Leadership Talk++ : Deklarasi Kesatuan Mahasiswa Mahasiswa Indonesia-Malaysia

Leadership Talk : Deklarasi Kesatuan Mahasiswa Mahasiswa Indonesia-Malaysia. Dibawahnya dalam ukuran font yang lebih kecil ada lagi kata-kata ‘Role of Student Toward Nation Glory in the Same Area ‘Serumpun’. Ya begitulah tulisan yang tertera di spanduk kegiatan yang berlangsung pada hari Sabtu (18/06) tersebut. Sepertinya itu tajuk dan tema kegiatannya.

Dalam perencanaan awalnya kegiatan tersebut akan dimulai pada pukul sepuluh pagi waktu Kuala Lumpur. Namun ketika kami datang pada pukul sepuluh lebih lima belas menit ternyata kegiatan belum juga dimulai. Ya ternyata saudaraku disini memiliki kebiasaan membuang waktu yang kurang lebih sama dengan saudaraku di negeri seberang sana. Aku hanya bisa berdoa semoga kegiatan segera dimulai. Aku malu pada sekelompok pemuda yang dulu berpacu dengan waktu memperjuangkan kemerdekaan negeriku.

Lebih kurang pukul sepuluh lebih empat puluh menit pun kegiatan dimulai. Kegiatan ini dirintis oleh Persatuan Pelajar Indonesia Malaysia (PPI M) dan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Kuala Lumpur (begitu mereka menyebutnya, aku masih bingung kenapa tidak disebut sebagai KBRI Malaysia).

Hadir pada saat itu Muhammad Hamidi (Ketua PPI M), Mulia Wirana (Wakil Duta Besar RI untuk Malaysia), Prof. Drs. Rusdi, M.A. Ph.D (Atase Pendidikan KBRI Kuala Lumpur), Prof Madya Mohamad Yusoff (Pensyarah Pusat Pengajian Komunikasi Universiti Sains Malaysia-USM), Perwakilan Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) yang diwakili oleh Universitas Negeri Padang (UNP), Mohd Syahid Mohd Zaini (Presiden Majelis Perwalian Mahasiswa Nasional : MPMN Malaysia), dan sejumlah mahasiswa dari Malaysia serta Indonesia (termasuk kami : Mahasiswa Departemen Geografi FMIPA UI yang kebetulan sedang student exchange di Universiti Malaya : UM).

Kegiatan yang bertempat di Aula Hasanudin KBRI Kuala Lumpur ini dimulai dengan sejumlah sambutan dari para pejabat yang namanya tertera diatas. Sambutan terakhir oleh Mulia Wirana secara resmi membuka dimulainya kegiatan tersebut. Usai pembukaan secara resmi, para hadirin dipersilahkan untuk mengambil makanan yang disediakan oleh panitia. Dalam kotak putih yang berukuran cukup besar itu aku kira awalnya berisi nasi dan para sahabatnya ternyata bukan, hanya ada beberapa snack khas Indonesia yang tersenyum ramah pada mereka para pelajar Indonesia yang di Malaysia yang mengaku sudah sangat lama sekali tidak makan snack seperti itu (sepertinya ini peluang untuk membuka usaha snack khas Indonesia disini). 😀

Usai waktu makan, kegiatan dilanjutkan dengan pembacaan deklarasi tentang dukungan kesatuan mahasiswa Indonesia-Malaysia yang dibacakan oleh perwakilan MPMN Malaysia disaksikan oleh semua hadirin dan ditanda tangani oleh para pejabat diatas.

Butir deklarasi berisikan tentang kesepakatan kedua belah pihak mahasiswa yang menyatakan siap bekerja sama menjaga hubungan baik kedua negara dan menjalin kerjasama yang saling menguntungkan di bidang pendidikan, ekonomi, media, dan bidang lainnya.

Satu hal yang agak aneh adalah ada pernyataan disana bahwa mahasiswa Malaysia siap membantu para mahasiswa Indonesia di Malaysia dan sebaliknya mahasiswa Indonesia siap membantu ‘masyarakat’ Malaysia di Indonesia. Kenapa disana dituliskan masyarakat ?. Aku tidak tahu apakah itu kesalahan redaksional atau memang disengaja aku tak sempat menanyakannya ketika itu. Namun setelah aku mencoba mencari tahu lebih lanjut, ternyata memang kesalahan redaksional yang dibacakan. 😀

Beberapa menit kemudian sekitar pukul sebelas lebih tiga puluh menit kegiatan dilanjutkan dengan Diskusi Panel yang terkait tema diatas. Diskusi ini rencanannya akan mengundang Tun Mahathir Mohamad (Mantan Perdana Menteri Malaysia) dan Jusuf Kalla (Mantan Wakil Presiden RI). Namun ternyata kedua beliau tersebut berhalangan datang karena berbagai alasan. Akhirnya mereka digantikan oleh dua orang Profesor yang namanya telah disebutkan diatas yaitu Prof. Drs. Rusdi, M.A. Ph.D dan Prof. Madya Mohamad Yusoff.

Pemaparan pertama dimulai oleh Prof. Mohammad. Pada awal pemaparannya dimulai dengan memperkenalan diri dan ternyata ia berasal dari Indonesia. Bukittinggi, sebuah kota bersejarah juang tinggi di Sumatera Barat merupakan kampung halamannya. Entah bagaimana cerita lengkapnya ia tak menjelaskan, yang penting hari ini ia mengabdi bukan untuk negara asalnya. Ya mungkin itu pilihan hidupnya, bagiku yang penting asalkan ia bersikap profesional dan memberikan yang terbaik itu tak masalah.

Dalam pemaparannya ia menceritakan tentang bagaimana pentingnya perilaku atau kelakuan dan apa yang telah kita lakukan untuk negara dalam konteks perjuangan demi negara. Termasuk dalamnya dalam konteks deklarasi ini. Peran utama mahasiswa menurutnya adalah sebagai agen perubahan. Satu hal yang unik dalam pemaparannya aku melihat betapa ia sangat membenci media yang dianggap terlalu liberal dan cenderung memburuk-burukkan. Ia seperti tidak menyetujui freedom of speech.

Selanjutnya pemaparan kedua oleh Prof. Rusdi. Pemaparannya diawali dengan sedikit sejarah mengenai pencetusan ide kegiatan tersebut. Sekitar lima bulan yang lalu ketika ia baru saja dipindahkan dari Universitas Negeri Padang (UNP) ke KBRI Kuala Lumpur ia langsung menghubungi Ketua PPI M. Ia menanyakan apakah selama ini telah ada koordinasi antara PPI M dengan pelajar di Indonesia dan para mahasiswa Malaysia. Dikarenakan jawabannya belum, maka semenjak saat itu segera diinisiasi pembentukan koordinasi ini melalui berbagai forum yang juga melibatkan MPMN Malaysia dan BEM SI sehingga akhirnya membuahkan hasil sebuah kesatuan yang dideklarasikan hari itu.

Setelah itu Prof Rusdi melanjutkan dengan penjelasan tentang fakta-fakta hubungan Indonesia-Malaysia yang sesungguhnya telah berjalan cukup lama bahkan sebelum kedua negara merdeka. Indonesia dan Malaysia tidak memiliki border. Hal ini disiratkan dalam quote oleh Tun Mahathir (begitu panggilan singkatnya Tun Mahatir Mohammad) yang menyatakan bahwa sesungguhnya kedua negara ini sesungguhnya bisa bersatu, hanya saja karena dijajah oleh negara yang berbeda akhirnya memisahkan mereka.

Menteri Pendidikan Nasional RI M.Nuh juga menyatakan dalam pidatonya di Malaysia bahwa ‘We can choose friend, but not neighbour’. Beberapa hari yang lalu Prof Rusdi juga menyatakan bahwa ia bertemu dengan seorang aktifis pramuka Malaysia yang ternyata juga berasal dari Indonesia, tepatnya Batusangkar sebuah kabupaten di Sumatera Barat. Kemudian istri Tun Mahatir ternyata juga dulu bersekolah di Diniyah Putri Padang Panjang, Sumatera Barat. Fakta-fakta tersebut menyiratkan nasehat seharusnya kedua negara ini mampu maju bersama.

“Ada sekitar dua setengah juta orang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia, lima belas ribu mahasiswa, dan ribuan pelajar lainnya. Semua itu memiliki potensi untuk meningkatkan kesejahteraan kedua negara dan hal itu bisa dimaksimalkan melalui deklarasi kesatuan ini. Lakukan sekarang juga dan jangan menuggu. Layaknya azan di masjid yang tak akan menunggu orang hingga banyak dulu maka segeralah adakan kongres dengan jumlah yang telah ada sekarang”, ungkap Prof Rusdi di akhir pemaparannya.

Usai pemaparan kedua pembicara dilanjutkan dengan sesi tanya jawab dimana ada masing –masing dua orang mahasiswa Indonesia dan Malaysia yang ikut berpartisipasi. Dari sesi tanya jawab itu semakin menguatkan asumsiku atas negeri jiran ini. Dimana sejumlah mahasiswa Malaysia yang berargumen terlihat sangat mendiskreditkan media sebagai salah satu pilar demokrasi. Seirama seperti pernyataan Prof Mohammad tadi dimana media di mata mereka hanya bisa memprovokasi dan memperkeruh keadaan.

Asumsiku itu adalah dipicu oleh peristiwa berikut. Ketika sebelum aku berangkat menuju KBRI Kuala Lumpur untuk kegiatan tersebut aku sempat berdiskusi dengan seorang Mahasiswa Indonesia yang telah enam tahun di Malaysia. Diskusi itu meyimpulkan bahwa demokrasi di negeri jiran bagai katak dalam tempurung. Kita serasa berada di zaman orde baru di negeriku dimana kebebasan pers sangat dibatasi. Diskriminasi dan intimidasi golongan sangat tinggi. Negeri ini bagaikan tidak mengenal pluralisme. Sangat tidak menghargai perbedaan seakan begitu tingginya kepentingan golongan. Demokrasi hanyalah kedok pencitraan. Pihak oposisi pemerintah akan selalu difitnah dan ditindas.

Betapa ironisnya keadaan ini jika ini memang benar. Mahasiswa disini tak seperti layaknya mahasiswa di negeriku yang memang mengamalkan sekali peranan mereka. Penumbangan rezim orde baru (terlepas dari kontroversinya) adalah salah satu prestasi gemilang mereka. Namun disini aku tak paham cem mana idealisme mereka. Demokrasi di mata mereka pun sepertinya berbeda. Atau memang bagi mereka demokrasi bukan sistem yang tepat sehingganya mereka memilih sikap diam tak peduli. Atau bahkan mungkin mereka memang tak peduli pada apa pun selain pendidikan mereka karena mataku sempat tersangkut pada slogan atau jargon MPM UM di sebuah poster yang lebih kurang berbunyi ‘bersama berkhidmat demi kepentingan mahasiswa’. Bukan demi negara.

Waktu menunjukkan pukul satu lebih tiga puluh. Satu setengah, begitu mereka menyebutnya kalau di negeri jiran ini. Diskusi panel pun berakhir dan hadirin dipersilahkan istirahat, sholat, dan makan hingga pukul dua karena akan ada sesi selanjutnya yaitu kuliah umum. Ketika masa istirahat itu sebagian hadirin terlihat pulang karena berbagai alasan. Hal ini dibuktikan ketika kuliah umum hendak dimulai di waktu yang lagi lagi dibuang-buang hingga telah menunjukkan pukul dua setengah (setengah tiga). Aku semakin malu, tak hanya pada sekelompok pemuda pejuang kemerdekaan itu tapi juga pada pembuat pepatah ‘hanya orang bodohlah yang membuat kesalahan dua kali’.

Sesi kuliah umum diisi oleh Datok Fuad Hasan dari Kementrian Pencerahan Komunikasi Kebudayaan Malaysia dengan tema ‘Peran Mahasiswa dalam Memajukan Kedua Negara’. Pemaparan pun dimulai oleh Datok dengan menegaskan bahwa definisi kata ‘serumpun’ harus diperjelas terlebih dahulu jika kita berbicara tentang hal ini.

Serumpun yang kita maksudkan adalah serumpun dalam konteks budaya bukan dalam konteks etnik. Karena melayu di Indonesia cuma sekelompok kecil di Sumatera dan di Malaysia pun konteks melayu juga meliputi Jawa, Bugis, Dayak, dan lain lain. Berbicara tentang hubungan kedua negara banyak sekali isu yang sebenarnya bisa memicu konfrontasi kedua negara jika memang kedua negara ingin nak berperang. Namun menurutnya dalam menghadapi isu-isu tersebut prinsip perhubungan yaitu kerjasama untuk kebaikan harus dijaga dengan baik.

Sama seperti warga negara jiran sebelumnya Datok pun juga menyalahkan media sebagai pemicu konfrontasi kedua negara berhubung isu-isu yang pernah ada. Apakah media memang salah atau memang saudaraku di negeri jiran ini yang salah ?. Aku sangat berharap menemukan jawabannya. Menurut Datok peran mahasiswa dalam deklarasi kesatuan ini adalah dapat mengukuhkan hubungan politik kedua negara dan langkah strategis yang harus dilakukan pertama kali untuk mencapai hal itu adalah ta’aruf terlebih dahulu antara mereka kedua belah pihak mahasiswa. Sangat normatif sekali.

Usai pemaparan dari Datok maka dilanjutkan dengan sedikit uraian dari Suryana Sastradiredja
(Minister Counsellor Pensosbud KBRI Kuala Lumpur). Ia berpesan agar deklarasi ini tidak Cuma di atas kertas tapi segera direalisasikan dalam bentuk aksi nyata. Pemaparan darinya sore itu cukup singkat karena memang katanya ia ada agenda lain yang harus ditunaikan. Akhir acara yang kurang klimaks, tapi aku tetap bersyukur karena hari ini aku kembali menambah koleksi perpustakaan memori ilmu di lembar kisahku. Perspektif masyarakat dua negara serumpun bertebaran dalam ruangan itu menebarkan banyak ilmu baru.

Kuala Lumpur, 20 Juni 2011

No matter what, what you believe is true..

 

Butir Deklarasinya : http://iqbalabwahab.blogspot.com/2011/06/deklarasi-kesatuan-mahasiswa-indonesia.html

 

Leave a Comment