 1960an. Rezim Keynessian-lah provokatornya, yang tanpa diduga-duga, sistem kapitalisme justru membuat kemakmuran pada kedua pihak kelas pemilik maupun buruh. (2) Alih-alih kapitalisme sukses meraup untung, kelas buruh pun ikut kecipratan sejahtera dengan tingginya gaji dalam pekerjaannya. Secara logis, jika kaum buruh senewen memperjuangkan kepentingan partikelirnya, mereka akan dirugikan sendiri karena perkembangan ekonomi kapitalis akan menurun, yang akhirnya juga berdampak pada menurunnya pendapatan kelas buruh.
Yang muncul sebagai kesadaran sosial alternatif adalah politik berbasis identitas, yang mengusung tuntutan spesifik, berwadahkan gerakan sosial yang beraneka macam tuntutan, seperti gerakan lingkungan, feminisme, pemberdayaan masyarakat, gerakan anti perang Vietnam, dan lain-lain. Sama seperti saat ini, mahasiswa lebih senang untuk fokus pada komunitas independen, yang punya fokus gerak masing-masing (bisnis, sosial, teknologi, olahraga, dan lain-lain) karena IKM itu sendiri telah mencapai masa ‘kemakmuran’-nya, mencapai tahap menuju ‘settle’, dan terlampau menaungi kebutuhan mahasiswa di sistemnya.
Kalau dulu permasalahannya adalah bagaimana merekatkan berbagai tujuan mahasiswa dalam satu wadah bernama IKM (politik sistem), kalau sekarang masalahnya bagaimana ‘kemakmuran’ IKM terpecah pada pemekaran komunitas di luar IKM (politik identitas).
Kebalikannya, saya juga bisa gegabah mengatakan kalau pola pikir di Teknik mirip-mirip dengan prinsip sosialisme. Di Teknik, kesolidan itu sendiri adalah harga mati, sama seperti sosialisme kelas buruh yang musti bersama dan setara. Semua musti bersama-sama dalam bergerak, bekerja, dan Kesetaraan ini musti diatur dalam satu sistem pusat, bernama negara. (3) Kendati usaha kesetaraan ini direspon pesimistis oleh George Orwell pada novel Animal Farm, bahwa dalam kesetaraan pasti tetap tidak akan bisa menolak perbedaan kelas, seperti adanya pemerintah negara-rakyat, IKM Aktif-IKM Muda, ketua-staf.
***
Mari kita lihat secara akar, secara esensi, mengapa mahasiswa Teknik punya pola pikir demikian. Saya hanya asal mencomot sedikit sebagian teori filsafat modern Empirisme Descartes, Materialisme Marx, Positivisme, Pragmatisme, komplit diaduk jadi satu = Teknik! Ia berpegang teguh pada praktik, dan sebuah ‘makna’ ada pada hidup yang berlangsung terus menerus dengan konsekuensi praktis. (4) Kalau tidak ada praktik, berarti tidak ada makna.
Sejatinya, mahasiswa Teknik diarahkan pada hal-hal praktis. Itulah sebabnya muncul term “konkret”, “solid”, “keharusan memformalkan sesuatu”, “empiristik”. Dan tanpa musti mengelak, aturan-aturan strict juga masuk dalam komponen. Relativitas beberapa dinetralisasi dan diganti dengan angka-angka kuantitatif. Mendekati obyektivitas adalah sebuah keromantisan bagi mahasiswa Teknik.
Lalu kita masuk bagian cara-cara bekerja. McGregor memaparkan teori X dengan asumsi awal bahwa para pekerja itu secara alamiah bersifat malas atau tidak menyukai pekerjaannya, dan harus dimotivasi dengan gaya kepemimpinan otoriter. Di posisi ini. karyawan dianggap tidak punya ambisi sehingga ingin selalu menghindari tanggung jawab, darn akhirnya perlu diarahkan, dipaksa, bahkan diancam dengan hukuman, dan dikontrol dalam pengawasan yang ketat. (5)
Teori X berfokus pada pengawasan dalam pelaksanaan prosedur standar kerja, pengendalian aktivitas, delegasi tugas dan perintah dengan deadline serta memastikan hasil akhir yang diberikan karyawan harus sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Pola manajemen kerja ini diterapkan oleh para mahasiswa Teknik yang berlatar belakang pendidikan praktis untuk memposisikan diri sebagai calon karyawan nyata pembuat produk di masa depan sejak di kampus. Pergerakan di Teknik adalah pergerakan kaum pekerja. Maka, wajar jika orientasi kepemimpinan teori X dianggap menjadi solusi pas bagi orang-orang lembaga di FTUI, dan diejawantahkan setiap motifnya di pelaksanaan program kerja dan kegiatan.
Satu soal lagi, agak melenceng sedikit. Apakah sebab-sebab keringnya gaya Arsitektur Modern pada bangunan? Sekadar tahu, gaya Modern itu seperti bangunan yang kotak-kotak dan minimalis. Yang seperti ini menolak ornamen, ekspresi tidak penting. Bangunan jadi dinetralisasi menjadi sebuah definisi material, definisi fisik seutuhnya, tanpa melihat esensi puitis. Esensi praktis mungkin dipahami arsitek, tetapi bangun jadi tidak punya cerita apa-apa. Yang ada hanyalah kepolosan. Tanpa ornamentasi, bentuk menjadi ekspresi yang kering, kosong, dan membosankan. (6) Beberapa cara kerja kami, hal-hal perasaan bisa jadi dianggap tidak begitu penting. Sebab kami adalah praktisi, teknisi, yang tidak memfokuskan diri pada itu.
***
Masuk ke bab pembinaan. Pembinaan di Teknik pada tahun 2013 punya tujuan nonformal yang disepakati oleh para Steering Committee Pembinaan Awal; yaitu mencetak mahasiswa baru yang teladan yang menginspirasi di bidangnya. Dalam poin-poin penyusunan Rancangan Induk Pembinaan 2013, juga tertuang 8 nilai dan jabaran skill yang akan ditanamkan, seperti nilai Ketuhanan, Keilmuan Keteknikan, Komunikasi, Responsif, Pengembangan Wawasan, Berpikir, dan lain sebagainya. (7) Seluruh penyusunan rancangan, tujuan, rapat, eskalasi, dan pertemuan intensif selama sekian bulan ditujukan mencapai obyektivitas Pembinaan, agar tidak berlaku semena-mena terhadap mahasiswa baru.
Tantangan terberat adalah justru proses dari tahapan konsep menuju pelaksanaannya, yaitu oleh para eksekutor, yang biasa kita sebut sebagai panitia. Pun dalam kasus eksekusi di lapangan, pembuat konsep juga menjadi eksekutor dan hadir mengawal. Masalahnya, dalam penanaman tidak seratus persen konsep akan berjalan mudah. Misalnya, tanggung jawab moral yang membina terhadap yang dibina setelah proses Pembinaan.
Apa-apa yang dilakukan mereka yang dianggap lebih senior di kesehariannya, sengaja atau tidak, akan dicontohkan mereka yang telah diajar, terlepas dari mereka mengajarkan apapun itu. Anggaplah senior bilang A, tapi malah melanggar A. Ryan dalam Yudi Latif (1996) yang membahas pendidikan karakter berbasis kesastraan menerangkan bahwa mendidik moral manusia itu tidak dengan cara mengajarkan, tetapi mencontohkan. Frase yang tepat untuk ini adalah; nilai moral itu ditangkap (caught), bukan diajarkan, apalagi dipaksakan. (8)
Anehnya, tidak jarang “pengajaran” dan “percontohan” itu bisa menjadi pertentangan satu sama lain dalam satu individu yang sama. Jadi, yang paling dikecewakan pada kasus ini adalah mereka yang diajarkan sesuatu, tetapi tidak melihat itu pada yang mengajarkan. Menyuruh untuk saling menyapa, tetapi sendirinya tidak ramah. Berharap ingin dihargai, tetapi tidak bersikap yang pantas dihargai. Meminta sebuah keakraban, sendirinya tidak mengakrabkan diri. Contradictio, hipokrisi, pendidikan yang semu.
“Hai orang-orang yang beriman, mengapakah kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan? Amat besar murkanya Allah terhadap apa-apa yang mereka katakan apa-apa yang mereka tidak lakukan.” (QS. As Saff: 2-3)
Momen satir sebagai contoh terjadi pada penyelenggaraan suatu publikasi progres ospek kampus kepada para mahasiswa di kantin. (9) Salah satu isinya tentang nilai-nilai baik apa saja yang akan ditanamkan pada mahasiswa baru. Acara yangdimulai sejak pukul 15.30 berakibat tim penyaji yang terdiri dari seluruh orang penting di lembaga organisasi menunda shalat Ashar. Hingga pukul 17.30, acara diselesaikan begitu saja.
Satu hadirin bertanya, “Kenapa begitu buru-buru selesai?”, lalu dijawab salah seorang dari tim, “Karena kami belum shalat Ashar..”. Terang si hadirin marah. “Konyol! Itu bukan alasan! Inikah kalian yang mencoba mengajarkan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa pada adik-adik kalian, sedang kalian sendiri menunda shalat?!”. Begitulah adanya. Itu sudah masuk ke ranah fundamental.
Yang lebih pedas lagi jika kita menyinggung kegiatan-kegiatan di sekitar kampus yang sebetulnya telah dilarang secara resmi oleh pihak fakultas. Mereka yang melakukan tidak jarang justru yang mengerti Pembinaan, yang mengajarkan, yang menggerakkan. Mau diingatkan juga kepalang tanggung. “Kita tidak bisa mengisi gelas yang sudah penuh”, kalau kata rekan saya di lembaga. (10)
Hal ini yang paling sering disinggung oleh mahasiswa-mahasiswa yang skeptis terhadap Pembinaan, yang diingat mereka hanyalah bayang-bayang marah-marah dan jelek-jeleknya saja.
***
Apakah sistem Pembinaan di fakultas Teknik adalah sistem paling sempurna dalam sebuah gerakan kemahasiswaan?
Saya ingat betul pernyataan Agus Taufiq saat menghadiri hearing terakhir LPJ BEM FTUI 2012 di kantin malam-malam. Agus keadaannya baru selesai mengikuti kegiatan Forum Indonesia Muda angkatan 12, yang dihadiri 120 pemuda terbaik seluruh Indonesia selama sekian hari. Ia barangkali terkesima setelah mendapat perspektif lebih luas dari rekan-rekan pemuda antar kampus se-Indonesia. Tegasnya, mahasiswa Teknik musti berpikir secara lebih besar dan lebih luas, tidak hanya terbatasi di fakultas saja. (11)
Di saat kita bergumul sendiri dan sekadar berputar di dalam Teknik, di saat yang sama, mahasiswa-mahasiswa lain di UI, bahkan di kampus-kampus lain, telah membentangkan sayapnya untuk berkarya dan berinovasi bagi bangsa. Simpul akhir ini adalah pentingnya berlaku pikir out of the box dan keluar dari jaring-jaring posesivitas suatu lembaga. Dari situ, kita bisa belajar dari siapa saja, long life education. Keterbukaan akan mudah mengundang inovasi, kemajuan, dan harapan-harapan baru.
***
Pembinaan kemahasiswaan di FTUI adalah a must, sebuah keharusan, dan saya sepakat.
Visi terbentuknya Ikatan Keluarga Mahasiswa di Teknik adalah demi kegiatan kemahasiswaan yang dinamis dan berkesinambungan. Penghentian pembinaan –bahkan penutupan IKM itu sendiri– hanya bisa diterima jika suatu saat secara retoris, mahasiswa baru yang masuk sudah punya nilai-nilai kebaikan dalam Pembinaan secara sempurna. Walaupun paradoks Zeno menyatakan: kesempurnaan dalam ‘gerak’ dan ‘pindah’ itu tidak ada.
Bagi saya, Pembinaan terbaik adalah dengan suatu cara yang bisa mendorong mahasiswa mencapai tahap dari mastery ke autonomy dan flow (12). Istilah dari Daniel Pink ini, merupakan keadaan di mana manusia bisa bekerja bebas menggunakan segala potensi dan keahliannya secara maksimal sehingga waktu mengalir tanpa terasa, tanpa musti dipaksa atau disuruh oleh siapapun juga. Kondisi ini sering bisa terjadi pada manusia dan tidak sekadar di tataran konsep.
Saya tidak tahu cara untuk mencapai hal tersebut. Di sisi lain, jangan sampai kita menjadi orang yang tidak tahu. Atau sekalipun tahu, “tahu”-nya itu tidak membuat kita berkembang, malah tetap ikut saja. Jangan-jangan selama ini kita hanya sekadar “tahu” dan “ikut” saja; taqlid buta (seperti penyembah berhala yang ber-excuse “kami hanya mengikuti apa-apa yang bapak (senior, pen.) kami lakukan”).
Yang saya yakini, cara Pembinaan di Teknik saat ini bukan menjadi yang terbaik. Bisa jadi Pembinaan itu “terbaik sesuai konteksnya”; yang senang pada sistem akan ikut, yang tidak senang akan menjauh. Soal ini tidak akan selesai, dan akan terus menabrak tembok pembatas bernama sistem itu sendiri. Hikmah obyektivitas Teknik adalah perjuangan mahasiswa Teknik untuk mencapai kesempurnaan konsep Pembinaan jauh lebih unggul dibandingkan di fakultas lain di UI. (13)
Tetapi orang-orang dalam bidang keilmuan pragmatis punya pembatasan sendiri, bahwa dalam berargumen, musti -mau tidak mau- ada pencapaian hingga taraf “jadi mau lu apa?!“, atau tendensi pada solusi singkat. Padahal, sebuah proses berpikir tidak sekadar bersifat merongrong atau mengeksploitasi hasil, tetapi bagaimana proses “menuju” itu sendiri.
Sebentar lagi musim pemilu di mahasiswa (bahkan juga di tokoh-tokoh politik negeri), dan kampanye terselubung mulai digencarkan. Mungkin mereka adalah jawaban-jawaban dari kegundahan seorang ketua BEM di awal paragraf?
***
Referensi Unyu-Unyu
(1). Jejaring sosial Twitter, dalam kultweet akun Ivan Riansa dengan tema permasalahan-permasalahan kemahasiswaan yang ada di fakultas Teknik, pada Maret lalu.
(2). Ernest Mandel, “Tesis-tesis Pokok Marxisme”. Penerbit Resist Book, Agustus 2006.
(3). IndoProgress, kumpulan jurnal-jurnal pergerakan progresif, dalam satu tulisannya memuat perdebatan sosialisme antara Goenawan Mohamad dan Martin Suryajaya. Coen Husain Pontoh, yang menanggapi GM, dalam tulisannya “Suluh yang Tunduk di Hadapan Kapital”, menjelaskan sejarah pergeseran gerakan sosial ini. Penerbit Resist Book, tahun 2012.
(4). Louis Kattsoff, dalam bukunya Pengantar Filsafat, bagian definisi Positivisme. Diterjemahkan oleh Soejono Soemargono, Penerbit TWJ, 1996.
(5). Teori manajemen kerja secara umum dari Douglas McGrefor, yang terdiri dari teori X dan teori Y. X cenderung otoritatif, sedangkan Y cenderung fleksibel. Teori ini ditengahkan oleh William Ouchi, yang kemudian disebut sebagai teori Z.
(6). Avianti Armand, dalam bukunya “Arsitektur Yang Lain”, di tulisan “Wajah”. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, 2011.
(7). Selengkapnya sila baca Rancangan Induk Pembinaan/Garis Besar Program Kerja (RIP/GBPK) rancangan MPM FTUI 2013. (sebetulnya tiap tahun diamandemen, tetapi tidak masif)
(8). Yudi Latief mengutip pernyataan Ryan (1996) dalam bukunya, “Menyemai Karakter Bangsa”. Penerbit Kompas, November 2009.
(9). Kejadian ini benar-benar terjadi pada 15 Mei lalu di kantin Teknik. Saya hadir di lokasi, dan mengingat kuat respon emosi dari seorang hadirin ini. Hadirin tersebut tidak lain adalah saudara Agus Taufiq, mantan ketua BEM FTUI 2012.
(10). Pernyataan dari rekan di kelembagaan (nama dirahasiakan) yang mengingatkan saya tentang profesionalitas dalam bekerja. Dengan menganggap saya adalah orang yang “terisi”, maka kegiatan mengingatkan menjadi suatu kesungkanan tersendiri. Ini juga terjadi pada kasus yang saya jabarkan.
(11). Kapankah itu tanggal hearing terakhir LPJ BEM FTUI 2012? Saya lupa.
(12). Daniel Pink dalam bukunya, “Drive”. Bagian teori tentang Mastery, Autonomy, dan Flow. Dilansir ulang di internet, dan diakses Agustus lalu.
(13). Pernyataan subyektif ini adalah opini penulis pribadi, dan juga menjadi opini Faldo Maldini, ketua BEM UI 2012, saat penulis berdiskusi ringan dalam perjalanan bermotor. Kalimatnya (kalau tidak salah), “Pembinaan di Teknik itu dipikirin sampe ke akar-akarnya, Agus itu (Teknik) paling ngerti soal pembinaan…” (sekitar Maret-April silam)