Max Weber dan Etos Kerja

Terdapat kiranya “kesamaan-sejalan” dari etos kerja keras berdasar atas keyakinan dengan pertumbuhan ekonomi atau kapitalisme yang menggejala di masyarakat. Itulah sebuah tesis dari Max Weber dalam karyanya  Die Protetantische Ethik und Der Geist Des Kapitalimus (1905).

Weber menuliskan bahwa kapitalisme di Eropa utara berevolusi ketika semangat etika Protestan (terutama Calvinis) mempengaruhi sejumlah besar orang untuk terlibat aktif dalam kerja ekonomi, mengembangkan perusahaan mereka sendiri dan terlibat dalam perdagangan dan akumulasi kekayaan untuk investasi. Dengan kata lain, etika kerja Protestan adalah kekuatan di balik aksi massa tidak terencana dan terkoordinasi yang mempengaruhi perkembangan kapitalisme pada waktu itu.

Penemuan Weber itu lantas  dilanjutkan oleh akademisi dengan studi-studi lain, seputar etos kerja, modernisasi, kemajuan ekonomi dsb. Robert Bellah (1957) misalnya, membahas kemajuan Jepang dengan meninjau pengaruh agama Tokugawa. Juga Clifford Geertz (1963) yang melakukan penelitan perbandingan antara kota Mojokuto di Jawa dengan Tabanan di Bali. Hasilnya, perkembangan ekonomi Mojokuto banyak disokong oleh orang-orang dengan sikap keyakinan religi yang taat. Fukuyama (1995) juga melakukan hal yang serupa dengan melakukan studi terhadap nilai-nilai Konfusianisme akan mempunyai hubungan yang menarik dan sepaham dengan perkembangan kapitalisme modern.

Gagasan-gagasan tersebut menyiratkan beberapa hal menarik berhubungan dengan usaha pengembangan semangat ekonomi di masyarakat.

Pertama, perkembangan ekonomi selalu berdasarkan dengan nilai atau etos kerja yang mendorong keunggulan. Tampak dalam studi Weber terhadap etos Calvinis misalnya, keyakinan para Calvin akan usaha untuk mendapatkan jaminan surga dari Tuhan telah mendorong mereka untuk bekerja keras di dunia (agar mendapatkan kemakmuran) walaupun dengan tetap menjaga sikap asketik: hemat, tidak berfoya-foya, beramal dsb. Nilai-nilai unggul secara ekonomik dalam hal ini dirunut langsung dari nilai-nilai keyakinan religius.

Kedua, penelitian yang searah dengan Weber, baik yang dilakukan oleh Bellah, Geertz, maupun Fukuyama mengisaratkan bahwa prinsip-prinsip nilai kemajuan tidak hanya dimiliki oleh masyarakat Eropa (atau negara-negara Barat) dan negara-negara maju saat ini. Negara-negara yang memiliki nilai-nilai peradaban berbeda dengan Eropa, seperti Asia, dapat saja memperoleh tahapan kemajuan yang serupa.

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Dapatkah semangat kemajuan yang sama dapat ditumbuhkembangkan melalui nilai-nilai yang dimiliki saat ini?

Dalam paparan Richard Robinson, Indonesia: The Rise of Capital (2008), masih menyiratkannya dominasi etnik tertentu selama kurun Orde Baru. Perkembangan kelompok enterpreuner lokal, atau disebutnya indigenous capitalist berjalan seiringan dengan proteksi Negara, serta tekanan dan sentimen dari masyarakat. Cukup pesimis sepertinya jika kita melihat paparan Robinson tersebut.

Untuk fase sekarang, potensi untuk menumbuhkembangkan struktur ekonomi berbasis entrepreuner jauh lebih terbuka. Terlepas dari skema program apa yang akan dijalankan  masyarakat nantinya, pokok yang paling penting adalah menumbuhkan semangat dan etos kerja. Masyarakat, termasuk kita perlu mendorong prinsip daya unggul dari Indonesia. Ini menantang peningkatan daya dorong kualitas manusia. Selebihnya, perihal kemakmuran dan kesejahteraan merupakan hasil yang sejalan dengan kualitas manusia yang meningkat. Seperti Weber telah paparkan.

Leave a Comment