Pernahkah teman-teman menghitung berapa besar “harga” yang harus dikeluarkan untuk mendapat gelar sarjana di UI ?. Jika memakai patokan BOP untuk jurusan ilmu-ilmu sosial dengan lama studi normal, yaitu 8 semester maka totalnya adalah 40 juta!. Biaya tersebut belum ditambah uang pangkal dan biaya-biaya lain yang dikeluarkan selama proses perkuliahan kita.
40 juta bukan angka yang sedikit kawan. Dengan uang sebesar itu kita bisa membeli banyak kebutuhan hidup. 40 juta bisa jadi adalah total pendapatan orang tua kita selama setahun.
Melihat kenyataan diatas agaknya benar bila banyak orang berpendapat bahwa pendidikan itu mahal. Dulu sempat ada sebuah iklan produk rokok yang membuat jargon, “Mau Pintar kok Mahal?”. Mungkin memang seperti itulah kenyataan yang ada di negeri kita ini.
Lalu, apakah 40 juta itu adalah uang yang pantas dikeluarkan untuk memberi emblem-emblem S.Sos, S.E atau S… yang lain di belakang nama kita?.
Semuanya tentu tergantung pendapat pribadi masing-masing. Pertanyaan ini akan bersifat subjektif bila dibahas. Namun, saya pribadi berpendapat bahwa seharusnya biaya pendidikan yang dikeluarkan untuk mencapai gelar sarjana tidak harus sebegitu mahalnya. 40 juta menurut saya adalah angka yang terlalu fantastis untuk sebuah pendidikan.
Dulu ketika saya masih duduk di bangku SD, SMP, dan SMA, uang SPP tidak pernah mencapai 500 ribu, paling mahal 200 ribu. Kemudian setelah memasuki UI, saya tercengang dengan kebijakan biaya pendidikan di kampus ini. Mengapa menjadi sangat mahal sekali?. Kebetulan tahun pertama saya masuk UI (2008) adalah tahun dimana rektor baru, Prof. Gumilar, diangkat menggantikan rektor yang lama.
Pergantian kepemimpinan ini ternyata berimbas pada hal lain, yaitu naiknya biaya pendidikan. Sungguh tak saya sangka rektor baru kita ini ternyata memiliki pemikiran yang sangat berbeda. Belum pernah saya dengar biaya kuliah di UI mencapai 5 juta. Walau banyak sekali manfaat yang kita peroleh dari naiknya biaya pendidikan ini, misalnya pembangunan dan perbaikan fasilitas kampus. Agaknya biaya pendidikan itu segera dikompensasikan ke dalam pembangunan yang masif di kampus kita.
Sebagai salah seorang mahasiswa yang membayar uang kuliah tanpa keringanan saya merasa bahwa kebijakan ini agak memberatkan. Sebenarnya alasan saya tidak mengajukan BOP adalah karena prosedurnya yang berbelit-belit. Hal ini pula yang menjadi dasar pemikiran ayah saya sehingga tidak jadi mengajukan BOP. Syarat-syarat yang harus disertakan begitu rumit, misalnya surat keterangan tidak mampu, pernyataan tidak mampu dari tetangga, dan lain-lain.
Sekarang mari kita pikirkan, apakah sebagai calon mahasiswa pantas bagi kita untuk meminta keterangan tidak mampu dari tetangga kita atau meminta surat keterangan tidak mampu dari ketua RT?. Atau apakah semua mahasiswa yang tidak bisa membayar biaya kuliah 5 juta/ semester adalah mahasiswa yang kategorinya sangat, sangat miskin sehingga harus meminta surat keterangan tidak mampu kepada 3 tetangga. Padahal banyak mahasiswa di luar sana yang kondisi rumahnya terlihat baik tetapi tidak sanggup membayar uang kuliah 5 juta karena harga itu memang terlampau mahal. Apakah mereka harus tetap meminta surat keterangan dari tetangga?, bukankah hal itu hanya menimbulkan rasa malu saja. Pada akhirnya banyak sekali pihak yang dirugikan karena rumitnya syarat-syarat pengajuan BOP ini.
Bila pihak universitas ingin menerapkan kebijakan yang adil seadil-adilnya maka mereka seharusnya memperhatikan hal-hal kecil yang diakibatkan oleh penerapan kebijakan mereka.
Menurut pendapat saya selain prosedurnya yang tidak dipersulit kebijakan BOP seharusnya dibedakan untuk setiap program studi di UI. Mengapa?, sebab antar program studi yang satu dengan program studi yang lain memiliki perbedaan kualitas dalam proses belajar mengajarnya, dan antar program studi di satu fakultas dengan di fakultas lain tentu memiliki sarana dan prasarana yang berbeda.
Misalnya, mahasiswa yang mengambil program studi X dimana program studi itu memiliki dosen-dosen yang profesional, terkenal, atau sering muncul di media. Untuk program studi ini besarnya biaya pendidikan seharusnya agak ditinggikan karena mereka mendapat pelayanan yang lebih dibanding program studi Y misalnya yang pengajarnya adalah orang biasa saja.
Selain itu, bila program studi X berada dalam gedung suatu fakultas yang sarana dan prasarananya lebih dibanding yang lain maka besaran BOP nya juga harus ditingkatkan dibanding program studi yang lain.
Hal ini dilakukan bukan untuk mendiskriminasikan program studi tapi untuk mewujudkan kebijakan BOP yang lebih adil. Jadi subsidi silang yang merupakan strategi dalam kebijakan ini tidak salah sasaran. Misalnya, pembangunan gedung yang dilakukan di fakultas X dari dana yang didapat dari mahasiswa yang kuliah di fakultas lain. Hal ini menurut saya tidak adil karena mahasiswa yang membayar lebih mahal seharusnya mendapat fasilitas yang lebih dibanding yang lain. Hal ini demi mewujudkan kebijakan BOP yang seadil-adilnya.
Semoga opini ini bisa didengar dan dipertimbangkan oleh pihak rektorat yang berwenang disana. Semoga opini ini tidak hanya sekedar memenuhi lembar-lembar opini lain tentang BOP. Akhir kata semoga universitas kita tercinta ini bisa memiliki manajemen yang lebih baik lagi sehingga bisa benar-benar pantas menyandang gelar world class university.
Besar BOP dibedakan untuk tiap fakultas dgn fasilitas berbeda?
Jujur, gw ga nyangka ada yg berpikir ke sana, cz gw sbg anak mipa (baca: fakultas paling tua dan bobrok di UI depok), bahkan ga pernah berpikir untuk minta hal kayak gitu.
menurut gw, kalo emang qta merasa berat dengan BOP yg qta dapet, kenapa mesti malu untuk minta surat keterangan?
Saya rasa masih banyak beasiswa yang ditawarkan di Universitas ini. Selamat berjuang untuk mendapatkannya.
Oia, saya juga ingin bertanya, kenapa Anda harus malu? Terima kasih.
*idem dengan pertanyaan Sari*
gw harus keluar 60 jt untuk lulus dari kampus ini..itupun dihitung masa studi normal (8 smt)
Mba Sari dan Bang Zain:
menganggapi komentar kalian, saya merasa tidak sepakat bila ada mahasiswa yang sudah bayar mahal tetapi fasilitas yang ia dapat tidak sepadan. Seharusnya ada keselarasan antara uang yang ia bayar dengan fasilitas yang ia dapat.
Selama ini saya juga merasa prihatin dengan kondisi MIPA walau kampus saya di FISIP tapi menurut saya seharusnya sebagai fakultas yang memiliki program ilmu-ilmu alam seharusnya memiliki fasilitas lebih daripada fakultas lain.
Jujur mba dan mas zain saya merasa malu sekali ketika harus minta surat keterangan tidak mampu karena seakan-akan saya orang yang miskin banget, padahal bapak masih kerja, karena di daerah saya berbeda. Begitulah mba dan mas.
BTW, terimakasih atas komentarnya 🙂
@ program non-reguler: 60 juta, wah itu mahal sekali ya!!
Gini, waktu itu gw pun bilang gt ke nyokap saat harus minta surat keterangan. Tp nyokap gw ngasih perspektif beda. Beliau bilang, surat keterangan tidak mampu itu ga berarti harus selalu sangat miskin. Lihat arti tidak mampu. Kalau diartikan tidak mampu bayar 5jt persemester juga bisa kan?
Dan lo boleh percaya atau engga, dgn bermodal perspektif itu, gw bisa dpt surat keterangan dan dpt BOPB, walaupun besarnya standar at least dibawah 7,5jt lah..
mba sari:
oh…gitu ya, mba.
soalnya kalau di daerah saya berbeda.
kalau minta surat keterangan tidak mampu pasti langsung dikategorikan orang miskin.
mungkin saya dan keluarga belum pernah mengurus surat keterangan tidak mampu, jadi kurang pengalaman untuk mengurus hal-hal seperti ini.
terimakasih ya mba sari atas komennya
salam kenal 🙂
gw anak mipa, gw jga meyadari hal itu. Kalo kita juga ga mau ngersa ngebebanin ortu, salah satu solusi yang(mungkin) kita bisa pakai adalah jadi part timer.
avi, kayaknya kalo minta keringanan BOPB ga harus pake surat keterangan ga mampu deh. Cuma surat keterangan yang menjelaskan penghasilan orang tua sekian…lagian minta “keringanan” buat BOPB itu sebenernya hak kita, jadi ga usah malu buat urus2 yg begituan…kata tante gw dari zaman baheula UI emang udah dikenal kampus yang paling mahal biaya pendidikanya..hehehehe
uff, alhamdulillah poe udah bisa biaya kul sendiri, he