Tulisan ini dibuat oleh penulis sebagai respon atas pembacaan karya Thomas Aquinas terutama mengenai justifikasi kebenaran. Penulis berharap tulisan ini bisa memicu diskursus filsafat di Indonesia dan jika kiranya pembaca dan penulis memiliki tafsir berbeda mengenai pemahaman terhadap Thomas Aquinas maka penulis hanya bisa mengatakan bahwa setiap realitas selalu mempunyai multi tafsir. Karya ini juga saya persembahkan untuk orang yang saya cintai yang mungkin suatu hari namanya akan disebut.
Kebenaran merupakan tema utama dari epitemologi Thomas Aquinas dan menurut Aquinas kebenaran ontologis dapat diketahui oleh manusia. Thomas Aquinas mendefinisikan kebenaran adalah kesesuaian antara akal dan realitas. Untuk mengetahui kebenaran menurut Aquinas akal harus menyesuaikan dengan realitas yang dipersepsinya. Tetapi disini saya ingin mengkritik pandangan Aquinas yang rancu itu.
Kebenaran ontologis tidaklah dapat diketahui dan dibicarakan oleh manusia, mengapa? karena kita tidak punya perangkat yang dapat mengenali ontologi realitas, yang kita bisa bicarakan hanyalah kebenaran epistemologi bukan kebenaran ontologi. Persepsi yang diterima oleh indra kita sudah selalu dibubuhi oleh kategori-kategori yang ada didalam pikiran kita. Layaknya sebuah kacamata hitam yang selalu kita kenakan membuat kita melihat realitas dunia menjadi berwarna hitam. Mungkin pembaca sulit membayangkan tentang kategori-kategori itu maka saya akan menjelaskannya. Untuk memahami kategori yang ada didalam pikiran kita maka kita harus bertanya apakah pensil yang saya lihat dimata saya sama dengan ketika seekor kucing melihat pensil tersebut ? Apakah Meja yang saya lihat di kelas sama dengan pandangan seekor semut ketika melihat Meja? Pertanyaan seperti ini sangat sulit dijawab ketika Immanuel Kant belum menerbitkan karyanya yang terhebat yaitu “Kritik Atas Akal Budi Murni.”
Setelah Kant menerbitkan bukunya tersebut kita menyadari bahwa persepsi manusia sangatlah terbatas. Apa yang dipersepsi manusia hanyalah fenomena atau gambaran mental yang selalu sudah dibubuhi oleh kategori-kategori yang terdapat didalam pikiran manusia. Dunia yang saya lihat adalah dunia penampakan bukan dunia sebagaimana sesungguhnya. Disinilah tamparan keras terhadap Epistemologi Thomas Aquinas yang mendefinisikan kebenaran adalah kesesuaian antara akal dan realitas dan kebenaran ontologi dapat diketahui. Pemikiran seperti Aquinas sangatlah absurd karena yang namanya realitas tidaklah dapat dibicarakan dan diketahui, yang kita lihat dan yang kita dapatkan dari persepsi hanyalah gambaran mental bukan realitas an sich sesungguhnya. Persepsi hanyalah tiruan atau copy dari objek melainkan bukan sebagaimana objek sebenarnya, lalu kita pasti bertanya-tanya didalam hati apakah jagad raya yang kita pikirkan dengan seluruh teori-teorinya hanyalah jagad raya ciptaan kita bukan sebagai mana jagad raya sebenarnya? Tepat sekali, jagad raya yang kita pikirkan bukanlah ontologi realitas melainkan epistemologi realitas yaitu realitas yang kita ketahui dari persepsi yang sudah dipengaruhi oleh kategori bukan realitas an sich.
Jagad Raya Ilusi
Richard Tarnas seorang sejarawan budayawan yang masih hidup sampai sekarang pernah mengatakan “Didepan mata manusia itu ada lensa yang memfilter penglihatan, lensa itu dipengaruhi oleh nilai, pengalaman, keterbatasan, trauma, dan harapan. Maka, kata Tarnas, yang ada dibenak manusia itu bukanlah jagad raya yang sebenarnya melainkan sesuatu jagad raya ciptaan manusia.
Memang kita manusia terkadang dapat memprediksi sebagian kejadian-kejadian dan fenomena-fenomena di alam ini tetapi kita jangan lupa adanya krisis ekologi dan banyaknya kejadian yang belum dapat dijelaskan oleh manusia menunjukkan bahwa jagad raya dalam akal dan pikiran kita adalah jagad raya ciptaan manusia bukan jagad raya sebagaimana sesungguhnya. Maka dari itu pandangan epistemologi Thomas Aquinas yang mengatakan kebenaran ontologis dapat direngkuh bahkan dapat diketahui oleh manusia sangatlah absurd, mengapa? karena kita tidak pernah punya akses terhadap ontologi realitas.
Thomas Aquinas harus mengetahui bahwa manusia selalu melakukan kebiasaan mereduksi realitas menjadi realitas yang sederhana sehingga apa yang manusia lihat didalam kerangka pemikirannya bukanlah realitas an sich sesungguhnya tetapi hanyalah ciptaan manusia semata yang sudah direduksi menjadi sederhana. Contohnya adalah permasalahan momentum, Apakah kalian pikir jumlah momentum sebelum tumbukan akan selalu sama dengan jumlah momentum sesudah tumbukan? Apakah tidak dipengaruhi oleh faktor lainnya, misalnya gaya gesek udara, gaya gesek permukaan, kita cenderung mengabaikan variabel gaya gesek didalam permasalahan momentum benda supaya perhitungan menjadi lebih mudah dan sederhana, kebiasaan dan sikap seperti ini sebenarnya menunjukkan bahwa manusia selalu memotong dan mereduksi realitas itu sendiri menjadi realitas yang dinginkannya? Pada akhirnya ontologi realitas memang tidak dapat direngkuh oleh manusia.
Dulu di zaman Yunani (didalam mitologi Yunani) ada seorang raja yang dianggap sebagai raja yang bijaksana, nama raja itu adalah Procrustes. Setiap malam raja tersebut akan mengundang satu rakyatnya untuk tidur diranjang emasnya. Malam-malam si raja mengintip rakyatnya yang sedang tidur. Kalo tubuh rakyatnya itu lebih panjang dari panjang kasurnya si raja maka akan digergaji kakinya dan kalo lebih pendek maka kakinya akan ditarik supaya fit dan proper atau pas dengan panjang kasurnya si raja. Melihat dari cerita itu Procrustes melayani rakyatnya dengan ukurannya sendiri padahal rakyatnya mempunyai ukurannya masing-masing. Persis seperti itulah manusia, seolah-olah manusia adalah Procrustes itu sendiri yang selalu memotong dan mereduksi realitas dengan ukurannya sendiri padahal realitas itu mempunyai ukurannya masing-masing. Manusia hanya dapat membuat model-model untuk realitas yang sebenarnya model itu sudah jauh dari realitas an sich sebenarnya. Jelas kita tidak dapat menyalahkan manusia, Mengapa? karena gejala Procrustes itu bukan disebabkan oleh manusia itu sendiri melainkan memang kelemahan persepsi manusia yang selalu sudah dibubuhi kategori-kategori sehingga bergantung pada model-model.
BACA JUGA: Roh dan Materi Dalam Perspektif Filsafat Materialisme
Realitas Palsu
Stephen Hawking dan Leonard (Sumber: http://blog.bigpicturescience.org/2018/04/big-picture-science-hawkingravity-leonard-mlodinow-working-with-hawking/)
Diceritakan oleh Stephen Hawking dan Leonard Mlodinow bahwa pada suatu waktu, walikota Monza melarang penduduknya untuk memelihara ikan maskoki didalam akuarium cembung. Alasannya, hal itu akan membuat penglihatan sang ikan terdistorsi sehingga hanya dapat melihat realitas dalam perspektif dan model garis lengkung. Ini merupakan kejahatan dan penipuan terhadap ikan sehingga sang ikan tidak akan dapat melihat realitas sesungguhnya.
Anggaplah ikan itu adalah manusia dan akuarium cembung itulah indra kita yang sudah selalu dibubuhi kategori-kategori. Apakah realitas dalam perspektif garis lengkung yang dilihat ikan adalah salah si ikan atau manusia? Tentu tidak, kesalahan itu terjadi karena kita menempatkan ikan tersebut didalam akuarium cembung (persepsi indra) selama ikan itu berada didalam akuarium cembung (persepsi indra) maka seumur hidupnya dia tidak akan bisa melihat realitas an sich sesungguhnya dan itu merupakan suatu kejahatan.
Reduksi realitas ini selain akibat dari keterbatasan persepsi manusia juga disebabkan oleh asimetri epistemik. Apa itu asimetri epistemik? Asimetri epistemik adalah gap didalam pengetahuan kita dimana dunia pengalaman atau empiris memanglah sangat acak dan tidak pasti. Kerangka kita selalu menganggap dunia ini teratur dan tertata tetapi realitas sebenarnya sangatlah acak dan tidak dapat diprediksi. Contohnya adalah sejarah yang selama ini ada di buku-buku sejarah yang dianggap teratur dan tertata sebenarnya tidak sedemikian sebagaimana kita bayangkan. Sejarah bukanlah perjanjian antara umat manusia untuk menentukan masa depan tetapi sejarah adalah faktor-faktor dan variabel-variabel yang acak dan unobservable yang secara spontan ternyata membentuk realitas, itulah yang dimaksud sejarah.
Pada akhirnya kita sadar betul bahwa ontologi realitas tidak dapat diakses sehingga konsekuensinya kebenaran ontologis sebagaimana diharapkan oleh Thomas Aquinas tidak dapat diketahui. Yang dapat selalu dapat diketahui manusia hanyalah realitas epistemologis yaitu dunia penampakan bukan dunia an sich sesungguhnya. Jadi sebenarnya kebenaran dalam perspektif epistemologi Thomas Aquinas sangatlah absurd.
BACA JUGA: Anak Harusnya Dididik dengan Pertanyaan dan Kritisisme!
DAFTAR PUSTAKA
Sitorus, Fitzerald Kennedy. “Filsafat Kritisisme Kant.” Komunitas Salihara (2016) :6-10
Sitorus, Fitzerald Kennedy. “Rasionalisme.”Komunitas Salihara (2016) :23-24
Sitorus, Fitzerald Kennedy. “Empirisme/Skeptisisme.” Komunitas Salihara (2016) :7-13
Amirullah. “Krisis Ekologi: Problematika Sains Modern.“ Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Dakwah IAIN Samarinda (2015) :3-17
Hawking, Stephen dan Leonard Mlodinow. 2010. The Grand Design (New York: Bantam Books)
Pratama, Herdito Sandi. “Realisme Bergantung-pada-Model.“ Departemen Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, untuk kelas Epistemologi.
Taleb, Nassim Nicholas. 2010. The Bed of Proscustes (New York :Random House)
Pratama, Herdito Sandi. “Skeptisisme Empiris.” Departemen Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, untuk kelas Epistemologi.
Tafsir, Ahmad. 2004. Filsafat Ilmu : Mengurai Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Pengetahuan ( Bandung : PT Remaja BosdaKarya)
Bonjour, L., 1992. “Externalism/internalism” in E. Sosa & J. Dancy (eds.), A Companion To Epistemology, Oxford: Blackwell, pp. 132–136.
Sumber Gambar Thomas Aquinas