Revolusi: bisakah?*

*tulisan ini tidak berdasarkan teori dari buku apapun. Segala kalimat yang tertera di bawah ini bersumber pada pemikiran penulis yang tentunya berasal dari pengalaman-pengalaman, entah itu membaca, mendengarkan, melihat, berdiskusi, dll.

Permasalahan negeri ini semakin hari semakin menumpuk dan terlihat tak berujung.  Pemuda, khususnya mahasiswa dalam menanggapi hal ini terbagi dalam dua kelompok besar. Kelompok pertama adalah kelompok moderat, kelompok garis tengah yang menginginkan adanya perbaikan-perbaikan tanpa adanya perubahan mendasar. Kelompok kedua, kelompok yang menginginkan adanya perubahan mendasar, dalam konteks ini bisa diartikan sebagai revolusi. Ada pertanyaan mendasar yang menyeruak ketika ide tentang revolusi ini muncul: mungkinkah revolusi itu dilakukan?

Indonesia dewasa ini tak ubahnya negara (nyaris) gagal. Berbagai macam kondisi kebangsaan semakin memprihatinkan ditengah konstelasi perpolitikan global. Banyak pengamat menyimpulkan, kondisi kekinian Indonesia terjadi karena satu hal: kepemimpinan nasional yang lemah. Selain itu, banyak aktivis baik dari kalangan mahasiswa maupun rakyat pada umumnya menganggap selain karena faktor kepemimpinan yang lemah, sistem yang bobrok-pun ikut memberikan kontribusi besar. Kondisi seperti ini dikhawatirkan jika terus dibiarkan tanpa pergerakan berarti akan semakin membuat Indonesia menuju jurang kehancuran. Berlatar belakang itulah muncul ide revolusioner: ganti rezim-zanti sistem.

Berkaca pada sejarah, Indonesia sejatinya pernah melakukan revolusi gilang gumilang. Sebut saja revolusi kemerdekaan, puncak revolusi ini adalah ketika Sukarno secara gagah perkasa berpidato proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur. Riuh rendah bergemuruh rakyat Indonesia menyambut kemerdekaan, semangat pemuda bergelora menyambutnya. Secara lebih terperinci, revolusi ini (terbebasnya Indonesia dari penjajahan asing) terjadi karena beberapa hal. Dari segi kondisi global saat itu, dunia yang telah terlepas dari PD II ketika Jepang akhirnya kalah, memang sangat memungkinkan untuk terjadinya revolusi negara-negara terjajah. Negara-negara yang tadinya terjajah susul menyusul memproklamirkan kemerdekannya. Sedangkan, dari kondisi internal sendiri, revolusi terjadi karena pemuda pada saat itu memiliki bargaining yang sangat tinggi terhadap kaum tua. Peristiwa Rengasdengklok menjadi bukti. Golongan tua berhasil didesak oleh Sukarni cs. untuk segera memproklamirkan kemerdekaan. Pasca proklamasi, golongan muda juga lah yang mengambil banyak peran, mereka menyebarkan berita proklamasi ke segala penjuru nusantara.

Revolusi kedua terjadi hingga 1950 dengan pertempuran Surabaya dan Bung Tomo sebagai ikonnya. Saat itupun pemudalah yang mengambil peran lebih banyak di lingkungan grassroot. Mereka menumpahkan harta, keringat, hingga darah demi satu ide: Indonesia benar-benar terlepas dari cengkraman asing.

Yang bisa dipelajari dari kedua revolusi tersebut adalah: kekuatan pemuda yang menjadi penggerak dan kondisi masyarakat yang memang menginginkan adanya perubahan mendasar. Ketika kita melihat kondisi pemuda, khususnya mahasiswa dewasa ini, muncul pertanyaan apakah pemuda mampu untuk menjadi penggerak dan memiliki bargaining yang sama dengan kedua revolusi tersebut? Diakui memang ide-ide revolusioner masih tumbuh dikalangan pemuda saat ini. Namun apakah mereka mampu untuk menjadi penggerak dalam melakukan revolusi? sedangkan kenyamanan sudah sangat mereka miliki dengan fasilitas yang ada, suatu hal yang sama sekali tidak didapatkan para pemuda terdahulu. Inipun berhubungan dengan hal yang kedua, apakah memang kondisi kemasyarakatan menginginkan adanya suatu revolusi? jika masyarakat memang mengingikan perubahan tentunya pemuda sebagai penggerak akan memiliki pekerjaan lebih ringan. Untuk hal yang ini saya amat menyangsikan. Kondisi masyarakat saat ini sudah berbeda jauh dengan kondisi terdahulu. Meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa berjuta rakyat masih berada di bawah garis kemiskinan, namun bukan suatu kebohongan pula jika orang mapan (kaya) juga bertebaran di negeri ini. Data yang ada menyebutkan banyak orang Indonesia yang menempati orang terkaya di-Asia/Dunia. Orang-orang mapan ini adalah batu karang besar yang resisten terhadap perubahan.

Jika kita melihat revolusi-revolusi yang pernah terjadi, pemimpin yang digulingkan adalah seorang pemimpin diktator yang dibenci rakyatnya. Sebutlah revolusi Perancis, apakah revolusi akan terjadi jika sang Louis tidak melakukan otoriterisme? Tentu tidak. Revolusi Amerika pun tidak jauh berbeda. Revolusi menurut saya akan terjadi ketika pemimpin tertinggi melakukan suatu kesalahan nyata yang dapat dilihat langsung oleh rakyat yang tidak terpelajar sekalipun.

Sebutlah syarat-syarat untuk melakukan revolusi telah terpenuhi, lantas, bagaimana teknis untuk melakukannya? Sedangkan seperti yang sudah saya katakan diawal, pemuda sekarang tidak memiliki bargaining sekuat dahulu. Aksi massa yang sekarang cenderung anarkis (akibat media) tidak akan dapat menarik simpati rakyat banyak, sedangkan syarat untuk berrevolusi adalah gerakan yang dilakukan harus mendapat dukungan rakyat banyak. Selain itu, ketidakjelasan masa transisi saat revolusi malahan akan membuat kekacauan yang lebih besar. Masa transisi akan rawan oleh kooptasi pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan dari sebuah revolusi. Saat itu, sayapun tidak yakin penggerak revolusi akan bertahan saat masa transisi tersebut terjadi. Dalam bayangan saya, masa-masa transisi tersebut akan terjadi banyak pertumpahan darah, konflik antar kelompok yang resisten dan yang pro terhadap perubahan akan banyak terjadi. Akhirnya, revolusi yang diharapkan mengubah tatanan secara mendasar malah akan luluh lantak.

Revolusi memang dibutuhkan, namun tidak untuk saat ini. Kondisi kebangsaan yang semakin bobrok karena elit-elit busuk yang mengatasnamakan rakyat memang perlu dikoreksi terus-menerus. Revolusi dapat terjadi ketika semua syarat terpenuhi: kondisi masyarakat yang memang menginginkan perubahan dan pemuda sebagai penggerak revolusi telah siap. Jangan sampai langkah yang diambil malah menjadikan bunuh diri. Pemberontakan Madiun 1926 menjadi contoh terbaik bagaimana revolusi ‘setengah matang’ terjadi. Letupan kecil yang tidak berarti apa-apa namun memberikan konsekuensi besar terhadap pelakunya.

Akhirnya, rasionalitas dalam bergerak menjadi hal utama. Koreksi terus menerus adalah jalan paling rasional. Revolusi, tidak untuk saat ini.

7 thoughts on “Revolusi: bisakah?*”

  1. belajarlah memahami kategori bernama ‘realitas’ sebelum menggunakan terminologi yang partikular dan politis serta historis seperti kategori “revolusi”.

    ini dimaksudkan agar penggunaan kategori yang kita lakukan bukanlah berdasarkan sebuah rumor media, politik ataupun juga sudut pandang yang bias.

    paling tidak anda dapat mendedah dengan baik kategori “realitas” serta katgeori “manusia” dalam beragam sudut pandang dengan dasar ontologi yang kuat.

    tulisan yang anda buat lebih menunjukan sebuah impresi dan sentimen gairah seorang muda, tetapi belum memberikan basis pijakan yang kuat dalam aras logika yang ketat secara rasional

    🙂 berhati-hatilah dengan rumor, dogma ataupun kisah-kisah yang belum dapat anda pastikan dasar ontologisnya.

    selamat menemukan kenyataan dunia,

    salam

    gerakan.kemanusiaan@gmail.com

    Reply

Leave a Comment