Sejarah Asal-usul Seni Tari Payung Beserta Filosofinya

anakui.comSeni Tari Payung , Tari payung adalah tarian tradisional yang hanya bisa dilakukan oleh penari yang berjumlah genap.

Tarian ini melibatkan tiga pasang penari yang menceritakan tentang pasangan suami istri yang berbulan madu.

Tarian ini sangat indah dengan memperlihatkan gerakannya yang halus dan lemah lembut.

Tari payung berasal dari daerah Minangkabau, Sumatera Barat. Seni Tari Payung termasuk jenis tarian perpaduan khas Melayu Minangkabau.

Hal itu disebabkan oleh banyak komponen dalam tari payung yang diadaptasi dari suku Melayu.

Misalnya dari segi gerakan penari, pakaian tradisional, dan alat musik pengiringnya.

Sejarah Seni Tari Payung

Sejarah yang dimiliki oleh Tari Payung ini sangat berkaitan erat dengan seni drama pada masa penjajahan Belanda, atau yang lebih dikenal dengan nama toonel.

Selain kesenian Randai, drama toonel juga menjadi kesenian yang lahir karena pengaruh sekelompok seniman yang berasal dari Semenanjung Malaya.

Kesenian drama tersebut mempertunjukkan seni komedi dari bangsawan Melayu yang ada di Sumatera Barat.

Di dalam sebuah pertunjukan toonel, biasanya juga dilengkapi dengan menggunakan kesenian lainnya berupa Tari Payung.

Pada awalnya, tari tersebut hanya digunakan sebagai selingan dari babak ke babak dalam sebuah pertunjukan drama toonel.

Kemudian, sekitar tahun 1920-an, lewat perkembangan drama itu sendiri, Seni Tari Payung juga turut mendapat sambutan hangat dari masyarakat di Bukittinggi.

Hal tersebut seiring dengan Tari Minangkabau gaya Melayu.

Tari payung, untuk pertama kalinya ditata dalam bentuk tari teater oleh Muhammad Rasjid Manggis (1904-1984) sekitar tahun 1920-an.

Selanjutnya, tarian tersebut juga ditata oleh Sitti Agam yang juga satu angkatan dengan Rasjid Manggis di Normal School Bukittinggi.

Lewat Sitti Agam inilah, Tari Payung kemudian ditata dengan menggunakan tema pergaulan para muda-mudi.

Secara narasi, tarian tersebut menceritakan tentang sepasang muda-mudi yang bertamasya ke Sungai Tanang (yaitu suatu pemandian yang berada di Bukittinggi).

Cerita yang diciptakan tersebut tentunya disesuaikan dengan gambaran kehidupan remaja sekolah yang tinggal di kota serta terlepas dari kungkungan adat yang ada.

Dimana, semua pemerannya adalah perempuan, dan peran laki-laki pun digantikan oleh peran perempuan termasuk juga para pemusiknya.

Adat dahulu yang dimiliki oleh suku tersebut melarang para perempuan untuk berkarir di luar Rumah Gadang.

Hal tersebutlah yang memprakarsai Sitti Agam untuk membentuk organisasi perempuan pada tahun 1924 satu periode “Serikat Kaum Ibu Sumatera (SKIS)”, serta memimpin penerbitan sebuah majalah.

Langkah yang dilakukan oleh Sitti Agam ini dimaksudkan untuk mendorong derajat para kaum wanita.

Termasuk juga dalam bidang kesenian, yakni dengan mengadakan sebuah pertunjukan toonel atau yang juga dikenal dengan nama basandiwara.

Menurut penuturan dari Damir Idris yang merupakan mantan murid dari Sitti Agam, beliau menjelaskan bahwa gurunya tersebut ialah seorang wanita terhormat yang ada di Minangkabau dan yang pertama kalinya menari di atas pentas.

Sitti Agam sendiri juga menjadi orang pertama yang menata Seni Tari Payung dan ikut serta menarikannya di dalam sebuah bentuk pertunjukan toonel yang di sutradarai dirinya sendiri.

Mengingat kondisi adat yang ada di masyarakat kala itu, semua kegiatan kesenian baik laki-laki ataupun perempuan dilakukan secara terpisah termasuk juga para penontonnya.

Perkembangan dari Tari Payung berikutnya di motori oleh Sariamin atau juga dikenal dengan nama Saliasih.

Beliau juga merupakan pelajar di Normal School yang mana lebih muda dari Sitti Agam dan juga Rasjid Manggis.

Saliasih menyusun tari tradisional tersebut dengan menekankan perbedaan dalam hal penggarapannya, selain hal tersebut semuanya masih sama.

Diluar murid Normal School, tari tersebut juga ditata oleh para murid yang berada di Ins Kayutanam. Beberapa orang yang ikut andil dalam tarian ini ialah Djarmias Sutan Bagindo dan Sjotian Naan.

Oleh Sjofiaan Naan sendiri, tari tersebut diberi gubahan warna. Gubahan tersebut berasal dari kaba atau cerita rakyat.

Gubahan warna ini sendiri lebih menekankan pada simbol-simbol identitas ke-Minangkabau-an, meskipun dibatasi isi dan juga dimensi busana.

Djarmias Sutan Bagindo juga sama-sama memiliki gubahan. Akan tetapi, gubahan yang dilakukan oleh beliau masih mengikuti pola sebelumnya.

Djarmias mengubah tarian berdasarkan dimensi tekstual ataupun aspek internal dari sebuah tari. Dalam perjalanannya sendiri, Tari Payung ternyata mengalami sebuah perkembangan dinamika horizontal.

Terutama dari murid-murid yang dimiliki oleh Sjofian Naan, seperti Gusmiati Suid, Sjofyani Yusaf, dan Hoerijah Adam.

Semua tokoh tersebut tentu saja memiliki peran tersendiri dalam menciptakan Tari Payung dengan gubahan serta kreasi mereka sendiri, walaupun masing-masing dari mereka tetap berpijak pada unsur tarian yang telah dimiliki sebelumnya.

Akan tetapi, dari ketiga gubahan tersebut, dari abad 20 hingga sekarang, gubahan Sjofyani Yusaf menjadi salah satu karya yang paling populer.

Sebuah penuturan dari Zuraida Zainoeddin yang banyak mengenal Sitti Agam, beliau menyampaikan bahwa Sitti Agam menjelaskan, “Tari Payung dalam perkembangannya sudah ratusan jumlahnya.

Siapa saja memang dapat menata Tari Payung, baik orang Minangkabau sendiri ataupun orang luar Minangkabau”.

Meski sudah mengalami perkembangan menurut para penatanya tersebut, akan tetapi Tari Payung sendiri masih tetap menggunakan tema percintaan dengan menggunakan lagu Babendi-bendi.

Tarian tersebut menggambarkan kehidupan remaja anak sekolah yang ada di kota pada awal abad masa itu dan digambarkan oleh Encik Sitti Agam.

Filosofi Seni Tari Payung

Tarian ini sama seperti tari lainya yang ada di Indonesia. Dimana, masing-masing mempunyai makna dan filosofinya tersendiri.

Makna dari tari payung yaitu sebuah wujud perlindungan dan kasih sayang dari seorang suami terhadap istrinya.

Berikut ini terdapat penjelasan tentang makna dari properti yang digunakan dalam pementasan tari payung, yaitu:

  1. Payung

Payung yang digunakan para penari pasti mempunyai makna yakni perlindungan antara suami dan istri dalam berperan sebagai pilar utama dalam hubungan rumah tangga.

Dalam pertunjukannya, para penari pria akan melakukan gerakan seperti sedang memayungi para penari wanita.

  1. Selendang

Selendang merupakan sebuah properti yang digunakan oleh penari wanita. Dimana, Properti ini menceritakan tentang ikatan cinta yang suci dan penuh dengan kesetiaan.

Selain itu, selendang juga mempunyai arti yaitu kesiapan seseorang dalam membangun rumah tangga.

Biasanya, gerakan yang dilakukan oleh penari Seni Tari Payung yaitu mengalungkan selendang ke leher penari laki-laki.

  1. Lagu

Ada beberapa lagu yang digunakan untuk tarian ini salah satunya lagu yang berjudul Babendi-bendi ke Sungai Tanang. Lagu tersebut menceritakan tentang pasangan suami istri yang berlibur dan berbulan madu ke Sungai Tanang.

Leave a Comment