Musnah Sudah

(cuma nyoba2 nyerpen. cerita ini hanya fiktif, kesamaan cerita, karakter, dan nama, hanyalah inspirasi belaka)

Satu babak baru akan segera kuhadapi. Ahh rasanya seperti mimpi. Itu namaku. Benar nama yang diberikan Bapakku secara buru-buru waktu pihak rumah sakit menanyakan segera setelah aku lahir. Ya, itu benar namaku. Tak kurang satu hurufpun.

“ wah, bener ada namamu tho? Yowis Koran itu buat hadiah ke kamu dari aku ya Nduk. Tapi ojo lali karo aku klo nanti wis  sukses yo.”

Kang Paijo, bahkan ikut bangga padaku. Memberikan Koran yang biasanya tak pernah dibeli Bapak, karena penghasilannya membuat Bapak memilih Untuk meminjam Koran temannya sehari setelah Koran itu terbit.

Sampai di rumah, Bapak masih menggarap sepetak sawah miliknya yang diwariskan sudah tak kurang dari tujuh generasi. Harta kami yang paling berharga. Sumber penghidupan kami sekeluarga. Satu-satunya. Ibu pun tampaknya masih di sawah. Maka aku melangkahkan kaki ke kamarku. Kembali kulihat nama itu. Namaku. Muncul di Koran nasional. Bersama ribuan nama lainnya yang lolos SNMPTN tahun ini. Aku. Di perguruan tinggi impianku. Yang kata orang perguruan tinggi terbaik di Indonesia. yang baru kulihat sekali ketika tak sengaja menonton TV tetanggaku. Penuh dengan pepohonan. Masjid yang besar. Dan pemandangan danau yang terlihat indah.

Ahh, air mata ini menetes. Air mata bahagia tentu saja. Terbayang segala jerih payah yang sudah kulakukan. Sejak melihat kampus itu. Sejak saat aku menginjak kelas 1 SMP. Maka aku bertekad untuk bisa mencapai kampus itu.

“Seperti mimpi Nduk, kalau kamu bisa masuk ke sana. Itu tempatnya orang-orang paling pandai di seluruh negeri. Tempatnya para pemimpin bangsa ini. Cikal bakal kampus itu, Stovia, itu tempat pejuang-pejuang muda kita dulu menggagas tentang kemerdekaan. Ndak bisa santai Nduk. Kamu harus benar-benar belajar kalo mau kuliah di sana. Tapi sing ikhlas. Kalo nanti ndak dapet ya wajar saja.”

Nasihat Ibu. Dan sejak itu, aku belajar dengan tekun. Tak kenal lelah, walau hanya bermodalkan lampu minyak tanah. Tak mau kenal siang atau malam. Hanya terus berupaya yang terbaik. Karena impian itu harus dikejar.

Impianku, masuk Universitas terbaik itu sudah ada di depan mataku. Teringat waduk di desaku yang bolak-balik jebol, walau sudah ditambal di sana sini. Ada harapan aku akan punya ilmu. Hingga kelak dapat kugunakan untuk membangun desaku.

Tiga jam kulalui untuk ke desa sebelah. Pendaftaran ulang melalui internet. Wuih hebat ya. Kukagumi namaku yang tiba-tiba memiliki password. Kumasukkan sederet huruf dan angka yang tak membentuk satu kata yang utuh..

Ahhh, apa ini? Kenapa deretan angka ini begitu besar? 25 juta, 7,5 juta per semester? Ada pilihan memang. Penuhkah? Menyicilkah? Atau ada satu sistem yang bisa dipilih. Aku bingung. Namun aku harus cepat memutuskan. Batasan akhir pendaftaran tak bisa menungguku membuang waktu. Bismillah. Kupilih untuk sistem yang katanya berkeadilan.

Mengumpulkan berkas, mengikuti ketentuan yang diberikan. Lewat internet, aku agak bingung. Bapakku bilang

“kamu coba ke sana saja Nduk, mana bisa kamu bertanya sama mesin kalo kamu bingung.”

Dan berangkatlah aku. Berbekal uang seadanya. Menumpang tetanggaku yang mau ke Jakarta. Sampai di kampus itu, di kampus yang selama ini hanya ada di dalam bayangnku. Kekagumanku memuncak. Jalur sepeda, bis khusus yang ber AC, bahkan ada rusa di dalam kandang yang sangat besar.

Soal bayaran, kuikuti semua prosedur yang ada. Dan aku terhenyak seketika. 1,5 juta rupiah. Masih angka yang terlalu besar untuk dipenuhi Bapakku untuk setiap 6 bulannya. Terlebih di muka tak kurang 10 juta harus kubayar. Tak lama waktu yang kupunya. Dari mana bisa kudapat uang sebanyak itu. Mekanisme banding. Masih ada harapan. Namun kenapa hanya dengan computer saya bicara. Padahal saya begitu dekat dengan kampus ini.

seorang kakak berwajah teduh sempat membantuku mengumpulkan berkas yang diperlukan.

“Semangat De, ga ada yang ga bisa masuk sini karena alasan biaya”

Sekelebat angin segar berhembus. Harapan baru. semangat baru. teringat senyuman Bapak yang lebar. senyuman yang jarang mampir di wajahnya yang keriput. dalam 5 tahun, sekali saja senyum itu merekah. dan aku, telah membuatnya bangga. telah menghadirkan senyuman itu. teringat tetes air mata Ibu. air mata bahagia. air mata bangga. Bapak, Ibu, masih ada harapan. kukan upayakan yang terbaik.

2 hari, 3 hari, 5 hari, dan belum terjawab. Selama itu pula aku tidur dan mandi di masjid megah kampus itu. Tak mungkin menyewa kamar. Untuk makan pun hanya cukup sehari sekali. Maka kupuasakan diriku. Kupanjatkan doa dan ibadah kepada Allah SWT. Selangkah lagi. Upaya dan doa semua kuoptimalkan.

Bapakku sudah kukabari.

“sudahlah Nak, kalau perlu Bapak bisa jual sawah kita.”

“jangan Pak. Sabarlah dulu. Aku masih menunggu hasil akhirnya”

Tak mungkin kubiarkan Bapak menjual sepetak sawah itu. Lagipula, tetap takkan cukup untuk biaya yang begitu besar. Ahh, Pasrahlah sudah. Apa lagi daya yang bisa kuperbuat.

Sebaris kalimat itu. Menyesakkan. Namun berisi kenyataan yang harus kuhadapi. Setelah berbagai upaya kulalui. Ternyata harapan itu harus musnah ditelan sebuah kalimat.

“kalau memang benar tak mampu, kerja aja dulu. Tahun depan, daftar lagi”

Lunglai kakiku melangkah. Dan harapan itu pergi begitu saja. Tubuh ini terasa ringan, fikirkupun melayang. Melayang pada hari-hari panjang yang melelahkan. Ditemani seberkas cahaya lampu minyak. Tak jarang belajar hingga subuh menjelang.

Pengorbanan Bapakku, yang bekerja keras untuk menyekolahkanku. Doa tulus Ibu yang setiap hari melimpah ruah untukku.

Ahh, memang hanya impian Bu. Apalah artinya kuliah untuk orang seperti kita. tak ada tempat Pak. Semua hanya ada di alam maya. Di alam mimpi. Tak pernah ada di alam nyata…

Dan harapan itu. Musnah tak berbekas. Hilang dan berpendar. Semakin  jauh, semakin nanar. Seiring lantunan kereta perlahan menjauhkan harapan itu. Hilang, gelap, ditelan malam. Malam yang hangat, namun suasana begitu dingin menggigit. Kering meninggalkan hati. Kosong dan hampa. Melepaskan semua impian yang telah lama digantungkan. Tak ada bintang. Bulan pun sabit saja. Tak ada setitikpun cahaya harapan. Hilang..musnah,,

setiap warga negara berhak atas pendidikan. pertanyaannya: warga negara yang mana. hff. rasanya tak rela di almamaterku memperlihatkan jurang kehancuran dunia pendidkan yang teramat nyata

1 thought on “Musnah Sudah”

  1. isinya bagus, realitasnya memang terjadi di kalangan mahasiswa UI . Tapi terlalu banyak metafora n majas personifikasi, dan kalimat puitis yang bertele2, jadinya kurang ngena.

    keep writing !

    Reply

Leave a Comment