Jalan Pegangsaan Timur No. 56, tepatnya di rumah Sang Proklamator Ir. Soekarno, 66 tahun silam Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya dari tangan penjajah asing. Bertepatan dengan itu artinya Indonesia memasuki fase kehidupan berbangsa yang baru, fase kehidupan berbangsa dimana arah dan tujuan bangsa ditentukan lewat tangan anak bangsanya sendiri
Terlepas dari cengkraman asing tidak serta merta membuat kondisi rakyat membaik. Berbagai permasalahan susul menyusul menghantam bayi republik ini, mulai dari perekonomian yang tak kunjung membaik, pemberontakan di berbagai daerah, hingga intrik politik. Namun, Indonesia yang kita cintai ini masik tetap kokoh berdiri hingga saat ini. Menjadi salah satu bagian dari lingkungan global, juga ikut melaksanakan ketertiban dunia, sebagaimana ide luhur para founding fathers republik.
Soekarno pernah berkata bahwa kemerdekaan sejatinya hanyalah jembatan emas yang mesti dilalui Indonesia. Kemerdekaan bukanlah suatu tujuan utama namun hanyalah alat. Layaknya jembatan, ketika jembatan itu telah dilalui maka diharapkan sampailah kita pada tujuan akhir: masyarakat adil, damai sentosa, sejahtera jiwa dan raga, makmur, tak kurang suatu apapun. Sebuah nilai folosifis yang teramat luhur. Namun, ketika kita melihat situasi Indonesia dewasa ini, tidak lain adalah sebuah antiklimaks. Berbagai macam persoalan bangsa, mulai dari persoalan ekonomi, sosial, politik, hingga budaya membuat kita bertanya tanya: mengapa hal ini bisa terjadi? mengapa setelah 66 tahun merdeka, rentan waktu yang tidak sebentar, cita-cita luhur para founding fathers, bukannya makin mendekat, namun seperti makin jauh saja?
Dari segi ekonomi, Indonesia telah masuk perangkap liberalisme dan kapitalisme yang pada akhirnya tidak mensejahterakan rakyat. Memang, ditengah kondisi global saat ini tidak bisa dipungkiri bahwa liberalisasi tidak bisa di elakkan. Berbagai macam trade agreement menjadi pola perdagangan di dunia. Terakhir, Indonesia bersama ASEAN mencapai kesepakatan dengan Cina untuk membuat trade agreement (ACFTA). Agreement ini membuat pasar Indonesia dibanjiri produk-produk Cina yang murah karena tidak adanya bea masuk. Memang, tidak selamanya agreement seperti ini adalah merugikan, kesiapan suatu negara adalah kuncinya. Cina adalah contoh nyata bagaimana kesiapan suatu negara membuat pola pasar bebas menjadi menguntungkan bagi dirinya. Berbeda dengan Indonesia, ketidaksiapan menghadapi pasar bebas menjadi bumerang, ditambah perilaku korup segelintir elit-elit yang diuntungkan dalam pasar bebas ini
Konsep berdikari yang diusung Bung Karno telah ditinggalkan, dimuseumkan oleh para elit-elit liberal. Tengoklah sektor migas (minyak dan gas) yang harusnya menjadi sektor yang dapat digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat karena memang SDA nya yang sangat melimpah.
Indonesia adalah penghasil timah nomor 1, penghasil batu bara ke 3 di dunia, dan penghasil nomor 4 tembaga di dunia. Indonesia juga adalah penghasil 80% minyak di Asia Tenggara dan menjadi penghasil 35% Gas Alam Cair di dunia. Fantastis! Namun semua itu tidak ada artnya ketika praktek-praktek liberalisasi terjadi. Banyak ahli mengatakan bahkan Indonesia adalah negara paling liberal bahkan diantara negara liberal sekalipun seperti Amerika Serikat. Tengoklah UU 25/2007 atau yang dikenal dengan Undang Undang Penanaman Modal Asing (PMA), dengan UU ini, asing dapat menguasai sumber daya alam nasional hingga 150 tahun dan menguasai sahamnya hingga 95 persen!! Jangan heran ketika konflik berkepanjangan antara warga tradisional Papua dengan Freeport berlangsung terus menerus dan tak berujung, toh mereka tidak merasakan keuntungan dari perusahaan tambang emas terbesar di dunia yang mengeruk alam mereka tersebut. Dan kemerdekaan memang bukanlah milik saudara kita di sana.
Menurut data British Petroleum Statistical Review, produksi batubara Indonesia sebesar 340 juta ton per tahun, dan sekitar 240 juta tonnya diekspor ke luar negeri (terutama India dan China). Di sektor migas, penguasaan asing pun masih sangat dominan. Dari total 225 blok migas, 120 blok dioperasikan perusahaan asing, hanya 28 blok yang dioperasikan perusahaan nasional, dan ada 77 blok dioperasikan perusahaan gabungan asing dan lokal. Saat ini porsi nasional hanya 25 persen, sementara 75 persen dikuasai asing. Inikah wajah kemerdekaan yang kita inginkan??? Negara yang memiliki segala kekayaan alam yang melimpah namun tidak mampu untuk mensejahterakan rakyat karena sumber daya alamnya dikuasai asing.
Negara subur makmur inipun nyatanya tidak mampu memenuhi kebutuhan perut para rakyatnya. Indonesia adalah importir beras tiap tahunnya, juga gula, daging sapi, susu, bahkan garam. Garam, ya, kita adalah pengimpor garam, padahal Indonesia adalah negara yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia! Selain itu, memang budaya instan dan tidak ingin ribet membuat Indonesia sering mengambil kebijakan jalan pintas: impor. Padahal, jika ditelisik lebih mendalam, impor ini bisa saja ditekan dengan cara optimalisasi produksi dalam negeri dan perbaikan dalam segala bidang yang mendukung jalannya produksi.
Masalah kemiskinan juga adalah masalah klasik yang tak kunjung terpecahkan. Berbagai indeks prestasi ekonomi makro tidak juga dirasakan rakyat miskin secara langsung. Ya, negara ini sangat gandrung akan prestasi-prestasi makro, entah itu bidang ekonomi ataupun bidang yang lainnya. Padahal, capaian-capaian makro tidaklah memiliki dampak langsung dengan perut rakyat. Pertumbuhan ekonomi makro hanyalah menguntungkan segelintir orang yang memiliki kelebihan modal (kapital). Selain itu, manipulasi angka-angka kemiskinan telah menjadi rahasia bersama yang dilakukan demi sebuah pencitraan internasional. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 31,5 juta penduduk. Padahal, jumlah ini berdasarkan standar yang sangat rendah, yaitu 7000/hari atau 210000/bulan. Artinya orang yang memiliki penghasilan 7100 telah dianggap mampu oleh republik ini.
Di satu sisi orang-orang yang melebihi kelebihan modal susul menyusul mengumpulkan uang, sisi lain kita dapat dengan mudahnya melihat kemiskinan yang menggerogoti perikehidupan rakyat. Ketimpangan sosial sudah begitu menganga dan siap meledak sewaktu-waktu.
Apakah situasi perpolitikan pasca 66 tahun Indonesia merdeka juga telah membaik? Dengan gamblang bisa kita katakan: tidak. Pasca orde baru sejatinya kita hanyalah memasuki fase demokrasi semu. Demokrasi liberal dimana setiap orang yang memiliki uanglah yang dapat memiliki kedudukan dan jabatan. Biaya kampanye yang sangat besar tidak membuat seseorang enggan untuk menjadi pejabat. Keserakahan akan kekuasaan telah mengalahkan semuanya, alhasil 17 Gubernur dari 33 Provinsi yang ada telah menjadi tersangka kasus korupsi. Terlihat jelas motivasi mereka menjadi pejabat bukanlah untuk berkontribusi untuk masyarakatnya, namun untuk kepentingan materi dan kehormatan.
Pemilu yang mencirikan negara demokratis memang telah rutin dilaksanakan tiap 5 tahun sekali. Pemilu yang diharapkan merepresentasikan suara rakyat nyatanya telah dimanipulasi sedemikian rupa oleh segelintir elit untuk mempertahankan status quo. Pencerdasan politik yang seharusnya dilakukan partai politik pun tidak pernah dilaksanakan. Kepentingan parpol disini hanyalah bagaimana rakyat memilih partainya dalam pemilu, selebihnya tidak. Akhirnya, politik uanglah yang berbicara.
Keluaran-keluaran yang dihasilkan dari pemilu seperti ini pastinya tidaklah berkualitas. Mereka yang duduk dalam kekuasaan dari pemilu macam ini sama sekali tidak merepresentasikan amanat penderitaan rakyat. Berbagai macam kebobrokan mereka pertontonkan, layaknya dagelan politik, ada yang berperan sebagai tokoh antagonis, ada juga yang menjadi sok pahlawan namun pada akhirnya kecele ketika berhadapan dengan uang.
Praktek korupsi yang dilakukan para elit di rezim ini telah dilakukan secara terang-terangan dan sistematis. Jika praktek korupsi semasa Suharto dilakukan oleh lingkungan Cendana dan kroni-kroninya, rezim ini dapat dikatakan lebih serakah dalam mengeruk uang rakyat. Terlebih ketika otonomi daerah dilakukan, maka budaya korupsi pun merambah hingga tingkat daerah. Tengok kasus Nazaruddin, berita terakhir menyebutkan Nazaruddin terlibat 31 kasus korusi dengan total uang 6 triliun! Kasus ini diindikasikan dapat menyeret elit elit negara dan membongkar pola kelam korupsi di Indonesia, tentu hal ini dapat terjadi jika adanya keseriusan lembaga terkait, juga Presiden yang memang berkoar akan menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi.
Harapan Itu Masih Ada
Berbagai macam permasalahan bangsa memang belum mampu terselesaikan bahkan makin menumpuk dari waktu ke waktu. Namun, jangan menyerah! Harapan itu masih ada, harapan yang ditanamkan para pendiri bangsa kepada pemuda. Sejarah perubahan adalah sejarah pemuda, begitu juga yang terjadi saat ini. Ketika rezim ini nampaknya akan mewariskan orde paling baru yang penuh dengan kebusukan dan dagelan-dagelan politik, apakah kita mau menerimanya begitu saja?
Kita harus sadar suatu saat nanti kitalah yang akan mengurus republik plus segala kebobrokan-kebobrokan di dalamnya. Pesimis bukanlah pilihan, selama matahari masih bersinar menghangatkan bumi maka selama itu pula masih ada secercah harapan. Momentum kemerdekaan adalah saat yang tepat bagi kita, pemuda Indonesia, menggelorakan kembali semangat-semangat militansi, menggapai ide-ide luhur para pendiri bangsa, bekerja keras, mengisi kemerdekaan dengan hal-hal yang bermanfaat. Tidak lain demi satu tujuan: melewati jembatan emas Republik Indonesia, mencapai tujuan utama kemerdekaan seperti yang termaktub dalam UUD 1945.
Merdeka!!!