Adalah dari kawasan Sumberjaya, Lampung, balada ini dimulai. Jauh sebelum hutan negara jamrud ini digasak oleh bolduzer dan peralatan mekanik yang serba metalik, Haji Konbar dibantu orang-orang suku Semendau dan Ogan sudah mulai membuka pepohonan liar hutan hujan tropis yang menghijau di ujung Bukit Barisan yang melintasi Sumatera ini. Keinginan mereka cuman satu hal : mendirikan basis untuk mendukung kebutuhan logistik bagi perjuangan kemerdekaan. Singkat kata, tahun 1950, kawasan ini mulai berbenah diri dan menunjuk Abu Bakar Shidiq, yang masih menantu Haji Konbar, sebagai kepala kampung. Bahkan, pada tahun 1969, melalui Surat Keputusan Gubernur, kawasan ini diakui sebagai desa definitif dengan nama Desa Dwikora.
Namun, apa daya, semuanya berujung tragis. Di bawah rezim pemerintahan Orde Baru, pada tahun 1994, desa yang semula didirikan untuk menyokong berdirinya negara ini dibongkar paksa oleh negara itu sendiri karena dinyatakan berlokasi di dalam area hutan lindung ( disunting dari buku Kehutanan Multi Pihak oleh E. Linda Yuliani dkk. [2006] )
Di lain sisi, berlokasi di Desa Belo Laut, Bangka, warga ramai-ramai berdemo ke dewan perwakilan setempat atas pelarangan pembukaan hutan produksi untuk ditanami dengat karet dan sawit ( Bangka Pos, 27 Maret 2009 )
Tak bisa dipungkiri memang. Masalah tenurial atau hak atas kepemilikan tanah ini hanyalah satu dari banyak balada hutan negeri, problematika klasik yang masih saja harus kita wariskan pada generasi selanjutnya. Rekam jejak pengelolaan hutan kita telah dinodai dengan genosida suara-suara masyarakat lokal yang menggantungkan hidupnya pada kekayaan yang disediakan alam ini atau dengan protes rakyat pinggiran hutan yang anarkis karena merasa berhak untuk ikut mengelola sumberdaya hutan. Apalagi dengan minimnya pengetahuan tentang lisensi pengusahaan hutan, tidak adanya “kekuasaan” untuk beraspirasi langsung pada kebijakan yang melekat pada masyarakat lokal, dan dipanas-panasi dengan politik merkantilisme institusi kehutanan yang memonopoli kebijakan berpotensi membuat aksi “rebut-rebutan” yang makin menghabisi hutan kita yang sudah sekarat ini mungkin saja terus berlanjut.
Sayangnya, plot elegi ini masih jauh dari usai. Seiring dengan pemberlakuan sistem desentralisasi, mulai terjadi konflik horinzontal berupa tarik ulur kewenangan eksploitasi sumber daya hutan antara pemerintah pusat dan daerah di sepanjang 1999-2002. Kontes “adu kuat” ini, jelas, makin mempertajam konflik. Bahkan, seakan-akan semua kekacauan itu masih belum cukup , sementara para pembuat kebijakan bersitegang berebut porsi kekuasaan, keadaan malah diperburuk oleh pencaplokan kawasan hutan dengan maraknya aktivitas ilegal logging dan pembakaran hutan.
Mau tau hasilnya ? Menurut Menteri Kehutanan yang dilansir dari BBC Indonesia tanggal 9 Juni 2010, dari luas total hutan sebesar 130 juta hektar, hanya 43 juta hektar yang masuk dalam kategori hutan perawan , dengan kecepatan pengrusakan 1,08 juta hektar per tahun. Ringkasnya, dalam 3 detik, hutan di Indonesia yang hancur adalah seluas dua kali lapangan sepak bola ! Jika melihat fakta ini, sangat masuk akal jika Indonesia menempati peringkat ke-2 dari sepuluh negara, dengan laju kerusakan tertinggi dunia, berdasarkan pantauan dari State of the World’s Forests, FAO (Food and Agricultural Organization) pada tahun 2007.
Eksklusivisme kepemilikan hutan ?
Satu motif yang dapat ditarik dari aksi “rebut-rebutan” ini : duit. Pemerintah yang mengejar pertumbuhan ekonomi makro melalui pengelolaan hutan, dan rakyat yang mengais-ngais hutan untuk makan. Sementara, nasib hutan yang diperebutkan selalu saja terinjak-injak di bawah aksi rebut-rebutan tersebut.
Selagi kita duduk di sini, bersama-sama minum kopi pahit yang kita buat sendiri ini, sepertinya kita belum bisa merasa aman.
Apakah kita bisa mengira bahwa pekerjaan rumah yang mutlak dipikirkan hanya sampai disana ? Kelihatannya tidak. Tampaknya kita sudah terlalu sibuk mematut-matut atas jerawat sendiri di muka cermin hingga lupa diri bahwa cermin itu sendiri ternyata bukan hanya milik kita. Memasuki abad 21, isu globalisasi mengintervensi dengan aspek baru. Di tengah aksi “rebut-rebutan” hutan antar sesama kita, Indonesia dituntut oleh dunia untuk menjaga kelestarian hutan sebagai bagian integral dari entitas paru-paru dunia.
Diawali dengan sosialisasi program REDD (Reducing Emission from Deforestation and Degradation ) di negara-negara dengan tutupan hutan hujan tropis terbesar di dunia, termasuk Indonesia, berupa upaya manajemen hutan dalam rangka pencegahan dan atau degradasi kuantitas tutupan hutan dan stok karbon, pada akhir Mei ini, Indonesia menandatangani LOI ( Letter of Intent ) dengan kerajaan Norwegia mengenai moratorium hutan atau penundaan alih fungsi hutan primer dan lahan gambut dalam jangka waktu beberapa tahun yang belum bisa dipastikan berapa lama ,bergantung pada perpu yang masih digodok oleh pemerintah.
Intervensi dunia internasional ini, dengan kebijakan moratorium sebagai klimaks, mengharuskan kita untuk mulai bertanya pada diri sendiri :
Apakah hutan-hutan yang kita perebutkan selama ini masih eksklusif hanya milik kita ?
Boleh jadi, ini semua seharusnya kita jadikan peringatan atas arogansi klaim dan tingkah kekanak-kanakan kita dalam mengeksploitasi dan mengambil laba secara serampangan dari hutan.
Kepemilikan hutan yang dalam beberapa aspek lebih universal pada saat ini adalah pil pahit sekaligus obat yang mau tidak mau harus tetap kita telan. Pahit karena fakta ini sedikit banyaknya akan mengganggu sektor ekonomi makro dan ekonomi kerakyatan yang berbasis kehutanan.
Namun, bagaimana mungkin hal ini bisa menjadi obat ?
Jawabannya mungkin terdengar idealis walaupun, jelas, tak ada pilihan lain : introspeksi diri.
Campur tangan negara lain atas hutan yang kita miliki bersama ini harus kita jadikan momentum untuk introspeksi dan sadar bahwa hutan yang secara administratif memang berada di wilayah negara kita ini, sebenarnya merupakan harta yang dimiliki oleh dunia secara ekologis dan sudah tiba saatnya kita menghentikan pertengkaran antar sesama bangsa demi kepentingan pribadi masing-masing dan duduk bersama mencari kesepahaman dalam mengelola hutan secara adil dan arif dengan menghormati dunia internasional dan alam.
Introspeksi yang dinyatakan Elfian Effendi dalam bukunya Jangan Menunggu Kapal Pecah : Salah Urus Hutan, Otonomi Daerah, dan Desentralisasi Fiskal ( 2001 ) : hutan adalah milik publik, diatur berdasarkan preferensi publik, dan pemerintah adalah institusi publik yang bekerja untuk memaksimalkan kesejahteraan publik.
Tentu saja dengan menjunjung tinggi asas universalitas fungsi hutan secara ekologis yang mempengaruhi bumi sebagai suatu integritas geografis. Selama ini kita telah bersuka ria di atas kekayaan tanah air berupa hasil rimba yang tinggal ambil, berselisih paham atas siapa yang paling berhak berkuasa. Namun, kerap lupa bahwa sebagai tanggung jawab pada dunia, kita harus menjaga hutan kita. Tidak lupa juga untuk berterima kasih pada alam yang telah memberi kita makan, pada hutan yang telah memberi kita penghasilan.
Namun, sebelum itu, ada baiknya jika kita menelaah lagi, apa sebenarnya yang salah pada diri kita, prinsip fundamental yang secara tidak sadar telah menggerogoti pikiran dan hutan kita.
Risalah Herbert Marcuse : Masyarakat Satu Dimensi
Di dalam bukunya One Dimensional-Man, Herbert Marcuse, yang merupakan salah seorang filsuf Jerman-Yahudi berpengaruh di dunia memberikan pandangannya mengenai masyarakat satu dimensi yang mendominasi komunitas global saat ini.
Herbert Marcuse menggambarkan bahwa masyarakat industri ,yang telah terlebih dahulu berkembang, telah hampir selesai bertransformasi menjadi masyarakat satu dimensi, yang berpendapat bahwa segalanya bisa dipandang dan dihargai sejauh dapat dikuasai, digunakan, diperalat, dimanipulasi dan ditangani. Instrumentalisasi menjadi semacam kata kunci dalam pandangan teknologis. Manusia menciptakan, memanipulasi dan memperalat benda-benda, alam serta mesin-mesin, untuk memudahkan hidupnya. Di lain pihak, persaingan yang terjadi antar manusia itu sendiri tak urung juga bisa membuat posisi moralitas seringkali terjepit dalam situasi ambivalen (antara bermoral dan tidak bermoral).
Kelihatannya, potret ramalan Marcuse inilah yang menjadi akar dari dilema kita saat ini, dimana segalanya hanya memiliki nilai jika dipandang dapat dimanipulasi dan diperalat hanya untuk kepentingan pribadi masing-masing. Kondisi tersebut diperparah dengan kompetisi untuk bertahan hidup yang semakin berat. Hasrat tak tertahankan untuk makan membuat moral menjadi hal yang bisa diletakkan paling belakang dalam pertimbangan-pertimbangan.
Menyadari hal ini, sudah sepantasnyalah kita untuk memulai rekonsiliasi pemikiran kita. Bahwa alam, termasuk hutan, bukanlah sesuatu yang bisa seenaknya diperlakukan semena-mena.
Perilaku destruktif dan eksploitatif yang selama ini kita pakai jelas harus ditinggalkan, diganti dengan sikap arif dan bijak dalam rangka mengais rezki yang halal dan bermoral.
Hutan, adalah anugerah titipan Tuhan untuk kita. Untuk menyelamatkannya, kita harus memperlakukannya dengan memposisikan diri kita benar-benar sebagai manusia. Bukan hewan yang asal makan, bukan juga robot yang mutlak terprogram. Bahwa kita adalah manusia, yang memiliki intuisi, nalar, dan moral, adalah sesuatu yang patut kita hargai dan pantas untuk disyukuri, salah satunya dengan jalan arif memperlakukan hutan.