Imagine a World Without Free Knowledge *

Judul yang saya pakai dalam tulisan ini diambil dari suara protes Wikipedia atas dua rancangan leglislasi yang sedang digarap di AS. Kita akan menemukan pesan protes seperti dibawah ini jika mengunjungi laman wikipedia berbahasa inggris.

Imagine a World Without Free Knowledge

For over a decade, we have spent millions of hours building the largest encyclopedia in human history. Right now, the U.S. Congress is considering legislation that could fatally damage the free and open Internet. For 24 hours, to raise awareness, we are blacking out Wikipedia.

Alih bahasanya,

Bayangkan Sebuah Dunia Tanpa Pengetahuan Bebas

Selama lebih dari satu dekade, kami telah menghabiskan jutaan jam untuk membangun ensiklopedia terbesar dalam sejarah manusia. Kini, Kongres AS mempertimbangkan sebuah perundangan yang bisa berakibat fatal pada kebebasan dan keterbukaan dalam internet. Selama 24 jam, demi meningkatkan kesadaran akan isu ini, kami menggelapkan Wikipedia.

Wikipedia bukanlah satu-satunya yang melakukan protes ini. Pada 15 November 2011 terdapat Google, Facebook, Twitter, Zynga, eBay, Mozilla, Yahoo, AOL, dan LinkedIn yang telah menulis surat terbuka kepada anggota Senat dan Dewan AS untuk menentang SOPA (Stop Online Piracy Act), salah satu rancangan dari dua leglislasi yang kini hiruk-pikuk dipermasalahkan.

Ada dua rancangan leglislasi yang mendapat respon “keras” dari institusi-institusi berbasis media internet maupun juga dari masyarakat, yaitu Stop Online Piracy Act (SOPA) dan Protect IP Act (PIPA). Dua aturan tersebut merupakan rancangan undang-undang di AS, namun tidak tidak menuntup kemungkinan wilayah di luar hukum AS akan turut merasakan dampaknya, termasuk di Indonesia.

Salah satu mekanisme hukum yang digunakan dalam dua rancangan leglislasi tersebut adalah memblokir laman-laman yang nantinya dianggap melanggar dua aturan ini. Metode ini sebenarnya sudah dilakukan, namun beberapa pihak di AS menganggap masih gagal dalam target-target laman ataupun institusi tertentu. Salah satu contoh yang cukup menghebohkan adalah diblokirnya laman wikileaks, yang kontroversial itu ketika dianggap sebagai sebuah ancaman serius.

Kalangan pengguna internet tentunya akrab dengan aneka laman-laman tertentu ketika mereka membutuhkan aneka produk seperti film, musik, video, ataupun juga beragam software. Cukup mudah untuk menemukan penyedia aneka produk tersebut secara gratis, dalam hubungan dengan berbagai aturan memang dapat memungkinkan ditemukan pelanggaran-pelanggaran tertentu. Namun fakta-fakta tersebut janganlah didramatisasi secara berlebihan, hingga melakukan pemberangusan terhadap kebebasan dalam media informasi berbasis jaringan internet.

Beragam korporasi dan media yang menerbitkan aneka produk secara legal dan mengusahakannya sesuai aturan yang ada, jarang sekali bangkrut hanya karena adanya pembajakan. Malah, sebagai efek atas perlindungan hak cipta ini mereka sering berusaha untuk mengembangkan suatu tipe ekonomi yang monopolistik. Kita dapat melihat kasus Microsoft, yang dahulu kala sering membundle produk mereka secara lengkap, tanpa mempertimbangkan pilihan-pilihan dari konsumen.

Dua rancangan leglislasi tersebut memberi perhatian serius pada isu mengenai hak cipta. Sasarannya adalah bukan saja suatu konten dan layanan dari dunia digital tetapi termasuk juga aneka produk secara material/fisik. Salah satu contoh sebagai ilustrasinya adalah beragam barang yang masyarakat mengenalnya sebagai produk “kw”. Nantinya jika diketemukan ssebuah laman dalam jasa jual-menjual, bahkan termasuk laman Amazon, memperjualbelikan produk-produk “kw” tersebut, maka dapatlah dituntut dengan aturan-aturan baru ini.

Efek lain yang dapat dirasakan adalah layanan dari google books. Sebuah layanan dengan mimpi unik membangun sebuah perpustakaan terbesar dalam kehidupan manusia. Proyek awal mereka adalah berusaha untuk mendigitalkan seluruh koleksi buku libary conggres untuk nantinya dapat diakses semua orang, dari manapun.

Layanan google books membantu kita untuk melihat isi buku secara terbatas sehingga memberi kemudahan bagi yang belum atau tidak mampu membeli. Jikalau nanti ada aturan ini, maka google akan mudah disomasi secara hukum. Seperti yang diketahui selama ini, google sendiri sudah berkali-kali dicoba diadukan ke pengadilan atas aduan terhadap layanan google books yang merisaukan kalangan tertentu atas efek perluasaan pengetahuan secara bebas.

Selain google books, laman komunitas penyedia buku digital semacam library.nu pun dapat saja menjadi sasaran aturan-aturan baru ini. Sekalipun diketahui juga, laman yang dulunya bernama gigapedia.org ini sudah mengganti domainnya sebagai salah satu stretegi untuk menyelamatkan kerja mereka, membantu menyebarluaskan pengetahuan, agar mampu diakses semua orang. Laman library.nu pun turut melakukan protes yang serupa.

Sebagai catatan, koleksi kepustakaan pribadi yang saya miliki 90%nya adalah digital. Berukuran lebih kurang 10GB hasil dari telusur laman-laman seperti gigapedia.org dan library.nu. Ini adalah satu-satunya cara ketika ruang pustaka publik, kampus, dosen, penerbit yang ada di negeri ini sangat terbatas, tidak lengkap, tidak up-to-date dan jauh dari harapan.

Pengalaman ini pastinya juga dialami oleh orang-orang lain di berbagai negara-negara berkembang yang kondisi negaranya tidak mampu untuk menyediakan ragam pustaka secara massal, ekonomis serta bermutu. Ada sebuah candaan yang biasa saya utarakan kepada kawan, “harusnya salah satu ucapan terima kasih dari ribuan skripsi, tesis dan disertasi di kampus ini patut untuk menyertakan wikipedia, google, library.nu”.
Sebuah ungkapan yang semestinya menampar negara, kampus, dan watak popular dari para penerbit pustaka di negeri ini.

Di AS beberapa pihak menyeru untuk menggalang suara, respon dan dukungan yang lebih besar dari masyarakat luas.
Terdapat https://www.google.com/landing/takeaction/ dan http://americancensorship.org/ serta http://blacklists.eff.org/ yang menjadi beberapa contoh.

Nah, inilah berita yang patut juga untuk kita respon. Indonesia menjadi salah satu kawasan yang memiliki tingkat keaktifan akan jaringan media internet, entah digunakan sebagai medium pelepas waktu ataupun sebagai satu-satunya cara untuk mengakses pengetahuan.

Kita semstinya, belajar dari kasus ini dapat mengambil pembelajaran ketika memahami bagaimana pola jaringan ekonomi dari sistem teknologi digital saat ini, apa dan bagaimana motif-motifnya? Apa juga isu hak cipta itu? Bagaimana juga dengan sentimen dan penyadaran publik mengenai aspek kebebasan mendapatkan hak pengetahuan? Kita dapat belajar banyak dari para pegiat layanan internet free semisal linux, mozilla, dimana salah satu mimpi dari mereka adalah memberikan ruang yang terus terbuka dan semakin diusahakan untuk selalu terbuka bagi setiap orang untuk belajar dan mendapatkan efek dari kemajuan teknologi.

Patut untuk diketahui, rumor yang beredar dari diajukannya dua rancangan leglislasi ini adalah kegagalan dan kebingungan dari kelompok lobi dari Hollywood atas pembajakan yang semakin besar. Seperti yang juga patut diketahui, efek dari depresinya ekonomi makro AS adalah melemahnya mereka untuk mampu mengolah beragam sumber-sumber ekonomi. Kawasan Eropa yang masih dilanda ketidakstabilan mata uang dan fakta beberapa negara kolaps, memberikan salah satu efek menurunya daya beli serta gaya konsumtif. Pangsa pasar yang besar bagi produk negara maju saat ini tentunya adalah kawasan Asia. Tetapi seperti yang juga diketahui, kawasan Asia adalah kawasan yang masih lemah secara hukum untuk isu-isu berkenaan dengan hak cipta ini.

Selain itu, rival terkuat AS untuk ekonomi saat ini adalah Cina, yang seperti juga diketahui oleh semua orang, Cina mempunyai kemampuan untuk memproduksi produk-produk “kw”. Salah satu industri di AS yang hancur karena murahnya harga produk dari Cina adalah industri mainan. Cina juga terbaca ingin melakukan penguasaan pangsa pasar Asia, dimana selama ini kelompok dari AS-Eropa yang menjadi penguasa berbagai produk-produk teknologi. Tidak ayal lagi, AS yang saat ini sedang membutuhkan banyak cadangan keuangan sebagai salah satu strategi menutup kerugian beban anggaran perang, depresi ekonomi serta kemungkinan menurunnya produksi minyak dari kawasan Arab sebagai respon atas desakan Iran. AS cukup kuatir jika harus kehilangan banyak kesempatan juga uang ketika membuat dunia lain tergantung dengan teknologinya.

Kita pun dapat merenungi satu pesan dari wikipedia ini, Imagine a World Without Free Knowledge?
Apakah pengetahuan di dunia ini harus selalu dan hadir dalam bentuk komoditas ekonomi? Bagaimanakah jika itu adalah orang-orang yang secara sosial memiliki jariangan ekonomi yang terbatas? Akankah pengetahuan kita hari ini, termasuk segala produk turunannya –teknologi, harus memilah-milah kondisi setiap orang.

Jangan sampai prinsip normatif ini yang berlaku,

Jika anda memiliki uang, maka anda akan mendapatkan layanan ini. Jika anda tidak memilikinya, maka anda tidak berhak! Ada aturan-aturan hak cipta disini. Anda harus dibatasi dengan sangat!

yang juga dijadikan dasar dari beragam korporasi teknologi untuk menghambat banyak orang mengakses.Pengetahuan dan teknologi adalah untuk keseluruhan hidup manusia yang lebih baik, bukan sebaliknya.

Ciptakanlah (dan biarkanlah) pengetahuan dan teknologi mampu untuk diakses semua manusia, tanpa memberinya batas-batas perbedaan dari tiap-tiap manusia.

Salam pembebasan,

gerakan.kemanusiaan@gmail.com

6 thoughts on “Imagine a World Without Free Knowledge *”

  1. Anak UI gak ada yang komen nih? Mungkin perpustakaan pribadinya udah lengkap, jadi gada yang bereaksi kalau-kalau sampe gak bisa akses website2 itu kali ya. Atau jangan-jangan gada yang tau juga kali Fren. Atau mungkin gini deh, mungkin juga temen-temen di UI ngrasa yang dilakukan library.nu dan website sejenisnya emang salah? Gimana gimana? Ayo dong…

    Reply
  2. dr kmrn emang rame ini bang.,smpe jd trending topicnya twitter jg..
    stuju bwt #sopastrike dan gerakan ‘blackout’-nya situs2 dunia..

    walau kita bukan orang USA,tp kt jg kena getahnya,jd suarakan hak kita.!

    Reply

Leave a Comment