<em>Menyelami danau terdalam di Asia Tenggara dan salah satu dari 10 danau terdalam di dunia ternyata tidak cukup jika “hanya” menghabiskan waktu 3 hari. Dari berbagai keindahan serta keunikan yang dimilikinya, mata ini baru dapat mengintipnya.
Grrrr…grrr….grrrr.. telepon seluler saya bergetar keras. Cukup keras untuk membangunkan saya yang sedang tertidur di ruang kuliah. Ada pesan masuk, “Teman-teman (ekpedisi) Soroako, besok jam 7 malam kita kumpul di sekretariat (Mapala UI), ya. Kita diundang untuk audiensi melalui telepon oleh Soroako Diving Club.” Wuah, akhirnya persiapan selama 3 bulan, kalau tidak mau dibilang pengorbanan, untuk dapat menyelami Danau Matano tidak sia-sia. Ya, walau harus sampai tertidur saat kuliah.
Pada tanggal 15-25 Januari 2012, Stephanie Amalia (Ilmu Perpustakaan & Informasi, 2007), Hizkia Mandagie (Vokasi Penyiaran, 2008), Ratih Rimayanti (Biologi, 2007), Mohammad Iqbal (Sastra Inggris, 2008) dan Rendy Eko Oktafiansyah (Sosiologi, 2007), M. Zafrullah Nasution (Instruktur), serta Alfindra Primaldhi (Psikologi UI) dan Sarah Diana Oktaviana melakukan Ekspedisi Selam Danau Air Tawar Matano di Soroako, Luwu Timur, Sulawesi Selatan.
Danau Terdalam di Selangkangan
“Cuma danau.” Kurang lebih begitulah pandangan beberapa pihak saat saya dan teman-teman divisi selam Mapala UI lainnya menyampaikan rencana penyelaman ini. Bukan tanpa sebab, banyak pandangan yang berkembang bahwa biota-biota danau tidak terlalu menarik dibanding dengan biota-biota di laut, yang memang menjadi lokasi “lumrah” untuk menyelam.
Namun, dengan luas 27 hektar serta kedalaman mencapai 590 meter, rasanya cukup banyak biota yang “mencari nafkah” di sana. Juga ditambah fakta bahwa Danau Matano juga merupakan danau air tawar terdalam di Asia Tenggara. Lagi pula, jarang-jarang saya dapat melatih keterampilan altitude dive saya. Itu loh, penyelaman yang dilakukan di ketinggian alias di atas permukaan laut.
Danau Matano terletak di desa Soroako, Kabupaten Luwu Timur, Provinsi Sulawesi Selatan. Untuk lebih mudah membayangkan lokasinya, apabila melihat peta Pulau Sulawesi yang menyerupai huruf K, maka “danau ini terletak di selangkangan Sulawesi”, begitulah kurang lebih ungkapan salah satu penduduk setempat. Dibutuhkan waktu sekitar 15 jam dari Makasar untuk mencapai Soroako dengan menggunakan jalur darat atau 45 menit dengan menggunakan jalur udara.
Nama Matano sendiri diambil dari nama perkampungan yang pertama kali berada di sebelah barat danau ini. Saat ini, sudah ada 3 desa lain yang menemani, yaitu Nuha di sebelah utara, Larona di sebelah timur serta Soroako di sebelah selatan danau Matano. Di desa Soroako-lah saya bersama rekan-rekan Mapala UI menginap. Ya, bisa juga dibilang basecamp.
Pada tahun 1998-1999, beberapa arkelog yang tergabung dalam proyek penelitian The Origin of Complex Society in South Sulawesi (OXIS). Proyek kerjasama Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dengan Australian National University ini melakukan penggalian di perbukitan sekitar Desa Matano. Hasil temuannya berupa terak-terak besi yang melimpah, fragmen keramik, gerabah dan pipa tanah liat yang diduga digunakan untuk mengalirkan logam (nikel) yang telah dicairkan. Temuan inilah yang mengawali beroperasinya PT International Nickel Indonesia (PT Inco Indonesia), perusahaan tambang nikel terbesar kedua di dunia, yang turut memfasilitasi ekspedisi ini.
Sungai Hijau dan Truk Raksasa
“Yang mau ke toilet silahkan”, samar-samar suara setengah teriak terdengar. Perlahan-lahan saya membuka mata, tapi kemudian kembali menutupnya, terlalu silau dan silap. Pandangan sedikit kacau. Ternyata saya sudah sampai di Malili, setelah saya bertanya pada penumpang bus yang lain. Hampir 12 jam saya habiskan di bus jurusan Makassar-Soroako ini. Bus yang tadi malam membuat saya harus berlari-lari di tengah hujan untuk mengejarnya.
Bersama seorang rekan, saya berangkat ke menuju Soroako, selang beberapa hari setelah audiensi. Ditunjuk sebagai tim advance, kami berangkat lebih awal dibanding tim besar. Kondisi badan tidak terlalu baik. Dua hari sebelumnya kami sibuk hingga tidak tidur menyiapkan keberangkatan yang sedikit mendadak, urusan perizinan di daerah terkait kegiatan penyelaman ini ternyata sedikit bermasalah. Dan dari kemarin malam, saat perjalanan dengan bus ini dimulai, saya masih belum bisa tidur nyenyak.
Di balik kaca bus saya dapat melihat sungai dan pegunungan yang hijau menjulang. Semuanya memenuhi pandangan. Sisi bus yang lain memperlihatkan warung-warung yang dibangun dari bambu yang berlatarkan tebing dengan pepohonan diatasnya.
Penasaran dengan sisi lain dari daerah di mana bus kami sedang beristirahat ini, saya turun dari bus. “Hijau”, mungkin itu yang terucap dari mata saya apabila dia dapat berbicara. Di hadapan mata terhampar pegunungan yang masih lebat hingga air sungai pun terlihat hijau dikarenakan rindangnya pepohonan disekitarnya.
Beberapa saat setelah bus mulai kembali bergerak, saya melihat beberapa orang menggunakan baju coverall oranye berdiri di bukit-bukit. Mereka semua menggunakan helm. Tak lama ketika sampai di terminal bus Soroako, yang saya lihat adalah truk-truk yang super besar, baik untuk ukuran mobil itu sendiri, juga untuk 4 bannya. Berjumlah “normal” namun berukuran “abnormal”.
Di dalam mobil tersebut, lagi-lagi terlihat orang-orang yang menggunakan baju oranye, sama seperti orang-orang di bukit tadi. Sekarang, di jarak yang lebih dekat, saya dapat melihat mereka semua menggunakan kacamata serta sepatu trekking alias sepatu gunung. Namun, tujuan mereka bukan untuk mendaki gunung seperti yang biasa saya dan teman-teman lakukan. Mereka “hanya” mendaki bukit untuk menambang nikel. Logam yang keberadaannya ditemukan oleh tim OXIS.
Saat sinar matahari sore mulai menyapa tubuh saya yang lelah setelah perjalanan jauh, kaki saya mulai bertemu kesegaran. Di mulai dari ujung-ujung jari kaki saya yang terkena derai ombak serta butiran pasir putih yang bahkan masih terlihat ketika berada di bawah air. Badan kembali terasa segar. Saya berada di dermaga Soroako Diving Club (SDC). Di tepi Danau Matano.
Museum Kerajaan di Dasar Danau
Udara pagi masih terasa dingin saat kesempatan untuk pertama kalinya menyapa kehidupan di dalam Danau Matano datang. Beruntung saya sudah menggunakan wetsuit yang pakaian selam. Rasa waswas masih muncul di pikiran saya, namun saya mencoba menenangkan diri karena toh saya masih berhadap-hadapan dengan buddy (pendamping ketika menyelam) saya. Sering saya menatapnya dengan lekat hanya untuk memastikan keberadaannya.
Depth gauge (alat pengukur kedalaman) menunujukan angka 40 kaki atau sekitar 12 meter. Saya memberanikan diri melihat ke atas. Ternyata siluet dari raft yang mengantar saya ke tengah danau masih terlihat, berarti jarak pandang hampir mencapai 11 meter. Betapa jernihnya danau ini.
Ohya, raft yang saya gunakan sudah menggunakan motor sebagai mesin penggeraknya, seperti pesawat tempur. Walaupun lantainya masih menggunakan kayu dan bentuknya hanya persegi panjang, kaku, alat transportasi ini menjadi yang utama di Danau Matano.
Masih berada di dalam danau, saya mulai melihat sekitar. Bebatuan berwarna keputihan nampak di dasar danau, membentuk ornamen yang beragam. Ada pula ornamen-ornamen made in manusia. Beberapa gerabah yang berbentuk teko, cangkir dan piring berada di atas bebatuan putih tadi. Seperti museum bawah laut.
Tiba-tiba saya mendengar bunyi menyerupai suara klakson. Apa ada mobil juga di bawah sini? Pikiran “nakal” saya. Belum sempat saya menemukan asal suara tersebut, tiba-tiba terasa ada yang menarik fins (sepatu selam) saya. Sembari menghentikan pergerakan, saya berbalik arah. Ternyata Pak Mario, anggota SDC yang turut membantu ekpedisi ini. Dengan pandangan tajam, kalau tidak mau dibilang melotot, penyelam yang juga karyawan PT Inco ini memberikan tanda ibu jari yang diarahkan ke atas. Saya langsung melihat depth gauge yang saat itu menunjukan angka 80 kaki (24 meter). Waduh, saya tidak sengaja melanggar kesepakatan mengenai batas kedalaman penyelaman yang hanya 70 kaki. Ah, museum bawah laut ini telah menghipnotis saya.
Ohya, menurut Atma Gatara, warga Desa Matano yang juga penjaga kebudayaan Kerajaan Luwu, Matano memang termasuk dalam Kerajaan Luwu. Nama Luwu sendiri saat ini digunakan sebagai nama Kabupaten. Menurut Pak Atma, gerabah-gerabah yang saya temui di dasar Danau Matano merupakan sisa-sisa peninggalan Kerajaan Luwu. “Dulu sempat ada gempa bumi yang cukup dahsyat, yang membuat sebagian wilayah Kerajaan Luwu tenggelam ke Danau,” ungkapnya. Cerita yang sesuai dengan tipe Danau Matano sebagai danau tektonik, danau yang terbentuk akibat adanya aktifitas pergerakan kerak bumi. Pantas saja tadi saya sempat melihat sebilah pedang.
Menyelam untuk Bertemu Kelalawar
Pagi berikutnya, dengan kondisi masih mengantuk, saya mulai bersiap untuk penyelaman hari kedua. Sesuai jadwal, tim bangun jam 5 pagi untuk kemudian sarapan dan menyiapkan peralatan selam. Ohya, tanpa mandi. Dengan pembenaran, toh nanti juga berendam di air. Sambil menyelam, minum air, eh, sekalian mandi.
Pegunungan Verbec, angin pagi yang lembut serta langit biru menjadi penyemangat saya. Penyemangat yang sekaligus mengurangi rasa waswas. Maklum, hari itu saya dan teman-teman akan menyelam di gua. Ini pertama kalinya saya melakukan cave dive dan walaupun saat itu belum ada film Sanctum, fakta-fakta tentang bahaya cave dive masih ada diingatan saya.
Penyelaman dimulai, dengan dipimpin oleh instruktur selam saya, sajian dinding-dinding batu berwarna putih menjulang mulai menyapa. Saya teringat dengan Tebing Citatah yang sempat saya kunjungi saat menemani rekan-rekan Mapala UI memanjat. Mungkin karena sama-sama daerah karst, keduanya sangat mirip.
Sesekali saya juga melihat sisa-sisa pohon tumbang yang tergeletak di dasar danau. Sungguh, pengalaman baru yang menakjubkan. Maklum, biasanya yang dilihat ketika menyelam di laut “hanya” terumbu karang dan ikan yang beraneka bentuk dan warna. Tapi di danau ini saya seolah melihat ekosistem darat yang dipindahkan ke dalam air.
Beberapa menit kemudian saya mulai melihat celah di antara dinding-dinding tebing. Itu pintu masuk gua yang hanya bisa dilalui satu orang, tidak dapat bersama-sama. Saya ditunjuk untuk berada diurutan kedua untuk mencoba memasuki pintu gua tersebut. Degup jantung saya pun terasa semakin kencang. Pandangan terasa gelap dan saya mulai mencari-cari rekan-rekan saya yang lain. “Pintu yang hanya setengah meter itu bisa saja runtuh dan saya harus mencari jalan keluar lain”, kurang lebih begitulah pikiran yang terlintas saat itu.
Beruntung saya masih sempat menenangkan diri dan mengingat ucapan instruktur saya, “kepanikan hanya akan mengganggu kontrol daya apung kamu.” Huufh, saya pun mulai tenang, apalagi setelah rekan-rekan saya yang lain sudah berkumpul di dalam dan lampu-lampu senter mulai menerangi ruang gua yang tadi gelap gulita ini.
Di gua ini saya dan teman-teman yang lain harus dapat menjaga daya apung agar sedimen di dinding dan dasar goa tidak terlepas atau terangkat. Karena apabila hal tersebut terjadi, jarak pandang akan sangat terganggu. Yang mungkin akan terjadi berikutnya adalah munculnya kepanikan karena tidak dapat melihat apapun. Apalagi untuk kondisi gua bawah laut yang dibatasi dinding-dinding dan cahaya matahari yang minim.
Kami pun mulai menemukan permukaan air dari gua tersebut. Baru sejenak keluar dari dalam air, mata saya sudah terpesona oleh stalaktit (salah satu jenis ornamen gua) berwarna kehijauan. Adapula kelalawar-kelalawar, si penduduk asli gua ini. Di atas, kurang lebih sepuluh meter dasar gua terdapat lingkaran yang memeberikan jalan masuk cahaya. Ternyata lingkaran tersebut merupakan pintu masuk gua yang dapat ditempuh langsung dari darat.
Hanya Sempat Mengintip
Setelah dua hari berkutat di bagian barat daya Danau Matano, hari ketiga kami mulai melanjutkan penyelaman di bagian barat laut. Namun, tidak lagi menggunakan alat Scuba (self contained underwater breating aparatus), melainkan hanya snorkelingan. Cukup menggunakan masker dan fins, tanpa tabung oksigen.
Istilah “hanya” snorkelingan bukan berarti “hanya” dapat menikmati Danau Matano sekadarnya. Adanya tumbuhan-tumbuhan dari dasar danau yang menjulur ke permukaan memberikan sajian keindahan tersendiri layaknya sebuah taman. Walaupun tidak ada ikan-ikan serta terumbu-terumbu karang indah seperti di laut, Danau Matano masih dapat menyuguhkan rasa tenang, damai. Saya dan rekan-rekan pun asik bermain freediving dan berfoto-foto ria.
“Pulang”. Ah, seandainya saja tidak ada kata itu. Waktu tiga hari belumlah cukup untuk saya menikmati Danau Matano. Saya yakin masih banyak sisi keindahan, keunikan dan ketenangannya yang bisa saya nikmati. Benar-benar menikmati, bukan sekedar mengintip.
Tulisan: Hizkia D. Mandagie
Dokumentasi : Tim Selam Mapala UI