Saat lagi sedih dapet nilai C di suatu matkul, senang karena quiz diundur, galau soal topik skripsi, khawatir, marah, dan lainnya, kita sering meluapkannya secara spontan ke orang lain. Baik itu teman, pacar, adik, kakak, orangtua.. tanpa memerhatikan apakah si pendengar mau dan siap mendengarkan luapan emosi kita. Dalam prosesnya, kita sering menuntut untuk didengarkan. Apalagi kalau ‘curhatan’ kita tentang sesuatu yang sifatnya sedih dan menekan. Hmm.. padahal, mereka berhak loh untuk menolak. Kan bisa saja saat itu mereka sedang lelah dan gak mood untuk mendengarkan masalah lainnya yang sebetulnya bukan masalah mereka.
Kalau kamu pernah melakukan hal ini, (iya, curhat asal sembarang curhat), berarti kamu telah melakukan emotional dumping. Sebenarnya, menyampaikan apa yang kita rasakan merupakan hal yang baik, sehat, dan produktif jika dilakukan dengan benar. Sayangnya, terkadang kita tidak bisa membedakan, mana curhat yang sehat dan yang berbahaya bagi dirimu dan orang yang mendengarkan.
Sebenernya, emotional dumping itu kayak gimana sih bentuknya? Nih penulis kasih tahu:
1. Banyak banget topiknya, lebih dari satu
Pernah gak sih kalian curhat, tapi topiknya melebar kemana – mana? Mulai yang awalnya kalian cerita tentang matkul X yang bikin IPK kalian turun, tau – taunya jadi nyerempet ke anak fakultas X yang lagi kamu taksir. Beragam banget kan? bukan cuma topiknya, tapi juga emosi yang berusaha kamu sampaikan ke pendengar.
2. Playing victim
Saat lagi cerita, kamu pastinya menempatkan dirimu sebagai sosok yang maha benar dan yang lainnya salah. Pada akhirnya, kamu merasa menjadi korban dalam situasi tersebut. Hal ini akan membingungkan si pendengar dalam menentukan solusi terbaik untuk menyelesaikan masalahmu. Jadi sebisa mungkin, usahakan untuk menceritakan kedua sisi cerita secara fair dan seimbang, dan biarkan si pendengar yang menilai.
3. Waktunya berjam – jam
Iya, curhat yang baik itu yang gak berlama-lama. 30 menit aja cukup. Kecuali kalau kamu lagi ada di psikolog yang memang kamu bayar persesinya jadi bisa satu jam lebih kamu bercerita. Pendengarmu ini sama loh kayak kamu. Mereka gak dibekali ilmu untuk melakukan konseling. Mereka juga punya masalahnya sendiri. Masa kamu tega buang waktu mereka untuk dengerin masalah kamu doang?
BACA JUGA:Â Selain Klinik Satelit, Kamu Bisa Konsultasi Psikologis Di Sini Lho!
4. Menutup diri dari feedback yang positif dan tidak mau mengakui kesalahan
Ketika kamu curhat, adakalanya kamu minta solusi dari si pendengar tentang apa yang harus kamu lakukan selanjutnya dalam mengatasi masalahmu itu. Tapi ketika si pendengar justru memintamu untuk mengevaluasi diri, kamu pun menolak dan menegaskan bahwa bukan kamu yang salah. Nah, kalau udah kayak gini, kamu udah emotional dumping.Â
5. Menyalahkan orang lain, atau situasi
Karena kamu sudah playing victim, biasanya kamu jadi lebih mudah untuk menyalahkan orang lain, bahkan orang – orang yang gak relevan dengan masalahmu ini. Ibaratnya, mata dan telingamu sudah tertutup untuk melihat perbuatanmu sendiri. Seperti contoh, ketika kamu sedang curhat soal IPK kamu yang terus menurun, kamu akan dengan mudah menyalahkan dosenmu atau teman – teman sekelasmu.
Terus.. gimana dong, kalau misalnya yang melakukan emotional dumping itu adalah orang lain dan kita yang terkena imbasnya?
Sebetulnya mudah. Kamu cukup menegaskan batasan dengan menjelaskan kepada orang tersebut kalau kamu secara emosional sedang tidak siap untuk mendengarkan curhatan mereka. Minta kepada orang tersebut untuk membicarakan hal itu di lain waktu ketika kalian berdua sudah lebih tenang. Selamat mencoba!
BACA JUGA:Â 5 Pandangan Orang tentang Anak Sastra (Ini Curhat Kami Anak FIB)
Daftar Isi