Mereka Yang Terjatuh Namun Tetap Memaksakan Diri Bersikap Positif

Apakah kamu pernah, merasa galau, sedih, atau lelah, pokoknya merasa jatuh dan butuh jeda di antara rutinitas kehidupan kampusmu, tetapi kamu tetap memaksakan diri untuk bersikap positif dengan teman-temanmu di saat itu?

Entah itu untuk memotivasi diri atau dorongan dari sekitar, kamu berusaha untuk tetap memiliki pikiran positif dengan harapan semuanya akan terselesaikan dan keadaan akan segera baik-baik saja.

Toxic positivity menjadi sebuah fenomena populer yang kerap dibicarakan oleh kaum milenial. Hal ini mengacu kepada suatu perilaku yang terjadi ketika seseorang secara terus menerus, mendorong  orang lain atau diri sendiri yang sedang tertimpa kemalangan untuk melihat sesuatu dari sisi baik, tanpa mempertimbangkan pengalaman yang dirasakan dan tanpa memberi kesempatan kepada orang lain untuk meluapkan perasaannya. Toxic positivity juga bisa terjadi pada diri sendiri, dengan selalu berkata positif ke dirinya sendiri yang tanpa disadari telah menjadi kebiasaan di masyarakat.

Contohnya adalah, ketika kita ada suatu masalah dengan orang tua karena perbedaan pendapat dan pilihan yang berujung pada debat, sehingga hubungan kamu dan orang tua merenggang, dari pada mencari solusi, pihak keluarga besar seperti kakek, nenek, tante, dan paman mu malah berkomentar “Orang tua kamu kan seperti itu karena dia sayang sama kamu, coba kamu pikir lagi dan lihat sisi baiknya deh!” padahal kita tidak sependapat karena sudah berbeda jaman, pendidikan, dan nilai-nilai yang kita anut.

Saya yakin kebanyakan pembaca artikel AnakUI.com ini setuju bahwa kesehatan mental merupakan hal yang penting, tapi sayangnya di Indonesia, masih banyak masyarakat yang mengesampingkan kesehatan mentalnya. Setiap ada orang yang mengaku depresi pasti seringkali di-cap sebagai orang yang lemah atau kurang iman, dari pada mengajak orang tersebut mengunjungi psikiater, orang-orang lebih sering menyuruh pergi ke ustad untuk di-ruqiah atau memperbanyak amal dan ibadah.

BACA JUGA: Hewan Peliharaan, Penyelamat Kesehatan Mentalmu Selama Menghadapi Beratnya Perkuliahan

Menurut data WHO, ada 800.000 orang pertahun yang meninggal karena bunuh diri, iya delapan ratus ribu, berarti rata-rata setiap 40 detik ada satu orang yang bunuh diri di dunia.

Masih dari WHO, Bunuh diri adalah fenomena global; Faktanya, 79% kasus bunuh diri terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah pada tahun 2016. Bunuh diri menyumbang 1,4% dari semua kematian di seluruh dunia, menjadikannya penyebab utama kematian ke-18 pada tahun 2016.

Pasti kalian pernah mengalami suatu titik terendah di dalam kehidupan kalian, dan ketika kita curhat mengenai masalah tersebut pada teman, mereka malah bilang:

“stay positive aja”,

“pasti banyak kok orang yang lebih susah dari lo”, atau

“sabar aja, pasti semuanya berlalu kok”

atau kalian mungkin pernah berada di posisi pemberi saran untuk temanmu agar selalu tetap positif.

Perasaan negatif yang muncul tidak selalu buruk, justru ketika kita berani jujur dengan diri sendiri bahwa kita benar merasa sedih, atau marah, kecewa hal itu akan membuat kita belajar cara merespon keadaan dan bantuan jenis apa yang yang kita butuhkan. Jangan sampai kita melakukan penolakan terhadap perasaan diri sendiri, purah-pura bahagia padahal sakit hati hanya akan membuat kita semakin tertekan dan masalah kita tidak akan selesai.

Lalu, bagaimana jika ada teman yang curhat?

Dengarkan dan simak baik-baik, jangan potong cerita temanmu dan dengarkanlah hingga dia selesai, jika ada pertanyaan simpan di akhir cerita. Bagaimana jika kita sendiri yang merasakan hal tersebut? It’s okay ketika kita merasa sedih, merah kecewa, atau merasa gagal, kita tidak perlu merasa bahwa hal tersebut adalah hal yang buruk, itu semua normal, toh, keadaan sering berjalan tidak sesuai dengan rencana bukan?

– Toxic Positivity

BACA JUGA: Foto-Foto Privatmu Tersebar? Ini Cara Menangani dan Mengatasinya!