Mereka Memilih untuk Berjuang

Esai ini mendapat juara I dalam lomba menulis esai “Indonesiakan Kami” yang diselenggarakan oleh USAHID Jakarta.


Suatu hari, seorang pemuda terlibat pembicaraan serius dengan profesornya. Profesor itu menyarankan, setelah si anak muda lulus kuliah, lebih baik dia melamar untuk bekerja di pemerintahan. Si anak muda menolak dengan penuh rasa hormat.

“Anda telah mengatakan, dalam ruang lingkup yang kecil aku memiliki kemampuan untuk mencipta. Ya, aku ingin mencipta…Cita-citaku menjadi pembangun dari suatu bangsa”[1]

Di kemudian hari, pemuda yang bernama Soekarno ini benar-benar membuktikan ucapannya.

***

“Sampai dengan hari ini, banyak orang yang salah mengartikan Nasionalisme…”

(Pandji Pragiwaksono[2])

Saat membaca tesis Pandji Pragiwaksono bahwa selama ini kita salah dalam memahami nasionalisme, saya tercekat. Mungkinkah 240 juta orang ini mempunyai persepsi yang salah terhadap satu kata?

Ya, bisa jadi. Tak ada yang tak mungkin kan.

Lalu saya mulai mencari apa sebenarnya makna nasionalisme, dan setidaknya, beginilah makna nasionalisme menurut KBBI, kamus induk dalam bahasa Indonesia.

“Nasionalisme adalah paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri; sifat kenasionalan; kesadaran keanggotaan di suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu; semangat kebangsaan.”[3]

Ada kata kunci yang menarik di sana. Menurut KBBI, nasionalisme adalah paham untuk mencintai bangsa, juga sebuah upaya bersama-sama untuk mencapai kemakmuran bangsa. Kata kunci ini ternyata disebutkan juga oleh Pandji dalam blognya:

“Cinta Indonesia ditunjukkan lewat karya. Lewat apa yg kita lakukan UNTUK Indonesia…”

Karya. Itulah kata kuncinya. Rupanya, jika kita lihat, epik tentang nasionalisme adalah sederetan kisah tentang kumpulan orang biasa yang berusaha berkarya untuk Indonesia. Lahirnya bangsa Indonesia pun tak lepas dari karya anak muda Indonesia pada zamannya, seperti kisah yang penulis tuturkan di awal esai. “Jangan tanyakan apa yang negaramu bisa berikan untukmu,” ucap John F. Kennedy pada suatu ketika, “tapi tanyakan apa yang bisa kamu berikan untuk negaramu”. Mantra itu pun manjur. Dalam kepemimpinan Kennedy, dalam tempo beberapa tahun Amerika bisa menjejakkan kakinya  di bulan. Terlepas dari kontroversialnya berita itu, upaya bersama-sama berkarya untuk Amerika mendapat sebuah hadiah indah.

Pada masa kemerdekaan, karya-karya pemuda untuk Indonesia diterjemahkan sebagai upaya untuk memerdekakan Indonesia. Soekarno rela tidak bekerja sebagai ambtenaar[4] dan memilih menerjunkan diri dalam perjuangan kemerdekaan. Ia rela dipenjara di Banceuy, dibuang ke Ende, dan dituduh sebagai kolaborator Jepang. Namun, itu semua tidak ada artinya. Baginya, kemerdekaan Indonesia adalah harga mutlak. “Lebih dari satu panggilan jiwa..”, renung Soekarno muda di atas jembatan di Surabaya. “Bagiku, ia adalah satu agama..”[5]

Tan Malaka sama “gila”nya dengan Soekarno. Demi ambisinya untuk Indonesia Merdeka, ia memiliki 23 nama palsu karena diburu polisi rahasia Belanda, Inggris, Amerika, dan Jepang. Selama bertahun-tahun ia harus melarikan diri ke 11 negara berbeda dan menempuh perjalanan 89 ribu kilometer –dua kali jarak yang ditempuh Che Guevara di Amerika Latin. Di Belanda ia pernah menjadi calon anggota parlemen, di Jerman ia melamar menjadi legiun asing, di Rusia ia menghadiri Konferensi Komunis Internasional. Di Kanton ia menerbitkan majalah The Dawn. Di Hongkong bahkan ia harus meloncat ke laut dari kapal karena diburu polisi. Kisahnya yang seperti legenda itu, sayangnya, entah dengan alasan apa, dikubur dalam-dalam dalam sejarah Indonesia.[6]

Kini era menegangkan itu sudah berakhir. Indonesia sudah merdeka pada 17 Agustus 1945. Zaman pun berubah. Era kolonialisme asing di Indonesia sudah berakhir, berganti dengan era Facebook dan Twitter.

Kini adalah zamannya globalisasi. Saat batas-batas negara dihilangkan dan zaman internet berkecepatan tinggi ada di depan mata kita. Di tengah kegamangan banyak orang tentang makna nasionalisme di zaman ini, di tengah kritikan pedas tentang buruknya Indonesia, tetap ada orang-orang yang terus bekerja, berkarya, demi negerinya.

Saya bergetar ketika seorang Leonardo Kamilius, salah satu Mahasiswa Berprestasi UI pergi meninggalkan McKinsey untuk mendirikan “Koperasi Kasih Indonesia” di daerah Cilincing, Jakarta Utara. Saya berasal dari Cilincing dan untuk poin ini, saya merasa sangat malu. “Kita berjuang sama2 buat negara kita tercinta ini ya :)”, tutur Leon sederhana dalam sebuah komentar di note Facebook temannya.

Saykoji, Netral, dan sekelompok musisi lain menciptakan lagu yang berbasis nasionalisme. Pandji mem-positioning-kan dirinya sebagai nasionalis kaum muda. Di lain pihak, banyak blogger yang menulis tentang nasionalisme di blognya. Kaskus telah menjadi ladang subur rasa cinta kepada Indonesia bagi para netizen. UI mencanangkan K2N (Kuliah Kerja Nyata) untuk mengenalkan Indonesia kepada mahasiswanya. Anies Baswedan membentuk Indonesia Mengajar.

Tataplah lebih tajam, dan rupanya ibu pertiwi masih melahirkan pahlawan-pahlawan. Saya sangat bersyukur bisa mengenal sebagian dari orang-orang hebat itu. Mereka menginspirasi dan menggerakkan. Seringkali mereka adalah pemimpin di organisasinya yang mampu menggerakkan seluruh sumber daya, tetapi terkadang mereka adalah orang biasa yang mempunyai tekad luar biasa.

Mengeluh memang mudah dan bertindak konkrit memang sulit. Namun, di tengah banyak orang mencela Indonesia, ada banyak orang pula yang memilih untuk bergerak dan menggerakkan. Mereka semua memiliki satu kesamaan. Mereka mempunyai kesempatan untuk hidup nyaman untuk dirinya, bersama keluarganya, tetapi mereka memilih untuk berjuang. Mereka memilih peluh dan darah.

Maka, pada suatu sore pada saat hari keberangkatan 51 pengajar Indonesia Muda angkatan I, Anies Baswedan menulis,

“Bandara ini dinamai Soekarno-Hatta. Dua tokoh ini sesungguhnya memiliki peluang untuk meniti karier di bidangnya, hidup nyaman, dan sangat sejahtera untuk dirinya dan untuk keluarganya. Tapi mereka memilih untuk berjuang; pembuangan dan penjara bukan halangan. Mereka berjuang membebaskan bangsanya dari kolonialisme. Tanda pahala mereka kini langgeng menempel di setiap jiwa Indonesia.”

 

Catatan Kaki 


[1] Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia hal.84

[3] KBBI hal.776

[4] Pegawai Negeri Sipil (PNS). Asal-usul mengapa profesi PNS sangat diagungkan di masyarakat kita adalah karena pada zaman Belanda, PNS adalah salah satu jabatan prestisius untuk pribumi. Dan, Soekarno menolaknya.

[5] Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia hal.83

[6] Tan Malaka: Bapak Republik yang Terlupakan. Edisi Khusus TEMPO

 

Daftar Pustaka

TEMPO Edisi Khusus Hari Kemerdekaan, edisi 11-17 Agustus 2008: Tan Malaka: Bapak Republik yang Terlupakan.

Adams, Cindy. 2007. Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Penerbit Media Pressindo: Jakarta.

Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka: Jakarta.

http://www.pandji.com/makna-nasionalisme/

http://www.indonesiamengajar.org/index.php?m=page.berita&id=48&page=1

http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150181049083091

 

Leave a Comment