Kartini dan Upaya Pendobrakan Pakem “Dapur, Sumur, dan Kasur”

Tanggal 21 April bagi sebagian orang mungkin merupakan hari biasa seperti hari-hari lainnya, namun bagi sebagian orang sisanya, hari tersebut mempunyai makna tersendiri. Bagi sebagian besar wanita di Indonesia, tanggal 21 April menjadi hari spesial, karena 129 tahun yang lalu lahir seorang tokoh yang mampu membawa perubahan dalam pola pemikiran dan posisi sosial kaum wanita, yakni R.A. Kartini. Dilahirkan di Jepara dalam lingkungan keluarga ningrat, Kartini menyadari betapa terkungkungnya nasib wanita saat itu. Wanita yang selama itu dilihatnya menjadi ”manusia kelas dua”, belum mendapatkan kesempatan yang sejajar dengan kaum pria di berbagai bidang seperti pendidikan, kesehatan, politik dan sebagainya. Terlebih lagi saat itu, Indonesia masih berada dalam kekuasaan kolonialisme dan praktek feodalisme yang diskriminatif. Wanita Indonesia hanya identik dengan pakem-pakem lama yang berkutat pada aktivitas seputar dapur, sumur dan kasur. Menikah di usia muda, mengepulkan asap dapur dan melahirkan anak, tidak lebih dari itu. Kartini lantas secara mandiri, swadaya dan swadana berusaha mengubah fakta tentang nasib dan kehidupan wanita di lingkungan sekitarnya. Ide-ide Kartini yang menekankan peguasaan pendidikan dan ketrampilan bagi wanita, telah mampu menginspirasi wanita lain untuk meningkatkan harkat dan derajat kaumnya.

Perjuangan Kartini, mengilhami pergerakan kaum wanita yang diawali dengan munculnya prakarsa pendirian sejumlah organisasi berbasis wanita. Pada tahun 1928, diselenggarakan Kongres Perempoean Indonesia yang pertama di Yogyakarta. Salah satu keputusannya adalah dibentuknya satu organisasi federasi yang mandiri dengan nama Perikatan Perkumpulan Perempoean Indonesia (PPPI). Melalui PPPI tersebut, terjalin kesatuan gerak wanita untuk secara bersama-sama berjuang meningkatkan harkat dan martabat bangsa Indonesia menjadi bangsa yang merdeka, sekaligus meningkatkan harkat dan martabat wanita Indonesia menjadi wanita yang maju dan berpendidikan. Kesetaraan harkat dan martabat yang termuat dalam bingkai emansipasi. Setelah sekitar delapan dekade berjalan, saat ini wanita Indonesia mampu menjadi sumber daya manusia yang unggul dan kompetitif, tidak hanya dalam negeri namun juga luar negeri. Wanita Indonesia mampu menunjukkan prestasi dan profesionalitasnya dalam berbagai bidang. Kini wanita Indonesia sudah bisa menjadi menteri, politikus, ekonom, atlet, pebisnis dan profesi lain yang tidak selalu identik dengan ”pakem dapur, sumur dan kasur”.
Namun memasuki tahun 2008, masih terdapat beberapa permasalahan krusial yang terus menjadi sorotan di Indonesia. Di antaranya masih berlangsungnya budaya kekerasan terhadap wanita dan ketidakadilan gender yang seakan tiada habisnya. Lantas kekerasan yang sering terjadi adalah kekerasan dalam rumah tangga, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, serta penelantaran rumah tangga. Berdasarkan data dari Komnas Perempuan, pada tahun 2007 terdapat sekitar 25.522 kasus kekerasan terhadap wanita. Jumlah tersebut meningkat tajam dari hanya 7.787 kasus pada tahun 2003, dan diperkirakan akan mengalami trend yang terus meningkat pada tahun-tahun berikutnya.

Salah satu penyebab makin banyaknya kasus kekerasan dan pelecehan terhadap wanita adalah belum terwujudnya kesetaraan gender dalam masyarakat. Sosok wanita selama ini dianggap sebagai sosok pengikut bukan pemimpin sehingga sudah ”selayaknya” peran dan suaranya tidak harus selalu didengar dan diprioritaskan. Asumsi yang telah membudaya tersebut, menjadikan kaum wanita memiliki posisi sosial dan bargaining power yang lemah, lebih rendah dari kaum laki-laki. Akibatnya terjadi proses sosial yang secara tidak langsung menimbulkan adanya social judgement berupa pembedaan hak dan kewajiban di antara laki-laki dan perempuan.

Diskriminasi terhadap kaum wanita yang didasarkan pada gender di abad globalisasi ini, sudah tidak relevan lagi. Setiap kaum wanita berhak untuk memperoleh promosi dan memperoleh posisi yang setara dengan kaum laki-laki, sesuai dengan prestasi dan kemampuannya. Setidaknya di negara kita sudah terdapat beberapa instrumen hukum yang mengatur keadilan gender misalnya Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2007 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) atau instrumen hukum lainnya.

Perlu adanya law enforcement secara berkelanjutan agar instrumen hukum tersebut dapat dijalankan secara efektif. Selain itu, tingkat melek masyarakat khusunya kaum wanita terhadap instrumen hukum tersebut juga perlu diperhatikan. Dengan mengetahui dan memahami adanya payung hukum terkait kesetaraan gender, maka kaum wanita akan mengetahui hak-hak dan kewajiban mereka serta langkah dan tindakan hukum apa yang harus dilakukan apabila hak-haknya dilanggar. Namun faktanya, mungkin saja presentase melek aturan tersebut di kalangan wanita baik di Kabupaten Jombang, Kabupaten Mojokerto dan Kota Mojokerto tidak lebih dari total populasi wanita yang ada. Oleh karena itu keberadaan beberapa stakeholders seperti non government organization atau lembaga swadaya masyarakat, media massa dan tentunya pihak pemerintah sendiri sangat penting untuk memasyarakatkan instrumen hukum tersebut. Bagi pemerintah daerah misalnya, melalui departemen terkait, kesetaraan gender dapat dimasukkan dalam satuan pendidikan di lingkungan pendidikan formal. Sehingga masyarakat bisa mengerti keadilan gender sejak di bangku sekolah. Bagi lembaga swadaya masyarakat dan media massa, keberadaan instrumen hukum dapat dikomunikasikan melalui publikasi atau exposure secara berkala.

Hari Kartini memang menjadi momen memperingati kebangkitan perjuangan emansipasi wanita. Kartini telah menyumbangkan dasar-dasar pemikirannya yang cukup berarti, terlepas dari kontroversi dan argumentasi yang menganggap perjuangan Kartini hanya bersifal lokal. Peringatan hari Kartini bertujuan untuk mewariskan nilai-nilai luhur dan semangat perjuangan kaum wanita guna mempertebal tekad dan usaha untuk meningkatkan posisinya. Kaum wanita diharapkan terus bergerak maju, berperan aktif dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara. Terlebih lagi dengan adanya modernitas dan perkembangan teknologi, memungkinkan mereka untuk mengakses informasi dan peluang untuk mengembangkan diri.

Hari Kartini sudah seharusnya tidak hanya dimaknai secara seremonial dan insidental dengan penyelenggaraan berbagai event yang sifatnya temporer. Hari Kartini harus dimaknai dengan tindakan nyata dan partisipasi aktif dari wanita dalam berbagai bidang pembangunan. Walau Kartini telah tiada dalam usia tidak lebih dari seperampat abad, namun semangat perjuangannya akan tetap terkenang dan direalisasikan. Sudah saatnya wanita bergerak untuk kehidupan yang lebih baik. Sudah saatnya wanita untuk melawan, melawan dalam artian melakukan peningkatan prestasi dan profesionalitas di bidangnya masing-masing. Dan sekali lagi melawan agar terbebas dari kungkungan pakem lama ”dapur, sumur dan kasur”.

1 thought on “Kartini dan Upaya Pendobrakan Pakem “Dapur, Sumur, dan Kasur””

  1. Yang jelas menjadi kenyataan sejarah bahwa kartini kemudian menerima lamaran dari seorang raden yang beliaunya sendiri sudah mempunyai istri lebih satu, ini artinya meskipun kartini bisa dibilang sebagai pelopor emansipasi wanita di negeri kita namun dia pun mengakui kodrat wanita yang harus berlaku menurut dengan menerima tawaran niat baik dari pria yang ingin mempersuntingnya meskipun si pria bukanlah menjadikan kartini sebagai yang pertama.

    Reply

Leave a Comment