Everybody’s Cheating

Menyontek (Ilustrasi ditambahkan admin)
Menyontek (Ilustrasi ditambahkan admin) (cc/flickr/freeloosedirt)

Katanya, 9 dari 10 cewek suka cowok yang jujur. Menurut rilis salah satu lembaga survei peraup keuntungan dari pemilu dan pilkada pasca reformasi: masyarakat lebih memilih calon pemimpin yang jujur ketimbang adil, pintar, atau amanah. Seolah ada pesan yang dititipkan: berikan kami kejujuran bukan sampah kemunafikan.

Di selembar kertas ini, kita tidak membahas situasional perselingkuhan, tindakan korup, pembobolan dana nasabah, atau ketulusan penebar teror. Kita membahas sedikit saja dari kisah pilu para penerus bangsa. Menelisik sejumput kisah anak muda yang disebut mahasiswa. Menerawang tentang hilangnya rasa jujur dalam ruang-ruang publik kekinian. Rasa yang belakangan ini terasa lebih pahit dari Alkaloid.

Jujur saja, memang kejujuran telah raib dari negeri ini (tidak terkecuali kampus). Wajar jika Punduk merindukan kejujuran karena dari situ dia melihat Bulan apa adanya. Kalau kata si Ricky, anak musholla, seorang yang percaya  kepada Tuhan tidak mungkin berbohong. Jin saja ketika mendengar pertanyaan retoris-holistik dari Tuhan tertunduk malu, “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” Mereka tak sanggup berkata dusta akan berbagai kreasi Tuhan yang dianugerahkan kepadanya. Di lain hal, masih kata Ricky, mereka yang percaya Tuhan akan selalu merasa diawasi. Ada CCTV malaikat 24 jam mengintai. Namun, ada tak ada malaikat normatifnya adalah tetap tunduk dengan absolut dan totalitas. Kita bisa mendefinisikannya sebagai profesionalisme penyembahan Tuhan. Penyembahan Tuhan? Semoga bukan dominasi teman-temannya si Ricky saja.

Fenomena yang sangat popular adalah everybody’s cheating. OMG! Betulkah? Merah, Putih, Hijau, Kuning, Hitam? Ketika kejujuran dipertaruhkan dalam ruang-ruang kuliah. Ketika nilai A menjadi ambisi atau biang ketakutan tak berpribadi mahasiswa. Ketika segala cara jadi anak dadu kelulusan. Ketika itu pula palu kematian (hati) diketuk. Beruntungnya adalah kita tidak pernah disajikan laporan mengenai berapa (atau betapa) banyak mahasiswa yang mencoba “mencurangi” takdir dengan ketidakjujuran (baca: mencontek). Sebagai ilustrasi ekstrim, orang-orang yang berniat mencurangi kematian di dalam Final Destination 1 hingga 5 secara keteraturan yang acak berakhir tragis dengan kematian. Di tiap peluru telah tertulis nama targetnya masing-masing, Tuan! Mencontek bukanlah ide bagus bagi mereka yang masih loyal dengan rasa malu.

Orang-orang menyebut kecurangan tersebut sebagai fraud. Fraud akademis menjadi hal yang lumrah di kalangan mahasiswa—ini patut untuk diuji keabsahannya karena ternyata tidak semua memberikan suara untuk fraud ini. Fraud menjadi fenomena menarik karena dilakukan di ranah akademis di mana intelektualitas menjadi garda atau tameng satu-satunya yang membedakan antara “terdidik dan tak terdidik”. Lebih kompleks lagi bahwa, kampus di negeri ini menjadi semacam “polisi moral” bagi penguasa. Kampus menerjemahkan suara gamang rakyat menjadi bahasa revolusi demokrasi berkeadilan yang sederhana.

Kampus menjadi semacam inkubator mini mahasiswa. Lihatlah di masa 3,5-4 tahun mereka kuliah, bagaimana mereka mendapatkan toga-toga itu? Do good things atau do fraud things? Bilamana ada umur, lihat beberapa belas tahun ke depan apa yang terjadi dengan bangsa bermodal dengkul macam itu? Perut-perut buncit dengan otak tak berisi menghiasi layar televisi. Kita tidak sedang bicara masa kini. Ini semua tentang imajinasi fraudulent yang mungkin sulit ditemui di dunia fantasi Dr. Pharnasus atau Insepsi Limbo.

GIGO. Garbage In Garbage Out.

Sebab karena itu, Tuan, opsi menjadi “ideal” dan atau “patron” itu hanya dipilih oleh serdadu berani mati. Pilih jalanmu sendiri atau anak-anak Lucy (dedengkotnya setan) menghampiri. Omong kosong kesempurnaan didapat dari ketidaksempurnaan. Sampah hanya keluar dari masuknya sampah. Tuan pertahankan idealisme—untuk membenci fraud akademis—berpuluh tahun kemudian kekuatan afeksi Tuan tidak akan tumpul. Karena asahan yang sungguh-sungguh tidak menjadikan belati karatan. Kesabaran itu ada di hentakan pertama, Tuan! Juga karena loyalitas dan keteguhan itu ada pada: lebih baik diasingkan daripada hidup dalam kemunafikan. Lebih baik mendapatkan nilai kurang daripada mental yang terkangkang. Lalu bagaimana dengan mereka yang telah terlanjur? Tak ada rumah duka untuk mereka. Karena ternyata banyak sampah yang masih bisa di-3R, bukan? Percaya atau tidak. Karena kejujuran adalah manifesto kearifan akan tunduknya manusia terhadap titah Tuhan, itu harus terjadi. Kehidupan yang berotasi seperti teraturnya tata surya. Kejujuran adalah trek planet dan rembulan.

Akan tetapi, ah, metafor sekali kau, Cok! Tengoklah di belakangmu, itu ada satu (satu), dua (belas), tiga (puluh) mahasiswa mengatur strategi: posisi menentukan prestasi. 4-4-3 adalah posisi terbaik di mana mereka yang ber-IPK 3 koma berada di lingkaran pertama. Oh, tidak! Lalu di mana nurani embun pagi?

Jadi pertanyaannya, apakah mental seperti itu yang akan mengisi pos-pos aktor pembangunan? Semoga saja judul di atas salah. Sangat salah. (c)

 

2 thoughts on “Everybody’s Cheating”

Leave a Comment