Mau Di Bawa Kemana Century Kita?

“Mau dibawa kemana Century kita?

Jika DPR menunda-nunda dan tak ada keputusan…”

Coba Anda nyanyikan lirik diatas sesuai reff lagu “mau dibawa kemana” dari band Armada. Dan saya kira Anda akan suka menyanyikannya, sama seperti saya.

Sepotong lirik diatas seolah menyadarkan saya untuk mengingat kembali kasus seharga 6.7 trilyun itu, ya benar, kasus yang belum jelas penyelesaiannya (dan saya kira sulit menyelesaikannya), kasus Century.

Kasus Bank Century akhir-akhir ini seolah tenggelam dari peredaran dan terkubur dengan isu-isu yang lebih hot lainnya seperti mafia pajak, reformasi birokrasi, dan lain sebagainya. Jika dianalogikan dengan konteks peradaban, Bank Century inii seperti peradaban Inca-Maya di Meksiko sana, yang terkubur usia, yang telah renta habis termakan zaman karena terkubur peradaban-peradaban baru lainnya -isu-isu baru.red.

Seperti yang kita ketahui, kasus Bank Century cenderung saat ini seperti bola liar yang tidak ada habisnya. Hak angket yang telah dikeluarkan DPR RI terhadap kasus ini menunjukkan bahwa banyak pejabat negara terancam impeachment. Jika beranjak dari UU No. 27 tahun 2009 mengenai MPR, DPR, DPD, dan DPRD, konsekuensi dari dikeluarkannya hak angket adalah keluarnya hak menyatakan pendapat. Inilah yang menjadi permasalahan bersama ketika hak menyatakan pendapat DPR baru dapat dikeluarkan apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri paling sedikit 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPR yang hadir.

Disisi lain, ada tuntunan kuorum persetujuan hak menyatakan pendapat diturunkan menjadi 50% plus 1 atau 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPR yang hadir melalui judicial review UU No. 27 tahun 2009 ke Mahkamah Konstitusi. Inilah inti permasalahannya, ketika ada perdebatan diantara stakeholders yang ada seperti partai yang berkuasa, partai oposan, LSM, dan DPR sendiri yang menyebabkan kasus ini seperti tidak ada ujungnya.

Sedang mahasiswa? saya kira mereka masih saya berdiam diri, yang seolah-olah sibuk dengan urusan sendiri. Saya disini tidak tendensius, tidak menyebut mahasiswa dari perguruan tinggi mana. Yang ingin saya sampaikan disini adalah ketika peran mahasiswa sebagai kontrol mulai dipertanyakan. Coba Anda bayangkan, terlebih jika Anda mulai memikirkan, apa jadinya jika mahasiswa yang katanya independen mulai mengurangi kualitas dirinya sebagai kontrol pemerintah. Jika melihat konstelasi politik saat ini terlebih untuk kasus ini, saya kira banyak kepentingan yang bermain disini. Kebanyakan dari mereka adalah LSM-LSM yang saya katakan busuk karena kepentingan pragmatis mereka. Ada yang menuntut Sri Mulyani-Boediono turun, ada yang menuntut SM atau B saja yang turun, ada juga yang menyokong mereka untuk tidak turun, dan atau yang lebih ekstim lagi, keapatisan dengan kasus ini.

Ya apapun itu saya tidak mau repot mempermasalahkan karena kasus ini seperti filosofi hidup yaitu pilihan. Tinggal memilih saja mau menyelesaikan atau tetap menjadi bola liar. Jika saya boleh bersilat lidah, “jangan katakan bisa atau tidak bisa, melainkan mau atau tidak mau”

Jiwo Damar Anarkie

mahasiswa aja

Leave a Comment