Ketika mendengar kata konsumerisme, seketika yang muncul dalam benak kita adalah ha-lhal terkait makanan, minuman, atau hal lain yang mengenyangkan. Bagi sebagian orang yang lain, akan mengasosiasikan istilah tersebut dengan pemenuhan kebutuhan pendidikan, kesehatan atau kebutuhan barang mewah. Akhir-akhir ini, konsumerisme semakin santer terjadi terutama karena masyarakat akan merayakan Lebaran. Tidak hanya konsumerisme terkait dengan kebutuhan pangan yang meningkat, namun juga kebutuhan sandang dan kebutuhan akan moda transportasi. Konsumerisme tidak bisa dipungkiri telah menjadi jembatan untuk menjaga tradisi baik selama bulan Ramadhan maupun selama Lebaran. Lantas, menimbang trade off antara cost dan benefit yang didapat dari konsumerisme, apakah sebenarnya konsumerisme selama Ramadhan dan Lebaran menjadi sesuatu yang dapat ditoleransi?
Konsumerisme Selama Ramadhan dan Lebaran
Konsumerisme berarti prinsip atau pandangan yang ingin memenuhi kebutuhan hidup dengan mengorbankan atau menggunakan sumber daya tertentu. Antara tradisi dan konsumerisme memang sulit untuk dibedakan, karena keduanya dipisahkan benang tipis. Konsumerisme yang terjadi biasanya menyangkut makanan, kebutuhan pakaian, dan kebutuhan moda transportasi mudik.
Selama Ramadhan, keberadaan food stall banyak menjamur dimana-mana. Semakin banyaknya food stall tidak menambah sepinya pembeli. Sebagian besar orang Indonesia tentu mungkin akan merasa penasaran dengan keberadaan food stall dengan aneka menu yang disajikan. Dengan adanya viral marketing, tentu orang akan tahu keberadaan food stall baru dari mulut ke mulut. Rasa penasaran untuk mencoba lantas akan mendorong orang tersebut untuk melakukan transaksi pembelian dan konsumsi. Contoh sederhananya dapat kita temui di Lingkungan sekitar kampus UI misalnya daerah kost-an mahasiswa Kukusan Teknik (Kutek), setiap sore keberadaan food stall dengan aneka jajanan yang ditawarkan selalu menghiasi jalan-jalan dekat pintu keluar masuk Kutek. Keberadaannya menguntungkan di satu sisi karena memberikan varian makanan dan minuman (mamin) bagi mahasiswa dan warga sekitar, namun di sisi lain juga merugikan karena menimbulkan kemacetan, suasana ramai dan semrawut serta masalah sampah. Peningkatan konsumsi mamin selama Ramadhan memang tidak bisa dipungkiri. Sebagai respon atas peningkatan konsumsi tersebut iklan mamin baik di media cetak maupun elektronik menjadi mayoritas iklan persuasif yang dilihat masyarakat.
Ramadhan dan Lebaran identik dengan kesucian. Lantas sebagian besar masyarakan Indonesia mengidentifikasikan kesucian sebagai kebersihan hati dan jasmani. Kebersihan hati dilakukan dengan menjaga hubungan baik dengan Tuhan dan manusia lewat silaturahmi. Kebersihan jasmani bisa dicapai salah satunya dengan menggunakan pakaian yang bersih dan suci yang identik dengan pakaian baru. Masyarakat Indonesia memang merasa kurang afdhol jika selama lebaran tidak menggunakan baju baru. Anggapan itu mendorong masyarakat untuk melakukan purchasing transaction atas kebutuhan sandang. Coba kita amati, berapa banyak mall atau pasar yang kekurangan pembeli (terutama toko-toko pakaian) selama Ramadhan? Jawabannya adalah jarang atau bahkan tidak ada sama sekali. Terkait dengan kebutuhan moda transportasi, maka kebiasaan mudik yang identik dengan arus manusia dari pusat-pusat kota kembali ke lingkungan rural telah menjadi fenomena tahunan.
Sudah Tradisi
Tradisi dapat diartikan sebagia pola perilaku manusia yang telah digeneralisasi pelaksanaannya selama puluhan atau bahkan ratusan tahun, dimana dalam tradisi terdapat aspek pembenaran bagi pihak yang melakukannya. Tradisi bukan lagi suatu tuntutan, namun telah menjadi kebutuhan. Bagi umat Islam, bulan Ramadhan menjadi bulan spesial di antara sebelas bulan lainnya, maka momen ini menjadi kesempatan emas dalam meraih kesucian baik hati maupun jasmani. Oleh karena itu selama Ramadhan dan Lebaran banyak kegiatan yang dilakukan masyarakat, walaupun sebenarnya kegiatan tersebut memakan biaya yang tidak kecil. Ada banyak hal yang menjustifikasi masyarkat untuk melakukan nberbagai kegiatan selama Ramadhan dan Lebaran.
Konsumsi ekstra makanan selama Ramadhan dijustifikasi dengan semakin banyaknya kegiatan terutama kegiatan ibadah yang dilakukan. Apalagi perubahan pola waktu makan dari pagi, siang dan malam menjadi dini hari dan sore hari, menyebabkan asupan mamin yang harus dilakukan juga harus lebih banyak. Konsumerisme bahan pangan juga tak lepas dari pengaruh budaya, contohnya budaya orang-orang Jawa. Orang-orang Jawa melakukan kegiatan syukuran, yang dalam bahasa Jawanya disebut dengan slametan, selama empat kali sepanjang Ramadhan dan Lebaran. Slametan pertama dilakukan di awal Ramadhan, slametan kedua dilakukan di akhir Ramadhan, slametan ketiga dilakukan di sesaat setelah diadakannya Sholat Ied Idul Fitri, sedangkan slametan yang terakhir dilakukan pada hari ketujuh Lebaran (yang biasanya disebut dengan Lebaran Ketupat). Dalam slametan tersebut, para warga berbondong-bondong menuju rumah ketua RT/RW atau semacam hall dengan membawa makanan dan minuman dengan porsi besar yang selanjutnya, setelah membaca serangkaian doa, dinikmati bersamas dan dibagikan ke warga yang lain.
Bagi sebagian masyarakat, Lebaran merupakan momen satu-satunya untuk memiliki baju baru. Tidak heran jika konsumsi akan sandang juga meningkat menjelang Lebaran. Begitu juga dengan kebutuhan moda transportasi, keinginan untuk berkumpul dengan sanak keluarga di daerah asal, mendorong manusia untuk mengkonsumsi moda transportasi baik darat, laut dan atau udara. Seberapapun tinggi harganya, namun jika masih bisa dijangkau dengan kondisi finansial yang dimiliki, tentu seseorang akan memilih untuk mudik daripada tetap berdiam di tempat tinggalnya sekarang. Tidak terkecuali dengan mahasiswa, dari apa yang saya amati, teman-teman yang daerah asalnya di Jawa bahkan luar Jawa seperti Kalimantan dan Sumatera, harus rela merogoh kocek sampai jutaan rupiah untuk tiket pesawat yang harganya naik beberapa kali lipat dari harga normal. Jumlah pemudik pada tahun 2008 diperkirakan mencapai 15,8 juta orang, yang mana angka tersebut naik sebesar 6,14% jika dibandingkan dengan tahun lalu. Jumlah tersebut meliputi 1,88 juta pemudik dengan angkutan udara, 6,92 juta pemudik dengan angkutan darat, 2,99 juta pemudik dengan kereta api, 1,01 juta pemudik dengan angkutan laut, dan 2,96 juta pemudik dengan angkutan penyeberangan laut.
Toh, ketiga kebiasaan ini telah dijalankan selama puluhan dan mungkin ratusan tahun. Tidak ada salah benar dalam suatu tradisi karena penilaian yang dilakukan harus menggunakan parameter nilai dari orang yang menjalankan tradisi tersebut. Upaya yang dilakukan untuk melakukan tradisi tak lain dan tak bukan adalah dengan melakukan konsumsi. Lantas, jika konsumsi dilakukan secara masif oleh ratusan juta orang, maka pembludakan konsumerisme tidak bisa dielakkan.
Permasalahan
Seringkali konsumerisme yang pada momen-momen tertentu dilakukan untuk melestarikan tradisi, justru membawa permasalahan baru. Dampak konsumerisme tersebut misalnya terkait dengan tingkat harga dan gejala latah sosial. Dalam teori makroekonomi, peningkatan konsumsi masyarakat yang lebih besar dibandingkan dengan kapasitas produsen dalam menyediakan komoditas pemenuhan kebutuhan tersebut, akan mendorong kenaikan tingkat harga. Hal yang lebih parah yang mungkin terjadi adalah jika masyarakat tidak menerima symetric information secara lengkap terkait dengan jenis, kapasitas, kualitas serta tingkat harga wajar yang seharusnya ada di pasar. Hal itu akan mendorong produsen atau penjual bisa menaikkan harga dengan leluasa. Walaupun sejatinya harga dibentuk melalui mekanisme pasar yakni kekuatan tawar menawar antara penjual dan pembeli. Hal tersebut sangat sering dijumpai untuk para produsen atau penjual swasta. Lantas, kenapa pemerintah (yang dalam hal ini bukan pihak swasta), juga ikut-ikutan menaikkan harga, harga tiket kereta api misalnya. Menjelang Lebaran, harga tiket kereta api justru meningkat secara tajam. Apakah pemerintah tidak peduli terhadap kepentingan publik? Sebagai organisasi sektor publik yang dimiliki secara bersama-sama oleh masyarakat luas, tugas pemerintah memang harus menjamin adanya pencapaian kesejahteraan masyarakat. Namun, pemerintah juga mengalami keterbatasan sumber daya yang dimiliki. Pemerintah tidak secara serta merta mampu memenuhi semua kebutuhan masyarakat, oleh karena itu kadangkala pemerintah dituntut untuk melakukan kotrol agar tidak terjadi social chaos.
Dalam teori sumber daya publik, maka keberadaan sumber daya publik harus didistribusikan secara merata. Dalam kasus harga tiket, tradisi mudik sudah menjadi kebutuhan masyarakat, keberadaan harga tiket yang murah akan mendorong masyarakat akan bersaing satu sama lain untuk saling mendapatkannya. Lantas dengan kenaikan harga akan mengurangi jumlah masyarakat yang menjadi konsumen potensial kereta api tersebut. Mungkin jika harga tiket kereta api tetap murah, maka kekacauan sosial akan terjadi karena jumlah konsumen potensial yang sangat besar. Misalnya saja seperti dalam pembagian zakat yang berakhir kisruh di Pasuruan Jawa Timur. Zakat dapat dikatakan sebagai harta pribadi yang diubah menjadi barang publik. Tidak adanya managemen pengelolaan yang baik serta kemudahan bagi masyarakat untuk mendapatkan zakat tersebut (asalkan memenuhi syarat sebagai penerima zakat), maka kekacauan sosial terjadi. Masyarakat saling berebut zakat tersebut, akibatnya korban jiwa tidak bisa dihindarkan. Tanpa melakukan pembelaan terhadap pemerintah, maka dengan mengasosiasikan moda transportasi yang dikelola oleh pemerintah dengan kasus zakat tersebut, maka sudah sewajarnya jika pemerintah melakukan kontrol. Salah satunya adalah dengan menggunakan instrumen harga. Terlebih lagi manajemen moda transportasi pemerintah juga kurang responsif terhadap social risk semacam itu. Fenomena-fenomena di atas baik menyangkut pemerintah maupun pihak swatsta sebagai penyedia pemenuhan kebutuhan, akan mendorong terjadinya peningkatan harga selama Ramadhan dan Lebaran.
Hal lain yang terjadi adalah adanya latah sosial, latah sosial disini adalah semacam efek berganda baik terhadap kegiatan konsumsi yang dilakukan masyarakat maupun terhadap kebijakan yang dilakukan oleh instansi-instansi pemerintah tertentu. Bagi masyarakat, kegiatan konsumsi yang dilakukan oleh anggota masyarakat yang lain akan mendorong mereka untuk juga melakukan hal serupa. Akibatnya, permintaan semakin naik dan kemungkinan kenaikan harga akan semakin besar. Untuk mengakali itu semua (menyediakan sumber daya untuk konsumsi), maka masyarakat akan melakukan berbagai macam cara mulai dari bekerja lebih keras, mengutang atau melakukan tabungan (saving). Toh, tidak semua usaha yang dilakukan masyarakat dengan tujuan konsumsi selama Lebaran berjalan mulus. Misalnya saja kasus penipuan dalam bentuks arisan Lebaran di Jawa Barat yang merugikan sekitar 5.000 nasabah dengan kerugian milyaran rupian. Bukan berarti menyalahkan motif yang mendasari masyarakat mengikuti arisan tersbut, namun ada baiknya jika masyarakat berpikir logis akan jenis investasi yang dilakukannya. Sudah menjadi hukum alam jika hukum resiko dan pengembalian investasi (risk and return of investement) adalah berbanding lurus. Tak ada investasi dengan pengembalian besar tanpa resiko yang besar. Kalau ingin investasi aman, ya diamkan saja uang itu di bawah kasur (no risk, no return).
Latah sosial juga mendera beberapa instansi pemerintah, BPOM misalnya. Dengan gencar, BPOM melakukan inspeksi pasar untuk mengidentifikasikan mamin yang kadaluarsa atau tidak memiliki izin edar. Hasilnya, banyak mamin yang disita termasuk yang menggemparkan adalah adanya pengungkapan pengolahan daging sampah sisa hotel dan restoran di Jakarta Barat serta produk-produk yang diindikasikan mengandung susu bermelamin asal China. Yang jadi pertanyaan adalah, kenapa seakan-akan semua BPOM di seluruh Indonesia ”baru terdengar” melakukan inspeksi pasar secara serentak selama Ramadhan atau menjelang Lebaran? Atau mungkin sebenarnya inspeksi secara rutin juga dilakukan oleh BPOM, namun karena peran media yang kadangkala memperhiboliskan inspeksi selama Ramadhan dan menjadikannya komoditas berita yang akhirnya membuat BPOM seakan mengalami latah sosial? Yang jelas, masyarakat melakukan konsumsi tidak hanya selama Ramadhan atau Lebaran saja. Jadi jelas jika inspeksi pasar dibutuhkan sepanjang tahun.
Latah sosial juga mungkin dialami oleh Departemen Pekerjaan Umum. Menjelang arus mudik, DPU menggenjot proyek perbaikan jalan dan sarana prasarana transportasi. Dalam kasus kerusakan jalur pantura misalnya, kadangkala perbaikan jalan belum kunjung selesai walaupun arus mudik sudah mulai terjadi. Bukan bermaksud untuk menyalahkan kedua lembaga pemerintah tersebut, karena toh latah sosial yang terjadi adalah untuk kebaikan masyarakat. Namun, jikalau benar kelatahan tersebut hanya dilakukan ketika Ramadhan saja, ada baiknya jika tindakan yang ditempuh tersebut juga dilakukan di waktu-waktu lain sepanjang tahun. Hal ini karena kebutuhan akan mamin dan moda transportasi sudah menjadi kebutuhan primer masyarakat sepanjang tahun.
Kesimpulan
Secara personal konsumerisme untuk menjalankan suatu tradisi bukanlah sesuatu yang salah. Namun, ada baiknya jika masyarakat mengatur konsumsinya secara bijaksana. Skala prioritas kebutuhan perlu dibuat, tentu tidak perlu mengkonsumsi sesuatu yang sebetulnya tidak dibutuhkan. Tentu dengan hal ini kelatahan sosial dalam masyarakat akan dapat dikurangi, yang selanjutnya akan mengurangi domino effect kenaikan harga. Kenaikan harga faktanya hanya menjadi masalah bagi masyarakat yang mayoritas adalah konsumen. Bagi pemerintah, ada baiknya jika kelatahan sosial dalam menjalankan tindakan atau kebijakan yang pro aktif terhadap kepentingan rakyat tidak hanya dilakukan ketika momen tertentu saja, ketika semua atensi masyarakat tertuju padanya. Media massa juga harus pro aktif memberitakan kebijakan lembaga pemerintah misalnya BPOM dan DPU, walaupun tidak dalam momen yang memungkinkan pemberitaan tersebut menjadi komoditas yang menguntungan baik secara langsung maupun tidak langsung bagi media massa yang bersangkutan. Peran serta berbagai pihak baik masyarakat, swasta, pemerintah dan media massa akan mampu mewujudkan konsumerisme yang ekonomis, efektif dan efisien untuk mewujudkan tradisi yang berkelanjutan.
kesimpulannya cukup jelas, sehingga pembaca cukup membaca bagian itu tanpa perlu menyiksa matanya dengan semua penjelasan panjang lebar diatas.
Wah gan kalo menurut gw tu sala satu syarat agar tulisan kita di-approve orang adalah dengan bikin dengan panjang lebar..
Kalo ga ada konsumerisme, ekonomi ga bisa jalan ya (Just the cents from non-economic-ers)
Kalo panjang lebar dipermasalahin….mending diusulin aja berapa maksimal karakter yang boleh ditulis di website ini….
makasi juga buat inputnya toh gw juga baru-baru aja nulis….jadi perlu banyak belajar….
Gw si berharap, yang ngelola website ini juga mengedit, memangkas ato apalah itu istilahnya tiap tulisan yang masuk, jadi lebih bisa diterima secara umum
Makasi 😀
Bener memang kalo tanpa konsumsi JELAS ekonomi gak jalan. Kalo ngitung pendapatan nasional misalnya Y=C+G+I+NX komponen G merupkan konsumsi. Perhitungan pendapatan nasional tsb bisa digunakan untuk menghitung pertumbuhan nasional. Selama ini pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai sekitar 6% dimana komponen yang yang tumbuh paling gede ya konsumsi itu. Ada beberapa referensi yang bilang kalo kalo pertumbuhan ekonomi yang didominasi konsumsi gak baek, yang baek yang kopmponen I yakni investasi dan NX atau net ekspor 😀
Err… kalo kayak krisis finansial Amerika sekarang ini nih, uangnya lari ke mana ya? Ga mungkin kan ilang begitu saja? Apakah dikonsumsikan juga. Ato ada pemahaman gw yang salah?
Jangan cuma presidennya yang musti diteriakin harus punya sense of crisis, kita sebagai masyarakat awam juga harus memiliki sense of crisis.
Jangan itu uang buat zakat fitrah dipake buat beli petasan, jangan itu uang lebaran semuanya dipake buat beli baju baru yang mahal-mahal, dah tau punya penyakit darah tinggi & asam urat malah makan yang mahal-mahal dan berlemak-lemak, dsb.
Ya… kalo bicara soal selera sih, memang sangat individual dan gak bisa diatur lah, tapi tolong pandang secara lebih luas lagi, selera yang serba konsumerisme itu beserta dampaknya terhadap perekonomian.
memang konsumsi tidak boleh tidak ada, tapi tentunya dengan moderasi lah, jangan asal hajar bleh, “mumpung punya duit, duitnya duit gw”
+iR+
http://www.jadul.org/forum/