Fenomena Ganja dan Kemiskinan (lanjutan…)

Ketika melihat betapa menggiurkannya investasi Ganja Aceh, muncul suatu pertanyaan, apakah mungkin penggarap lahan (petani ganja) mendapatkan keuntungan sebanyak itu? Sebagai seorang petani ganja, Ibra (nama samaran) mengaku bahwa tidak mendapatkan keuntungan dari menanam ganja. “Yang meraup keuntungan besar adalah toke (Agen), kalau kami hanya diberikan modal menanamnya saja”, ujarnya.

Model pinjaman yang diberikan toke layaknya tengkulak. Petani diberikan modal awal Rp. 50jt, sedangkan setelah panen urusan toke berapa harga jualnya. Resiko yang dihadapi petani tidak sebanding dengan upah yang didapatkan. Terperosok ke lembah dan malaria menjadi santapan ketika berladang. Tak heran jika penduduk desa terserang malaria karena tertular oleh petani yang berladang. Namun, resiko terberat dari menanam ganja adalah resiko ketika ditangkap oleh aparat.

Resiko ini memiliki dampak yang besar bagi perekonomian keluarga. Bukan hanya karena kehilangan mata pencaharian akan tetapi petani dituntut untuk membayar ganti rugi atas modal yang diberikan oleh toke alias hutang. Petani harus menebusnya setelah keluar dari jeruji besi. Di beberapa tempat justru ada pula sanak keluarga yang akan membantu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Jadi petani tidak serta merta lepas dari lilitan hutang manakala dia tertangkap.

Hal ini lah yang lagi-lagi membuat mereka kembali lagi menanam ganja. Selain memperoleh imbalan yang cepat mereka juga dapat menyelesaikan hutangnya kepada toke. Lalu, dapat pula mewariskan kemampuan menam ganja kepada anak dan saudaranya. Hegemoni pemberantasan ganja tidak sebanding dengan jerat kemiskinan yang diderita oleh petani ganja. Mungkin aparat penegak hukum merasa bangga akan hasil jerih payah yang dilakukan dalam peberantasan, khususnya besarnya barang bukti baik yang disita atau dimusnahkan. Tetapi hal ini justru menciptakan babak baru bagi kehidupan keluarga petani ganja.

Kalau sudah seperti ini lalu tindakan apa yang dilakukan? Pemerintah seringkali mengkampanyekan pengentasan kemiskinan secara masif tetapi implementasi di lapangan hanya menerapkan sistem top-down. Program dilaksanakan tetapi outcome tidak tercapai. Permasalahannya selalu berputar di situ saja. Terbukti ketika program pengentasan kemiskinan, BLT ataupun PNPM, masyarakat Aceh masih saja menggeluti profesi petani ganja. Hal ini terjadi lantaran, tidak ada keuntungan yang cepat dihasilkan dari tanaman atau usaha lain dibandingkan dengan ganja. Selain itu, pemerintah hanya menjalankan program saja (base program) tidak menghitung dampak sosial dan ekonomi setelah menjalankan program. Laporan tiap tahun yang dibuat (Lakip) hanya berdasarkan berapa uang yang dianggarkan dan berapa uang yang harus dihabiskan.

Sejauh ini belum ada program pemerintah yang mampu menggantikan pendapatan petani ganja sebesar Rp. 50jt/6 bln. Oleh sebab itu, jangan salahkan ketika petani ganja setelah ditangkap kembali menanam karena kemiskinan lah yang menjadi pemicu tindakan mereka. “kalau pemerintah mau memberikan saya pekerjaan yang bisa menghidupi keluarga saya, saya akan beralih profesi” ujar Alif.

Leave a Comment