SEMINAR KEBANGKITAN INTELEKTUAL MUDA
“Refleksi Peran Mahasiswa Pasca 11 Tahun Reformasi”
Senin-Selasa 5-6 Oktober 2009 di Auditorium Gedung IX FIB UI
Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM FIB UI 2009
Hidup Mahasiswa!!! Hidup Pemuda!! Hidup Rakyat Indonesia!!!
“Harapan Kembalinya Eksistensi Gerakan Mahasiswa dan Pemuda yang Sudah Semakin Tergerus Zaman”
SUMPAH PEMUDA INDONESIA
Pertama :
– Kami Putra dan Putri Indonesia Mengaku Bertumpah Darah yang Satu, Tanah Air Indonesia
Kedua :
– Kami Putra dan Putri Indonesia, Mengaku Berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia
Ketiga :
– Kami Putra dan Putri Indonesia Menjunjung Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia
SUMPAH MAHASISWA INDONESIA
Pertama :
– Kami mahasiswa Indonesia bersumpah, bertanah air satu, tanah air tanpa penindasan
Kedua :
– Kami mahasiswa Indonesia bersumpah, berbangsa satu, bangsa yang gandrung akan keadilan
Ketiga:
– Kami mahasiswa Indonesia bersumpah, berbahasa satu, bahasa tanpa kebohongan
Hidup Mahasiswa! Hidup Pemuda! Hidup Rakyat Indonesia!
Pada tanggal 5-6 Oktober 2009 Sejarawan Anhar Gonggong, Pengamat Politik Boni Hargens, Pakar Psikologi Politik Dicky Pelupessy, serta tiga aktivis lintas generasi, yakni Hariman Siregar (Aktivis Malari ’74, Ketua DM UI ’73-’74), Sri Bintang Pamungkas (Aktivis ‘98), dan Ahmad Fathul Bari (Ketua BEM UI ’06-’07) hadir sebagai pembicara serta Farid Septian (Kepala Departemen Polhum BEM UI 09) dan Muhammad Indra (Ketua Senat Mahasiswa FIB UI 05-06) dalam sebuah seminar yang digelar oleh Departemen Kastrat BEM FIB UI. Seminar Kebangkitan Intelektual Muda yang bertajuk “Refleksi Peran Mahasiswa Pasca 11 Tahun Reformasi” itu sukses mengumpulkan tulisan pemateri serta tulisan lain berkaitan dengan aksi-aksi gerakan mahasiswa Indonesia yang akan dikemas dalam bentuk e-book.
Sebuah kajian yang sangat menarik mengingat pada kenyataanya gerakan mahasiswa Indonesia memang semakin terdegradasi oleh zaman. Setelah bangkit pada historical block mereka tahun 1998, sekarang gerakan mahasiswa Indonesia seakan mati suri. Seperti dikatakan oleh Ahmad Fathul Bari, kondisi gerakan mahasiswa Indonesia saat ini sangat relevan dengan istilah Joel Rocamora (tokoh gerakan Filipina), yakni seperti amoeba yang hanya dapat dilihat dari mikroskop. Padahal gerakan mahasiswa adalah komponen pemecah kebuntuan dan kekacauan kehidupan bangsa yang telah terbukti menjadi pendobrak dan pembaharu peradaban di Indonesia.
Sejarawan Anhar Gonggong menghimbau mahasiswa untuk tetap menjaga idealisme. ”Mahasiswa jangan mau dibeli kekuasaan. Lebih baik jadi miskin, daripada harus menggadaikan idealisme, ujar Anhar Gonggong saat berbicara pada Seminar Kebangkitan Intelektual Muda: Refleksi Peran Mahasiswa Pasca 11 Tahun Reformasi, di Auditorium Gedung IX Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI Depok, Senin (5/10).
Anhar menjelaskan selama ini penyakit mahasiswa setelah melakukan pergerakan adalah masuk dalam lingkaran kekuasaan. Dengan masuk kekuasaan, lanjutnya, mahasiswa lalu menjadi bagian dan otomatis tunduk pada kekuasaan. Walaupun kekuasaan tersebut cenderung korup, terangnya. Dia mengakui, mahasiswa mempunyai peran besar dalam menegakkan Indonesia dan tidak penah absen dalam setiap perubahan yang terjadi. Mulai dari sumpah pemuda hingga kemerdekaan, dan pascakemerdekaan. “Ini fakta, bahkan dalam batas tertentu mahasiswa menjadi faktor penentu,” ujarnya. Dari itu, dia menganjurkan mahasiswa saat ini harus melakukan koreksi diri. Setiap mahasiswa, terangnya, harus memiliki landasan pemikiran dalam melakukan pergerakan. Jadi bergerak sambil baca buku. Dia juga menghimbau agar mahasiswa tetap kritis, mengontrol terhadap kebijakan pemerintah, dan jangan mudah percaya terhadap politisi. Menurutnya, kebanyakan politisi saat ini hanya menjual kesengsaraan rakyat, bukan mengatasinya. ”Ketika terjadi tragedi jebolnya tanggul Situ Gintung, banyak politisi dan partai politik yang terjun membantu”. ”Tapi, saat gempa Jawa Barat dan Sumatera Barat mendera belum lama ini, tak terlihat politisi sibuk turut membantu. Situ Gintung sebelum Pemilu, sementara gempa Jabar dan Sumbar setelah Pemilu, Politisi membantu kalau ada kepentingan.” tukasnya.
Pada saat yang sama, Pengamat Politik Boni Hargens mengungkapkan saat ini merupakan momentum yang pas bagi mahasiswa untuk bangkit kembali. Dia menggambarkan, perpolitikan Indonesia saat ini cenderung satu warna dengan pemerintah. Tidak ada yang menjadi oposisi. Boni Hargens menjelaskan pemerintahan yang memiliki satu warna akan mengarah kepada otoriter. ”Otomatis, kritik dari dalam sistem akan macet”. ”Mahasiswa bisa memainkan peran tersebut dalam mengevaluasi pemerintah. Tentu gerakan mahasiswa sebatas moral force, karena tujuannya juga moral” tuturnya. Akan tetapi, ia menilai, gerakan mahasiswa saat ini tidak memiliki landasan gerakan yang sama. Jadi mudah terjadi polarisasi antargerakan. Mahasiswa juga, tandasnya, sedang mengalami krisis nilai dan identitas. ”Banyak mahasiswa yang berafiliasi kepada partai politik”, ucap dosen Ilmu Politik UI ini. Untuk itu, dia mengharapkan mahasiswa harus melakukan redenisi tentang gerakan mahasiswa. Tanpa itu, jelasnya, mahasiswa akan menjadi bagian dari penjahat kecil yang tinggal menunggu waktu untuk berubah menjadi penjahat besar.
Anhar Gonggong menjelaskan, gerakan Boedi Utomo 1908, Gerakan Pemuda 1928, Angkatan ’66, Malari 1974, dan yang paling fenomenal tahun ’98 adalah serangkaian kontribusi moral dan pemikiran mahasiswa dalam konstelasi kehidupan bernegara. ”Mereka rela meninggalkan bangku kuliah, menempatkan diri sebagai oposisi terhadap birokrat kampus dan pemerintahan saat itu.”
Dia menambahkan, ”Soetan Sjahrir, Arief Rahman Hakim, Soe Hok Gie, dan yang lainnya, adalah segelintir tokoh pemuda dan mahasiswa yang mampu membuktikan kepekaan dan kepedulian mereka terhadap kondisi kehidupan bangsa ini. Mereka ke kampus tidak untuk menjadikan sertifikat lulus sebagai orientasi studi. Tidak menjadikan gelar sarjana, doktor, ataupun profesor sebagai tujuan utama pendidikan tinggi mereka. Bahkan mereka lebih memfokuskan bagaimana agar rakyat terbebas dari belenggu feodalisme dan kolonialisme. Bagaimana agar rakyat dapat menikmati apa yang seharusnya mereka dapatkan dari bumi nusantara mereka dan tidak mengalami penindasan”. Sejarah juga mencatat bahwa kelahiran dan pembentukan negara ini melibatkan peran besar pemuda dan mahasiswa. Bagaimana pada zaman pergerakan nasional, organisasi Boedi Utomo menjadi pelopor gerakan mahasiswa. Lalu kemudian dilanjutkan dengan lahirnya berbagai macam organisasi pemuda dan mahasiswa lainnya. Perhimpunan Indonesia di Belanda, atau PNI yang mulai memasuki ranah perpolitikan, adalah pionir-pionir dari pergerakan mahasiswa dan pergerakan kepemudaan.
Pada era-era setelah kemerdekaan pun gerakan mahasiswa masih tetap eksis mengawal jalannya pemerintahan. Tahun 1948 lahir Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang mulai berhimpitan kepentingan dengan PKI. Disusul lahirnya berbagai organisasi mahasiswa lain seperti GMNI, PMKRI, CGMI (Central Gerakan Mahasiswa Indonesia, salah satu basis PKI) yang masing-masing mulai menampakkan eksistensi dan kepentingan masing-masing.
Pada akhir-akhir era pemerintahan Soekarno, semua elemen gerakan mahasiswa bahkan bersatu dalam sebuah organisasi baru bernama KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia). KAMI jugalah yang menjadi motor penggerak gerakan ’66 yang meneriakkan tiga tuntutan yang sangat terkenal, yakni Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat). Salah satu isinya adalah pembubaran PKI dan aksi ini mendapat dukungan dari militer. Hal ini disebabkan saat itu dalam internal militer terpecah menjadi dua kubu, yakni pro Soekarno dimana Soekarno semakin lengket dengan PKI dengan militer yang anti komunis sehingga mendukung aksi mahasiswa dan pemuda angkatan 1966.
Tahun-tahun berikutnya di awal pemerintahan Soeharto, mahasiswa kembali menunjukkan keprihatinan mereka atas kondisi perekonomian bangsa. Penanaman Modal Asing (PMA) sangat berlebihan sehingga investor asing sangat mendominasi perekonomian bangsa. Puncaknya adalah dengan peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari 1974 (Malari), ketika Hariman Siregar sebagai ketua Dewan Mahasiswa UI memimpin aksi pengepungan di Bandara Halim Perdana Kusuma. Peristiwa itu sebagai bentuk penyambutan kedatangan PM Jepang Tanaka Kakukei yang berkunjung pada 14-17 Januari ke Indonesia. Terlepas dari dimanfaatkannya aksi mahasiswa saat itu untuk membuat kekacauan (Pasar Senen hangus terbakar dan dijarah), aksi saat itu terbilang fenomenal karena beberapa kurun waktu setelah itu IGGI yang menjadi penyebab menumpuknya modal asing di Indonesia pun dibubarkan meskipun diganti dengan CGI.
”Tahun-tahun berikutnya pemerintahan Soeharto semakin menekan pergerakan mahasiswa dengan membubarkan dan menyatakan KAMI sebagai organisasi terlarang. Mahasiswa juga dikekang dalam kampus dengan pemberlakuan NKK/BKK yang melarang demo mahasiswa dan melarang adanya perkumpulan lebih dari lima orang. Tetapi kondisi rakyat yang terpuruk di bawah tirani militeristik memaksa mahasiswa turun ke jalan lagi. Puncaknya adalah tahun 1998 ketika puluhan ribu mahasiswa dan rakyat menduduki gedung MPR dan memaksa Soeharto mundur dari jabatannya. Sejarah mencatat peristiwa fenomenal ini sebagai titik balik pergerakan mahasiswa yang telah stagnan dan ini juga menandai babak baru perubahan kehidupan bernegara dalam era reformasi yang kini telah dilalui lebih dari satu dekade”, tukas Sri Bintang Pamungkas.
Realitas Gerakan Mahasiswa Indonesia Saat ini
Setelah melalui serangkaian perjalanan yang sangat membanggakan, saat ini sepertinya gerakan mahasiswa kembali memasuki masa stagnansi. ”Secara psikologis hal ini bisa disebabkan karena mahasiswa melihat “mungkin” tidak ada hal yang perlu dipersoalkan saat ini” ujar Dicky Pelupessy. ”Tapi kalau ditelaah lebih dalam, kenyataan di lapangan tidaklah demikian. Bahkan sangat jelas kekacauan dan kemungkinan akan kembalinya rezim otoriter baru dalam pemerintahan”tambahnya. Lebih lanjut Boni Hargens mengatakan saat ini ”soft authoritarianism” dengan sangat baik telah dilancarkan oleh pemerintah dengan atau tanpa disadari oleh mereka yang saat ini mengaku sebagai pemuda dan mahasiswa.
Berikut kutipan analisis dari beberapa pakar dan mantan aktivis lintas generasi:
Pertama, Disorientasi. Dalam era reformasi dimana kebebasan telah diraih, mahasiswa menjadi bingung hal apalagi yang patut mereka perjuangkan. Infrastruktur pemerintahan dalam mekanisme kerakyatan telah terbangun (dengan segelintir catatan) sehingga mahasiswa kehilangan orientasi perjuangannya (Ahmad Fathul Bari).
Kedua, Jati diri. Sebagian besar mahasiswa saat ini begitu ternyenyak dalam zona nyaman kehidupan mereka. Tak mau lagi mengurusi kesulitan yang dialami bangsa ini. Fokus pada studi, individualisme yang tinggi serta pemahaman akan jati diri mahasiswa yang semakin melemah. Terlebih dengan tuntutan keadaan yang sebenarnya menuntut mereka yang mengaku mahasiswa untuk menunjukkan jati diri mereka sebagai patriot bangsa.
Ketiga, segmentasi gerakan. Gerakan mahasiswa saat ini juga sangat kehilangan independensinya. Banyak ORMAWA yang kini didanai oleh partai politik tertentu dan menjadi basis pengkaderan sekaligus basis kekuatan demi mencapai kepentingan partai politik yang ada. Terlebih lagi ekslusifitas gerakan seakan membuat mahasiswa saat ini bergerak sendiri-sendiri. ”Upaya penyatuan terlihat kurang signifikan karena dalam setiap aksinya masih saja ada upaya penonjolan almamater masing-masing kampus, emblem-emblem, simbol-simbol internal kampus, serta atribut lainnya. Hal ini berbeda dengan kenyataan dahulu dimana mahasiswa menyatukan semua elemen gerakan mereka dan meninggalkan ekslusifitas dan penonjolan almamater mereka sendiri..” ujar mantan ketua Dewan Mahasiswa UI 1973-1974 Hariman Siregar.
Keempat, Kemajuan Teknologi. Era sekarang sudah mulai dan terus berkembang teknologi yang kian memanjakan manusia. Hal ini secara tidak langsung berdampak pada generasi muda sekarang. Banyak kasus-kasus kriminal yang terjadi akibat adanya teknologi dan globalisasi ini walaupun tidak bisa kita mungkiri banyak manfaatnya juga. Seperti yang dikatakan oleh Hariman Siregar, ”Zaman sekarang sudah ada Facebook, Twitter, dan lain-lain, itu bisa kalian manfaatkan untuk penyebaran isu, diskusi, pengangkatan opini publik,. Tapi, tidak bisa disamakan dengan zaman dahulu, baru cuma ada telegraph, dll, itu yang membedakan alur gerakan perjuangan sekarang.”
Kelima, Perubahan Sistem. Pada era sekarang, sistem perkuliahan dibatasi menjadi hanya 6 tahun. Hal ini berpengaruh besar terhadap ”spirit” Gerakan mahasiswa sekarang. Seperti yang diungkapkan oleh Sri Bintang Pamungkas, ”Dulu enggak ada itu yang namanya sistem sks, semua sama. Kita mau kuliah berapa tahun, itu terserah. Oleh karena itu, terbuka lebar kesempatan kita untuk mengawal Pemerintahan pada saat itu. Tidak seperti sekarang, mahasiswa dituntut hanya untuk belajar, masalah negara dan bangsa, itu tidak soal, yang penting Lulus dan dapat kerja. Kontribusi mahasiswa tidak ada, sekarang. Kalau kalian (mahasiswa) tidak bergerak, maka kami yang akan bergerak!”
Era Kebangkitan Intelektual Muda Indonesia
Dan sekarang disaat kondisi kenegaraan mengindikasikan kebobrokan. Parlemen yang masih bermental lama dan terancam tanpa oposisi, pemerintahan yang tanpa disadari mulai menjalankan soft authoritarianism, serta lembaga pemberantas korupsi (KPK) yang dikebiri dan dikriminalisasi, sangat mengancam kehidupan bernegara beberapa tahun ke depan. Tetapi dimanakah mahasiswa Indonesia? Dimanakah para pemuda??
Mereka mungkin masih terlelap tidur. Kenyang dengan segala kenyamanan hidup yang mereka nikmati tanpa mempedulikan tetangga mereka yang terhimpit nasib. Mereka mungkin masih belum mendengar teriakan-teriakan rakyat yang menangis pilu. Memanggil patriot-patriot lama yang dulu mereka jadikan pahlawan. Mereka yang oleh rakyat dulu dijadikan pelindung!! Seru Sri Bintang Pamungkas, dengan nada berapi-api.
Bahkan Sri Bintang Pamungkas dan Hariman Siregar mempertanyakan kepada mereka yang saat ini masih mengaku mahasiswa. Dimanakah mereka? Dimanakah mereka dengan kondisi bangsa yang belum juga membaik bahkan di era reformasi sekarang ini? Apakah reformasi itu hanyalah sebuah euforia? Hanyalah sebuah kenikmatan sesaat agar mereka bisa eksis di depan publik lalu menjadi sebuah bahan pembicaraan banyak orang?? ujar Hariman Siregar.
Sebuah hal yang sekali lagi memang patut dipertanyakan. Apakah mahasiswa masih belum sadar dengan kondisi saat ini? Atau mungkin sadar tetapi hanya diam? Atau mereka mau bergerak tapi mereka terbelenggu? Lagi-lagi terbelenggu dengan segala kenikmatan hidup, fasilitas mewah yang menyibukkan mereka dari memikirkan saudara-saudara mereka sendiri.
KEMBALILAH … BANGKITLAH … SEGERALAH BERGERAK,
WAHAI ARSITEK PERUBAHAN !!
Hidup Mahasiswa! Hidup Pemuda! Hidup Rakyat Indonesia!