Nasib Kepergian Menkeu (Kado Ulang Tahun dari Sri Mulyani)

Sri Mulyani oh Sri Mulyani… Pemimpin yang punya kharisma tersendiri bagi investor dan kalangan penggiat reformasi birokrasi bahkan pemimpin yang mampu mempengaruhi saham maupun nilai tukar rupiah. Nama yang menjadi primadona bagi perekonomian bangsa, akan meninggalkan Indonesia dan berkantor di Washington DC sebagai managing director di Bank Dunia, 1 Juni nanti.

Berita yang mendadak ini menyisakan bermacam ekspresi. Ekspresi pertama dimunculkan oleh kalangan yang suka dengan Sri Mulyani, luapan perasaan gembira dengan hati kecil terharu dan sedih ditinggalkannya. Hal ini disebabkan, sosok menteri ini salah satu pengusung reformasi dalam tubuh pemerintahan. Yang mampu merubah wajah birokrasi Indonesia.

Kalangan ini akan menampakkan ekspresi kesedihan mendalam jika keberangkatan Menteri ini ke Washington kelak terlaksana. Pasalnya jasa dan pengabdiannya yang tulus dan yang mampu memberikan daya dukung terhadap reformasi yang mereka lakukan telah mengukir dalam benak mereka.

Akan tetapi yang tidak suka dengan Sri Mulyani, terlihat dengan ekspresi wajah yang memerah menahan kejengkelan, kepenatan, dan emosi yang meluap-luap. Mereka memberlakukan mekanisme cegah dan tangkal (cekal) terhadap menteri ini sebelum masalah-masalah yang diakibatkannya benar-benar terselesaikan dan dipertanggungjawabkan (century gate dan gayus gate).

Kemenkeu dan Tantangan Besar

Pertanyaan pertama adalah bagaimana nasib Kementrian Keuangan (Kemenkeu) setelah ditinggal menterinya? Hal ini menjadi ajang pembuktian kepada publik bahwa mesin reformasi birokrasi Kemenkeu bisa bertahan tanpa sosok pemimpin yang kuat. Apakah aparat-aparatnya yang jujur, berani, dan bertanggung jawab tetap mau menjalankan aktivitas lurusnya tanpa sosok pemimpin yang selama ini menjadi tameng atas persoalan-persolan yang terjadi antar instansi.

Menjadi menarik jika yang terjadi sifat-sifat asli birokrasi yang “aneh” muncul kembali. Seolah-olah dengan mundurnya Sri Mulyani, belenggu kedisiplinan terlepas. Wajah asli birokrasi yang bersikap lamban dalam pelayanan, harga pelayanan yang tidak jelas, dan waktu yang tidak menentu dalam memberikan pelayanan akan tampak jika memang tidak lagi dipimpin oleh menteri sekuat Sri Mulyani.

Terdapat empat golongan yang akan muncul yang patut menjadi diskusi bersama, yaitu golongan perusak (black group); golongan abu-abu (opportunist group); golongan yang jujur, mampu bertahan, dan benar-benar menjalankan reformasi birokrasi (white group); dan golongan yang tak mampu bertahan (quit group).

Aparat-aparat yang masuk dalam black group dapat kembali menjalankan aksi-aksi sporadis mereka untuk melakukan kejahatan dalam tubuh administrasi di Kemenkeu. Diskresi-diskresi dalam pengambilan kebijakan dikeluarkan untuk menguntungkan diri mereka masing-masing. Mereka senang karena mendapatkan ruang untuk melakukannya dan tanpa pengawasan yang ketat dari atasannya.

Bahkan diperparah dengan adanya dukungan dari opportunist group, yang tidak memiliki pilihan dalam tubuh Kemenkeu. Mengikuti alur black group akan ikut merasakan keuntungan atau mengikuti perubahan maka akan terkena cacian, mundur salah maju juga salah.

White group menjadi pilihan ketika idealisme yang mereka miliki masih tertancap dalam sanubari untuk mempertahankan reformasi yang telah terbentuk sejak tahun 2005 (saat Sri Mulyani menjabat Menteri Keuangan). Biasanya orang-orang yang masuk dalam golongan ini adalah orang-orang yang percaya akan perubahan, rela berkorban demi tercapainya reformasi yang hakiki, dan komitmen terhadap perilaku yang lurus. Biasanya jumlah orang-orang yang masuk dalam group ini sedikit.

Tapi sejauh mana atau seberapa besar golongan yang sedikit ini bertahan jika tidak didukung dengan pemimpin yang kuat seperti Sri Mulyani? Jawabannya bisa jadi melebur ke dalam opportunist group atau quit group.

Quit group menjadi alternatif pilihan terakhir ketika tidak ada lagi pilihan memposisikan diri untuk terus bertahan dengan idealisme reformasi. Mereka tak kuasa melawan aksi-aksi sporadis yang dilakukan oleh black group dengan dukungan opportunist group. Bahkan tak kuasa menahan cacian ketika menjadi white group jika tidak didukung pemimpin yang mau melindungi mereka ketika terjadi masalah.

Nasib Reformasi Birokrasi?

Pertanyaan selanjutnya adalah apakah mungkin reformasi birokrasi masih relevan untuk diterapkan jika sepeda motor itu sudah ditinggal pergi oleh penunggang terbaik yang dimilikinya? Jawabannya bisa jadi masih relevan atau sama sekali tidak.

Relevan jika reformasi birokrasi yang diusung selama ini memang sudah terinternalisasi (menjadi kultur) dalam tubuh aparat-aparat birokrasi Indonesia. Bahwa mereka sadar dapat menjalankan reformasi yang diusung lembaganya karena tergerak dari dalam diri tanpa bayang-bayang sosok pemimpin. Mereka mau menjalankan walaupun dihalangi oleh resistensi secara masal atas reformasi yang mereka usung.

Tidak jalan sama sekali, jika aparat-aparat di instansi lain merasa senang dengan kepergian Sri Mulyani. Mereka merasa senang sekali ketika dapat menjarah lumbung pendapatan yang telah ditinggal empunnya. Mekanisme pengawasan antar instansi juga tidak berjalan karena satu sama lain saling “main mata”, pemerasan dalam tubuh birokrasi, dan isu penyerataan pendapatan menjadi prediksi yang akan terjadi.

Terakhir, reformasi birokrasi dalam pemerintahan Indonesia (setelah ditinggal Menteri sekuat Sri Mulyani) akan terasa jalan di tempat jika posisi strategis Kemenkeu ini hanya dibagi-bagi layaknya makanan (pembagian kue kekuasaan). Kemampuan Presiden dalam menetapkan seseorang dalam jabatan publik harus didasarkan banyak aspek khususnya orang-orang yang mau menjalankan reformasi administrasi. Semoga kebijakan yang dikeluarkan oleh SBY dalam memilih pengganti Sri Mulyani tidak terkooptasi kepentingan-kepentingan segelintir orang ataupun  sekelompok orang.

Jakarta, 6/5/2010

Senoagung KP’19

4 thoughts on “Nasib Kepergian Menkeu (Kado Ulang Tahun dari Sri Mulyani)”

  1. Sebenarnya yang dimaksud reformasi yang telah diusung oleh ibu sri mulyani dalam hal keuangan itu apa sih yang cukup menonjol bukannya yang dimaksud itu lebih kepada menaikkan gaji pegawai departemen keuangan semata, maklum orang awam tahunya sedikit ada yang mau memberi penjelasan lebih?

    Reply
  2. Wahhh hebat-hebat tuh opini linknya.. hmmm, sebenarnya gak susah dalam memahami reformasi birokrasi… yaaa klo nanti anda-anda masuk dalam dunia kerja dalam ranah pemerintahan, mau ekonomi, sosial, psikologi, dll pasti akan berkutat dengan dunia birokrasi… bahkan red type dari birokrasi yang kita kenal saat ini adalah buruk, lama, dan gak jelas biaya dan waktunya…

    klo merujuk dari pertanyaan yang diajukan oleh sdr.bagyo apa sih reformasi yang disung oleh bu sri mulyani yaa dia menggunakan sistem kontrak kinerja yang harus dilakukan oleh pegaawainya, so pegawai itu gak ada yang gak punya capaian kinerja yang dialukannya klo tunjangan itu mengikuti apa yang dicapainya dengan kinerja yang dilakukannya.. selain itu, bu sri juga melakukan perbaikan tunjangan karena mencegah terjadinya mal administrasi yang setiapkali datang seperti setan… logika dasarnya gini aje deh, klo kita disuruh menyimpan uang dengan jumlah Rp. 1 milyar tiap harinya sedangkan gaji kita untuk menyimpan uang yang begitu besar hanya Rp. 1.000 maka akan timbul niat jahat kita untuk mencatutnya, nah mudah-mudahan dengan perbaikan tunjangan niat jahat dari penyimpan uang ini akan diperbaiki.

    selama ini, pilot project reformasi administrsasi itu dilakukan di 4 tempat, yaitu depkeu, kpk, bpk dan menpan… cuman yang lain belum sama sekali melakukan… karena mereka juga gak jelas ukutrannya kinerjannya justru merengek ke depkeu mau dikasih berapa tunjangan reformasi birkorasi… so itu lah penyakit dari birokrasi kita… ya mungkin sorotan di kemenkeu saat ini tajam tapi pernahkah kita melihat refomr di kementrian lain, ya seolah-olah hanya slogan dan berbuntut mati suri……

    Reply
  3. Kata bahasa rakyat kecil kalau pintar itu jangan buat sendiri tetapi berbagilah kepada yang lain.
    Tapi memang betul bila yang dimaksud reformasi birokrasi pun pada dasarnya tiada belum terasa bila hanya dijalankan pada beberapa instansi saja karena aparatur birokrasi itu sejatinya lebih luas dari departemen keuangan, bisa saja dengan reformasi birokrasi di departemen keuangan mengangkat adanya perbaikan ekonomi negara kita pada indikator makro namun dengan adanya kenyataan kehidupan rakyat yang bergeliat lemah tiap harinya tentu dapat dimengerti bila percontohan reformasi birokrasi tersebut tidak terasa nyata di lapangan dan akhirnya cenderung menganggap buruk siapapun pejabat yang ada.
    Kembali ini orang awam mau tanya kalau biasa ada iklan mengenai pajak biasanya ada penyebutan awasi pelaksanaannya, sebagai orang awam kiranya bagaimana itu mengawasi jalannya penyaluran pajak semisalnya untuk kegiatan pembangunan adakah yang mau berbagi.

    Reply

Leave a Comment