KETIKA KITA DIBODOHI

  • “Indonesia adalah negeri budak. Budak di antara bangsa dan budak bagi bangsa-bangsa lain.” ( Pramoedya Ananta Toer )

Pertarungan ego, intrik politik, baku-hantam kekuasaan, dan tarik ulur kepentingan yang terjadi di UI beberapa saat lalu kembali menyegarkan kondisi perpolitikan kampus yang telah lama mati suri. Ya, PEMIRA UI. Sebuah hajatan politik terbesar tingkat universitas dilakukan. Di dalam riuh-rendah pertikaian yang ada, tidak banyak pihak yang mengetahui bahwa friksi tersebut sampai berakhir kepada gugatan hukum yang dilayangkan kepada pihak yang berwajib dengan delik pencemaran nama baik. Saya yakin, di satu sisi, dinamisasi ini merupakan hal yang sangat positif bagi para mahasiswa UI dalam rangka melakukan proses pembelajaran politik untuk masa yang akan datang. Akan tetapi di sisi lain, kita juga harus jernih memandang bahwa hal ini pun menimbulkan biaya sosial dan politik yang cukup besar, dan sayangnya hal tersebut harus ditanggung oleh mahasiswa UI sebagai satu-satunya stakeholder dalam kompetisi politik yang diadakan ini. Satu-satunya stakeholder yang selalu berharap bahwa meskipun mereka harus menanggung “biaya” besar atas perhelatan adu-rebut kekuasaan ini, PEMIRA UI diharapkan dapat memberikan benefit dan nilai tambah bagi peningkatan kualitas mereka (mahasiswa) sebagai insan intelektual dalam kampus yang menyandang nama bangsa ini.

Dalam kesendirian, saya sering berpikir, bagaimana sekiranya jika PEMIRA UI ditiadakan, ataupun bila BEM UI dibubarkan, dalam bentuk pemikiran lain. Jika memang hal ini terjadi, saya hanya penasaran, apakah nantinya mahasiswa UI benar-benar akan dirugikan? Apakah kiranya jika BEM UI diatiadakan, mahasiswa akan terganggu kepentingannya, kehilangan kesempatan untuk menimba ilmu dan beraktualisasi secara akademik dan non-akademik di kampus UI yang mereka banggakan?

Berbeda dengan kondisi makro politik negara ini dimana peran PEMILU secara langsung akan menentukan figur pemimpin yang memiliki implikasi yang besar terhadap pemenuhan amanat rakyat, saya pikir PEMIRA UI –  dimana pemilihan ketua BEM UI dilangsungkan – tidak memiliki signifikansi terhadap pemenuhan amanat mahasiswa di kampus ini. Mudahnya, meski tanpa BEM UI, semua hal yang berkaitan dengan kepentingan mahasiswa telah diakomodasi oleh sistem dan struktur kemahasiswaan yang ada.

Bicara tentang kepentingan mahasiswa, tentunya kita bicara tentang pemenuhan hak mahasiswa akan hard skill (academic skill) dan juga soft skill, termasuk diantaranya pemenuhan akan network dan sarana aktualisasi diri. Terkait dengan pemenuhan hard skill yang sudah kita singgung sebelumnya, BEM UI tidak ada kaitannya sama sekali dengan hal ini. Seperti kita ketahui bahwa mahasiswa butuh dan berhak mendapatkan fasilitas pendidikan sebagai kompensasi atas pembayaran BOP yang mereka lakukan setiap semesternya. Dalam kaitannya dalam pemenuhan hak akademik, jelas sekali bahwa pihak birokrasi pendidikan-lah yang akan bertanggung jawab akan hal tersebut, bukan organisasi kemahasiswaan.

Begitu juga dalam hal pemenuhan kebutuhan non-akademik (soft skill) yang menjadi ranah aktifitas organisasi kemahasiswaan. Saat ini mahasiswa UI telah memiliki instrumen kegiatan mahasiswa-nya sendiri yang cukup relevan untuk menjawab permasalahan pemenuhan kebutuhan tersebut. Ketika mahasiswa memiliki aspirasi dan ingin hak-nya diperjuangkan, sistem politik kita mengakomodasi hal tersebut dengan membentuk BEM dan BPM tingkat fakultas. Ketika para mahasiswa memerlukan wadah dimana mereka dapat berkontribusi kepada masyarakat dan juga meningkatkan kualitas soft skill pada saat yang sama, mereka dapat aktif sebagai fungsionaris ataupun anggota kepanitiaan tertentu dalam berbagai kegiatan yang di inisiasi oleh BEM, BO taupun BSO di lingkungan fakultas mereka masing-masing. Ketika mereka menginginkan berkegiatan sesuai minat dan bakat dengan tanpa harus menghilangkan esensi untuk tetap dapat bersosialisasi dan berinteraksi dengan mahasiswa lain, mereka dapat bergabung di UKM-UKM yang ada di tingkat fakultas ataupun universitas. Atau ketika mahasiswa UI menginginkan adanya suatu kegiatan bersama-antar fakultas, seperti kegiatan olahraga ataupun keilmuan yang dilakukan oleh segenap mahasiswa dan warga UI, para pengurus BEM fakultas dapat berkolaborasi membentuk kepanitiaan bersama antar fakultas. Termasuk dalam hal pembentukan konsensus politik untuk mengkritisi kinerja pemerintah, yang dapat dilakukan tanpa harus meninggalkan otonomi mereka sebagai lembaga eksekutif tingkat fakultas.

Lalu apa lagi yang kurang? Mungkinkah kegiatan-kegiatan non-BEM UI selama ini diklaim kurang professional, kurang besar dan kurang megah sebagai kegiatan yang merepresentasikan gengsi sebuah universitas? Saya pikir Jazz Goes To Campus yang dilaksanakan oleh BEM FEUI jauh-jauh lebih professional, lebih besar dan lebih megah dibandingkan kegiatan BEM UI manapun selama ini. Atau mungkin kegitan tersebut dirasa kurang memberi manfaat yang signifikan ke masyarakat? KerSos yang dilaksanakan oleh mahasiswa FTUI, Tim Bantuan Medis (TBM) FKUI, desa binaan yang dilaksanakan mahasiswa FISIP UI, dan beberapa kegiatan sosial lain yang dilaksanakan oleh masing-masing BEM fakultas juga merupakan kegitan sosial yang tidak dapat dianggap remeh kontribusinya bagi masyarakat. Atau dirasa masih kurang merepresentasikan semangat keilmuan anak-anak UI yang katanya memiliki semangat intelektual yang tinggi? Lalu bagaimana dengan olimpiade sosial, science carnival ataupun kegiatan keilmuan lain yang dilaksanakan hampir di setiap fakultas. Semua hal telah diakomodasi, sekali lagi, tanpa harus menggunakan instrumen kemahasiswaan yang bernama BEM UI.

Maka dari pemaparan sederhana tadi maka kita dapat menyimpulkan bahwa ada atau tidak adanya BEM UI, tidak akan ada pengaruh yang signifikan terhadap pemenuhan kepentingan mahasiswa UI secara langsung. Mahasiswa tidak akan pernah bergantung kepada BEM UI, baik kaitannya dalam pemenuhan hard skill, soft skill, dan juga network yang dibutuhkan pada kehidupan paska kampus nanti. Karena ketidak-jelasannya tersebut, tidak jarang sebagian dari mahasiswa UI menyebut BEM UI sebagai BEM fakultas ke-13, sebuah organisasi tingkat pusat yang tidak ada bedanya dengan kegiatan BEM fakultas kebanyakan. “Berlomba-lomba dalam kebaikan” dalam konsep positioning yang absurd.

Lalu, ketika keberadaan organisasi ini dirasa tidak begitu penting, mengapa harus ada “kompetisi politik” dimana mahasiswalah yang harus menanggung seluruh biayanya?

Dengan adanya kekisruhan politik UI belakangan ini, sadar atau tidak, sebagian mahasiswa UI kini telah masuk dalam labirin perebutan kekuasaan yang sistemik. Dibodohi. Dipaksa untuk memihak dan bertarung tanpa diberikan kesempatan berpikir kritis atas esensi. Dipaksa berperang dan berjibaku dalam wilayah unconscious di medan perang politik kampus, hanya dengan bermodalkan ransum sentimen golongan, jumawa ke-fakultas-an ataupun tujuan-tujuan lain yang lebih rendah seperti nafsu politik untuk menggulingkan rezim yang katanya telah telah lama menghegemoni. Mereka tak ubah layaknya budak politik yang bergerak tanpa jiwa, dan akal sehat.

Kasihan…..

Leave a Comment