Praxis Nilai Perempuan dan Laki-laki di Universitas dan Masyarakat (Anti-Feminisme)

Akhir-akhir ini banyak sekali perempuan yang menyuarakan bahwa mereka korban dari diskriminasi gender, entah itu di masyarakat maupun di sebuah lingkungan akademik yang disebut dengan Universitas. Awalnya para perempuan tersebut muncul secara individual, namun akhir-akhir ini mereka mulai bereksistensi secara kelompok. Walaupun mulai bereksistensi secara berkelompok, tetapi mereka tetap muncul secara komunal dan terpisah-pisah.

Kelompok-kelompok ini mulai melegitimasi diri mereka sendiri sebagai kelompok yang memperjuangkan hak-hak perempuan. Mereka menganggap bahwa masyarakat dengan segala nilai-nilai sosialnya telah mengabaikan serta mendiskreditkan harkat martabat perempuan. Ruang-ruang publik mulai ricuh, serta kelompok-kelompok ini mulai mengajukan berbagai tuntutan seperti perombakan nilai-nilai sosial yang dianggap mendiskriminasi perempuan dari laki-laki.

Saya pun sempat menghadiri sebuah seminar mengenai feminisme tersebut yang diadakan di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI. Suasana gedung tempat seminar tersebut sangat ramai, baik mahasiswa laki-laki maupun perempuan seperti tertarik dengan diskusi feminis tersebut. Guru-guru besar filsafat yang menganggap dirinya seorang feminis mulai memberikan ceramah yang berapi-api, mengenai diskriminasi terhadap perempuan, bagaimana nilai-nilai sosial yang membelenggu perempuan selalu merupakan tanda bahwa dari awal sejarah dunia, kaum laki-laki selalu menguasai perempuan dalam segala bidang.

Guru besar tersebut pun mengajukan argumen yang agak membuat para hadirin seminar tersenyum-senyum. Saya menyebut Guru besar tersebut dengan inisial U :

U: Nilai-nilai sosial yang terdapat di masyarakat mulai dari awalnya sejarah sesungguhnya adalah nilai-nilai yang mendiskriminasi kaum perempuan.

U: Contohnya adalah misalnya kaum lelaki membuka bajunya di ruang publik maka tidak akan ada yang mempermasalahkannya, tetapi jika itu dilakukan oleh kaum perempuan maka seluruh entitas masyarakat akan menghujat si perempuan, saya tidak mengerti mengapa hal ini terjadi, tetapi yang saya pastikan bahwa nilai-nilai masyarakat kita yang berlaku telah mendiskriminasi kaum perempuan. Jika anda tidak percaya, coba saja, mungkin disini, di ruang ini ada seorang perempuan yang secara sukarela membuka bajunya?

Penonton: (tawa penonton bergumuruh)

U: Saya yakin pasti tidak ada, seandainya ada pun pasti secara langsung akan ditegur, begitulah diskriminasi yang terjadi di masyarakat kita.

Memang jika kita menyimak argumen diatas maka argumen tersebut sangat menggelikan, bukan sekedar karena ada sisi humoris yang dilontarkan si Guru besar tetapi karena Guru besar tersebut tidak memahami dinamika materialisme historis yang membentuk nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat.

Materialisme historis dicetuskan oleh Filosof Jerman Karl Marx, yang mengatakan bahwa kesadaran masyarakat akan selalu ditentukan oleh hubungan produksi ekonomi material yang berlaku. Atau spritualitas masyarakat entah itu nilai-nilai sosial, ideologi, filsafat, institusi politik akan selalu di determinasi oleh basis material masyarakat.

Karl Marx mengajukan contoh untuk teori materialisme historisnya dengan menunjuk keadaan Eropa pada saat masih feodalisme. Mengapa di Eropa ketika masyarakatnya masih feodal, terdapat nilai-nilai sosial yang mengharuskan rakyat taat terhadap raja, serta terdapat nilai sosial yang menganggap bahwa raja adalah sosok adi duniawi. Menurut Marx nilai-nilai sosial tersebut di sebabkan oleh basis material masyarakat eropa yang memang juga feodalistik, artinya nilai-nilai itu tercetus dan masuk ke kesadaran masyarakat dikarenakan basis material ekonomi produksinya adalah feodalisme, nilai-nilai itu sengaja dicetuskan, supaya raja tetap dapat mempertahankan hubungan produksi material yang feodalisitik.

Jadi yang mau dikatakn Marx adalah suatu kelas yang menguasai material maka dengan sendirinya spritual pun akan dikuasi kelas tersebut. Marx juga menunjukkan ketika hubungan produksi material di Eropa mengalami transisi dari feodalisme ke kapitalisme maka dengan sendirinya bangunan atas yaitu nilai-nilai sosial, ideologi, institusi juga mengalami perubahan. Dan hal ini dibuktikan secara gemilang bahwa dalam transisi tersebut yang semula nilai-nilai sosialnya mengagungkan raja (feodalisme) ternyata berubah menjadi nilai-nilai sosial egaliter (kapitalisme) yang manganggap setiap orang setara. Jadi intinya nilai-nilai sosial atau bagunan atas itu di determinasi oleh basis material.

Pertanyaannya mengapa nilai-nilai sosial kita (yang terkesan mendiskrimanasi perempuan), ketika perempuan membuka baju di ruang publik (seperti yang dicontohkan diatas) dianggap tidak sesuai nilai sosial sementara lelaki membuka baju maka tidak ada yang mempermasalahkannya.  Jika kita memahaminya menggunakan metode materialisme historis maka tidak ada yang aneh dengan nilai sosial tersebut.

Hal tersebut karena tentu basis material antara perempuan dan laki-laki  berbeda. Basis material yang saya maksud adalah tubuh perempuan dan laki-laki karena nilai sosialnya berkaitan dengan tubuh dua gender tersebut.

Pada tubuh laki-laki hanya terdapat satu organ sensitif yaitu penis (yang terdapat di bawah perut). Sementara perempuan memilki dua organ sensitif yaitu payudara (yang terdapat di atas perut) dan vagina  (yang terdapat di bawah perut). Karena basis materialnya seperti itu maka nilai-nilai sosial mengenai tubuh antara perempuan dan laki-laki pun berbeda, itu sebabnya mengapa laki-laki membuka baju di ruang publik tidak dipermasalahkan sementara perempuan di permasalahkan hal itu karena basis material yang memang berbeda.

Lalu kita pasti bertanya, bukankah laki-laki juga mempunyai payudara, sama seperti perempuan? Hal itu berarti basis material antara perempuan dan laki-laki seharusnya sama bukan? Yang bisa saya katakan disini ada semacam kesadaran seksual yang saya sebut dengan Sexuelles Bewusstsein.

Feminisme (www.kompasiana.com)

Apa itu Sexuelles Bewusstsein? Sexuelles Bewusstsein adalah keadaan dimana lawan jenis ketika melihat suatu organ lawan jenis lainnya ia akan mulai melihat lawan jenisnya sebagai objek seksual dan bukan subjek lagi. Dalam hal ini Sexuelles Bewusstsein merupakan insting bawaan masing-masing gender.

Artinya kendati lelaki juga mempunyai payudara tetapi dia tidak akan memunculkan Sexuelles Bewusstsein bagi lawan jenisnya sehingga bisa dikatakan basis material antara lelaki dan perempuan tetap berbeda dan hal ini juga yang menyebabkan nilai-nilai sosial yang berlaku antara perempuan dan lelaki berbeda. Lalu apakah itu diskriminasi ? Tentu tidak, basis material tersebut tidak dapat diubah, dan merupakan kodrat, jadi itu bukanlah sebuah diskriminasi. Sama halnya dari kita ketika lahir ada yang berwajah tampan, jelek, dan biasa saja. Semua itu suatu kodrat dan tanda keadilan. Jadi nilai sosial tersebut tidaklah mendiskriminasi perempuan, jika ada yang beranggapan itu adalah diskriminasi maka itu adalah subjektivitas semata.

Referensi

http://www.historicalmaterialism.org/

https://plato.stanford.edu/entries/marx/

http://routledgesoc.com/category/profile-tags/historical-materialism

https://www.forbes.com/sites/kathycaprino/2017/03/08/what-is-feminism-and-why-do-so-many-women-and-men-hate-it

Sumber gambar header: reuters

Leave a Comment