Mengenang Jalan Istiqomah Sang Legendaris: HAMKA

‘Mengapa engkau tidak tatap langit yang biru dengan awan seputih kapas yang indah atau engkau tatap bukit yang hijau dengan lereng yang indah? Gemercik air mengalir, indah. Atau, engkau bangun pada malam hari engkau tatap langit dengan taburan bintang dan bulan yang tidak pernah bosan orang menatapnya. Atau, engkau bangun dengar suara jangkrik , katak bersahutan indah. Lalu kenapa hati yang satu-satunya ini harus kita isi dengan kejelekan. Padahal, jelek itu tidak pernah bersatu dengan keindahan. Kalau alam ini indah dan hati kita mencintai keindahan, niscaya akan terpancar pribadi yang indah’ (HAMKA)

HAMKA (Haji Abdul Malik Bin Haji Abdul Karim Amarullah) lahir pada 14 Muharram 1326 H bertepatan dengan 16 Februari 1908 di Ranah Minang. HAMKA lahir tepatnya di Kampung Molek, Nagari Sungai Batang Maninjau, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Tanjuang Raya, Kabupaten Agam, Sumatra Barat. Rumahnya berbahan kayu berukuran 17 x 9 meter yang berdiri di areal sekitar 75 meter persegi. Jalanan menuju rumah HAMKA dihiasi oleh pemandangan yang sangat indah. Ada 44 tikungan tajam yang terkenal dengan Kelok Ampek Puluah Ampek yang akan kita lalui. Dari atas ini bukit ini kita bisa melihat keindahan danau Maninjau.

HAMKA yang memiliki nama kecil Abdul Malik, tutup usia pada hari Jumat pagi pukul 10.41 WIB tanggal 22 Ramadhan 1401 Hijriah. Sebelumnya HAMKA telah dirawat selama tujuh hari di RS Pusat Pertamina akibat komplikasi penyakit gula dan jantung. Beliau tumbuh di lingkungan religius yang taat menegakkan Sunnah. Ayahnya seorang ulama, ibunya yang bernama Siti Safiyah Binti Gelanggar juga seorang yang terkenal dan bergelar Bagindo nan Batuah.

HAMKA selain rajin membaca, juga senang bertukar pikiran tentang permasalahan yang dialami kaumnya. Tema-tema keislaman, kebangsaan, juga kebudayaan adalah hal-hal yang kerap dijadikan bahan diskusi. HAMKA sang otodidak senantiasa tidak pernah puas menggali ilmu di berbagai bidang seperti filsafat, sastra, sosiologi hingga politik. Pembelajaran otodidaknya sangat ditunjang oleh kemahiran HAMKA berbahasa Arab. Sebagai seorang otodidak, HAMKA tidak saja mampu menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarrak, Jurji Zaidan, Abbas al-‘aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Husein Haikal. Beliau juga meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman. Kesungguhan Beliau dalam belajar telah menjadikannya seorang yang pandai dalam banyak hal serta mampu pula menumbuhkan bakatnya sebagai ahli berpidato.

MASA PERGERAKAN
Beliau menamatkan pendidikan di Sumatra Thawalib (1916-1923). Pada tahun 1924 Hamka berangkat ke pulau jawa untuk mengikuti kursus pergerakan Islam kepada para tokoh pergerakan seperti HOS Cokroaminoto dan Ki Bagus Hadikusumo. Ketertarikan HAMKA dengan Muhammadiyah dikarenakan pergerakan Islam Modern yang didirikan oleh K.H. Achmad Dahlan itu sejalan dengan cita-citanya untuk memerangi khurafat, bid’ah, dan kebatinan sesat yang masih membelenggu umat. Selain aktif berdakwah di dalam negeri, beliau juga aktif di forum-forum ulama internasional. HAMKA telah mengunjungi berbagai negara untuk membicarakan Islam, seperti ke negera-negara Timur Tengah. Pada Tahun 1950 beliau mengunjungi Amerika Serikat.

HAMKA adalah ulama pejuang, beliau senantiasa mengikuti setiap pergerakan untuk memperjuangkan kepentingan umat dan bangsa. Seperti halnya Moehammad Natsir dan Kasman Singodimedjo, HAMKA termasuk contoh ulama yang memilih sayap politik sebagai salah satu sayap jalur berdakwah, ibadah, dan pengabdian untuk mewujudkan aspirasi umat; menentang segala bentuk penindasan dan kediktatoran. Pada tahun 1945, HAMKA berjuang menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan turut serta dalam kegiatan gerilya di hutan Medan. Tahun 1947, HAMKA diangkat menjadi ketua Barisan Pertahan Nasional Indonesia. Tahun 1950, HAMKA hijrah ke Ibu kota dan menjadi politisi; diangkat sebagai anggota Konstituante Masyumi dan menjadi Juru Kampanye Utama dalam pemilu 1955. Karena fitnah PKI, HAMKA dan teman-temannya seperti M. Natsir, Syafruddin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap, Asa’at, Prawoto Mangkusasmito, Muhammad Roem, Isa Anshary, EZ Muttaqien, Junan Nasution, dan Kasman Singomedjo ditangkap dan dipenjarakan oleh rezim Soekarno.

Bagi banyak orang berada di dalam penjara tentu merupakan pengalaman yang tidak menyenangkan namun dengan lantang HAMKA mengatakan: “Penjara bukan sekedar tempat tahanan tetapi adalah Universitas kedua”. Beliau mampu membuktikan bahwa penjara tak kuasa memenjarakan kebesaran jiwa seorang HAMKA yang tetap merdeka. Selama di penjara beliau aktif menulis dan juga melahirkan karya terbesar yang membuat beliau terkenal sampai ke mancanegara, tafsir Al-Azhar adalah satu-satunya Tafsir Al-Qur’an yang di tulis oleh Ulama Melayu dengan gaya bahasa yang mudah di cerna. Tafsir Al-Azhar merupakan pembuktian kualitas intelektual HAMKA sebagai seorang ulama besar nusantara. Tahun 1957, tepatnya tanggal 26 juli Majelis Ulama Indonesia (MUI) didirikan di Jakarta. MUI dipraksai oleh 53 orang ulama dan aktivis dari berbagai Ormas Islam, seperti Muhammadiyah, NU, Al Irsyad Al Washilyah dan Al-ittihadiyah. HAMKA kemudian diamnahkan menjadi ketua umum MUI. Fungsi utama MUI adalah memberi fatwa dan nasehat mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada pemerintah dan umat Islam sebagai amar ma’ruf Nahi munkar.

Dalam kepemimpinan HAMKA, MUI mengeluarkan fatwa tentang haramnya umat Islam mengikuti perayaan natal dan haram pula mengucapkan selamat natal. Fatwa tersebut mendapat reaksi dari menteri Agama Alamsyah Ratu Perwiranegara yang meminta fatwa tersebut dicabut. Namun HAMKA memilih mundur dari jabatan MUI, dari pada harus mencabut fatwa tersebut. Sikap ini mencerminkan teladan dan sosok ulama yang Istiqomah sebagai penyambung lidah umat. HAMKA juga mewariskan sesuatu yang sangat penting: dalam Munas II Alim Ulama MUI difatwakan bahwa Ahmadiyah itu diluar Islam dan sesat serta menyesatkan. Fatwa itupun diperkuat dengan terbitnya surat edaran Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Departemen Agama 1984. Kini fatwa itu memiliki makna penting sebagai sandaran untuk menutup dan melarang Kampus Mubarok, Pusat Ahmadiyah Indonesia di Parung Jawa Barat. Larangan itu kemudian ditetapkan juga oleh Pemda Kabupaten Bogor dan jajarannya, pada tanggal 20 Juli 2005.

Sikap Istiqomah yang dicontohkan HAMKA bisa menjadi inspirasi bagi kita, beliau bukanlah alumni perguruan tinggi manapun namun banyak sekali kalangan yang menuliskan di depan namanya gelar Prof. Dr. Siapa yang bakal menyangka jika seorang yang pada awalnya belajar otodidak belakangan justru banyak diberikan gelar Doctor Honoris Causa oleh banyak universitas terkemuka. Beliau sangat mendukung terbentuknya dasar negara yang berlandaskan Islam. Jalan istiqomah yang dilalui dalam setiap jejak pergerakan dan perjuangan HAMKA untuk memajukan kaumnya merupakan rintisan yang “sewajibnya” diteruskan oleh kita para generasi bangsa. Sebagai sebuah wujud, atau bahkan upaya untuk mengisi kemerdekaan. Indonesia merdeka!

Winda Sagita

Staf Departemen Hubungan Luar SALAM UI 1 Dekade

Mahasiswa Fakultas Ilmu Komputer UI Angkatan 2006

1 thought on “Mengenang Jalan Istiqomah Sang Legendaris: HAMKA”

  1. semoga akan terus lahir hamka-hamka muda.. agar islam makin dicintai di negara yang katanya memiliki populasi muslim terbesar secara kuantitas tetapi tidak secara kualitas..

    makanya nuntut ilmu islam yuk! 🙂

    Reply

Leave a Comment