Sudah 6 tahun sejak 2008 menjadi negara importer minyak dan selama itu Indoneia berkali-kali menelan pil pahit karenanya. Indonesia sudah bukan lagi juragan minyak yang selalu dibangga-banggakan orang sehingga bisa dengan leluasa melakukan subsidi kepada masyarakat. Dalam kondisi terjepit seperti ini, kebijakan yang sangat tidak popular selalu muncul, yaitu menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang sudah dipastikan akan mengundang protes
Selama Indonesia masih kecanduan minyak, jangan harap bisa menghindari situasi seperti ini, kecuali pemerintah berani merangkul secara konisten sumber energi terbarukan untuk menggantikan posisi minyak di Indonesia
Ditemui di kantornya di FMIPA UI, DR. A. Harsono Soepardjo, M.Eng, tenaga ahli Energi Baru dan Terbarukan Pengkajian Energi Universitas Indonesia (PEUI) mengakatan bahwa sebenarnya energi terbarukan itu sudah didengungkan sejak tahun 1980-an, tapi selalu timbul tenggelam karena pemerintah selama ini masih terlena dengan energi fosil yang dinilai relatif lebih mudah, cepat dan menguntungkan, serta banyak kepentingan politik bermain dalam kebijakan energi terbarukan ini. “Kalau gak mau timbul tenggelam ya harus ada kemauan kuat dari pemerintah, harus ada kemauan politik. Antara kata dan perbuatan itu harus konsekuen,” tandas pria yang akrab disapa Harsono ini.
Kebijakan Energi Terbarukan dari Masa ke Masa
Dosen Fisika Energi ini menuturkan bahwa sebenarnya pemerintah mulai merasakan krisis energi sejak pemerintahan Gus Dur. Saat itu devisa Negara kian menurun dan sumber energi semakin terbatas sehingga tercetuslah konsep energi terbarukan. Namun, masih berupa pemikiran saja. Hal yang sama terulang kembali saat pemerintahan SBY dimana harga minyak naik. Itu sebabnya diberlakukan Peraturan Presiden nomor 5 tahun 2006 tentang kebijakan energi nasional sampai dengan tahun 2025 Indonesia. Didalamnya tertera penggunaan energi terbarukan seperti biofuel menjadi lebih dari 5%, panas bumi menjadi lebih dari 5%, dan energi terbarukan lain, khususnya seperti biomassa, nuklir, tenaga air kala kecil, tenaga surya, dan tenaga angin menjadi lebih dari 5%.
Meski sudah ada kebijakan tertulis, pemerintah belum menunjukkan keajegan juga. Dalam penerapannya tidak berjalan dengan dengan baik. “Dulu, ada pengembangan bioenergi dari biji jarak pagar (Jartropha Curcas) yang digaungkan pemerintah pusat sejak 2006. Tapi ketika sudah dipanen dan siap diolah menjadi minyak, pemerintah malah gak mau beli, padahal kebijakan tersebut dari pemerintah, ya akhirnya terbengkalai,” tambah Harono. Sedangkan menurut Edi Indrajaya, selaku Kepala Bidang ESDM Dina Pekerjaan Umum DIY, dimuat di situs berita Solopos Senin 19/3/2012, menegaskan bahwa di tingkat produksi, petani tidak memahami penggunaan teknologi pengolah biji jarak lantaran tak ada pendampingan dari pemerintah. Sementara pemerintah daerah tidak dilibatkan secara intensif. Sehingga proyek Jarak secara nasional gagal total.
Pemanfaatan Energi Terbarukan Saat Ini
Pendayagunaan energi terbarukan kini sudah berhasil dilakukan di beberapa titik, terutama di daerah-daerah terpencil. Namun kerapkali kurang adanya pengawasan dari pemerintah, sedangkan mayarakat tidak diberikan pengetahuan secara intensif bagaimana seluk beluk dari penggunaan, perawatan, serta perbaikannya. Menurut Harsono, selama ini pengawaannya hanya bersifat sementara pada saat proyek sedang berlangsung. Jika sudah selesai, semuanya diserahkan kepada masyarakat, sehingga tak heran jika implementasi dari energi terbarukan ini selalu berhenti di tengah jalan dan terus mengalami pasang surut.
Padahal, jika ditilik lebih mendalam, potensi yang dimiliki Indonesia untuk energi terbarukan cukup besar, baik yang berasal dari energi Matahari yang memiliki potensi optimal sebesar 4.8 KWh/m2 atau setara dengan 112.000 GWp, sumber energi angin yang memiliki potensi optimal sebesar 1800 kW telah diuji pada ketinggian 50 m di daerah NTT, sumber energi panas bumi yang memiliki potensi sekitar 27500 MWe atau sekitar 30 -40% potensi panas bumi dunia, sumber energi biomassa yang memiliki potensi mencapai 49,81 GW per desember 2006, sumber energi mikrohidro yang memiliki potensi sekitar 7500 MW, maupun sumber energi biogass yang memiliki potensi daya mencapai 1.000 mega watt (MW) per juli 2011. Apabila semuanya dioptimalkan, Indonesia bisa terhindar dari permasalahan klasik saat ini.
Kebijakan Baru, Harapan Baru
Di tahun 2010 dibuat Peraturan Presiden No. 24 tahun 2010 dan berkat Perpres itu pula lah akhirnya dibentuk Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral yang diharapkan dapat secara serius menanggapi isu krisis energi fosil dan mengembangkan energi terbarukan. “Sekarang sudah ada dirjen energi baru terbarukan. Jadi ya mulai digalakkan lagi isu energi terbarukan, walaupun belum maksimal. Ya, kita berharap saja semoga bisa konsekuen soalnya dari konsepnya sudah cukup bagus,” ungkap Harsono.