Belum berapa lama saya merasakan menjadi seorang mahasiswa. Merasakan menjadi seorang warga kampus  di Universitas Indonesia. Sebagai yunior tentunya saat-saat awal ini menjadi semacam pengenalan bagi diri saya pribadi mengenai kesesuaian antara pandangan-pandangan umum yang saya terima ini dengan realitas di dunia kampus yang sebenarnya.
Mahasiswa, yang menurut pandangan saya yang notabene berasal dari daerah adalah seorang yang idealis, berpendidikan, dan peduli terhadap lingkungan sosial di sekitarnya. Tidak jarang dari dulu saya melihat di televisi mengenai mahasiswa yang turun ke jalan, melakukan orasi, menyuarakan kepentingan rakyat dan sebagainya.
Tapi, kenyataan dengan apa yang biasanya kita bayangkan tidak selalu sama bukan? Hal itulah yang saya hadapi setelah beberapa lama disini. Sosok mahasiswa dengan semua atribut-atribut itu seolah hanya menjadi mitos ataupun menjadi dongeng belaka.
Mahasiswa yang buang sampah sembarangan dimana-mana masih sering saya jumpai. Pernah suatu saat saya juga melihat seorang mahasiswa yang asyik memotret orang gila yang menari-nari di pinggir jalan, bahkan menertawakan apa yang dilakukan oleh orang gila tersebut.
Apakah ini yang dinamakan mahasiswa yang peduli terhadap kaum yang lemah? Rakyat yang manakah yang dimaksud untuk dibela oleh mahasiswa? Mungkin orang gila tersebut tidak termasuk kriteria tersebut, tapi apa salahnya untuk diam daripada malah menertawakan dan menganggapnya sebagi lelucon.
Ungkapan bagus yang pernah saya dengar adalah jika kau tidak bisa membersihkan, minimal jangan mengotori. Jika kau tidak bisa melakukan hal yang baik, minimal jangan melakukan hal yang buruk.
Mungkin, saya harus memperbaharui pemikiran saya tentang seorang sosok mahasiswa. Tidak semua yang kita pikirkan itu adalah kenyataan yang sebenarnya, itu yang saya pelajari.
(Tulisan ini hanyalah corat-coret tidak berguna dari saya, jika ada kata yang kurang berkenan saya minta maaf.)
Seperti itukah mahasiswa? Ia menyebut hasil karyanya yang dipajang di `tempat publik` dengan sebutan corat-coret tidak berguna? Saya rasa tidak. 🙂
Appreciate yourself, dude!
Iya kak, maaf. Ini tulisan pertama saya, jadi agak ‘grogi’. hehe. makasih saran dan kritiknya. 🙂
sepertinya semua mahasiswa harus banyak belajar (tidak hanya akademis) tetapi diluar itu semua 🙂
~tulisan Anda bukan sekedar coret2an (tapi sebuah coretan publik di ranah mahasiswa, tdk hanya di sini lingkungan UI tapi juga diluar sana) I Like It!
Ya, memang. Belajar tidak hanya di bangku sekolah bukan? 🙂 terima kasih apresiasinya.
Well, sebuah peringatan yang bagus..cuma saran ajah, 😀 coba dong dilihat sama yg masih peduli..(Ga mungkin ga ada) baru dibandingkan..tadi kan baru sebagian..
Contoh baik selama saya kuliah (anak daerah juga) :
1. Naik bis antri dan banyak yg masih makasih sama supirnya (keluar dr gerbatama aja jrg liat yg begituu)
2. Banyak lembaga u/ itu, misalnya di teknik ada ‘teknik informal school’, ada kerja sosial, ada aksioma (aksi sosial mahasiswa)
3. Belajar dengan baik, ga mkn ga bisa berguna(lihatlah kultur kalau ujian dan tugas di ui dan coba bandingkan) you’ll find the difference
4. Many more
(Saya bkn benar2 pengamat juga)
Dan, dg coba adil..memang tidak mkn semua sempurna, dan itu hak mahasiswa untuk memilih bgmn bersikap..
Tapi, apabila ingin mengubah dunia, dr diri sendirilah yg terpenting
Semangat! Kalau kamu sedih mahasiswa ui ga sebaik yg kamu bayangkan, maka tunjukkan contohnya yg baiknyaa! :’) ditunggu kontribusinya
Tentu, banyak hal positif disini. Dalam hidup bermasyarakat tentunya ada yang bersikap baik (yang anda contohkan) dan ada yang bersikap kurang baik (seperti dalam tulisan ini). 🙂 iya, setuju, sebelum bercita-cita mengubah orang lain, atau yang biasanya dikatakan kakak2 senior mahasiswa, mengubah bangsa ini, kita harus mengubah diri sendiri, gimana mau mengubah orang lain kalo dirinya sendiri belum bener, hehe. :p iya kak, makasi..
“sekedar celetukan iseng..”
mahasiswa zaman sekarang terlalu disibukan dengan masalah2 ilmiah, dengan perkuliahan maksudnya.
apa lagi dengan visi UI yang ingin menjadi universitas riset kelas internasional, hal itu tentu membuat semua pundi – pundi UI menjadi terfokuskan pada hal akademis.
tugas kuliah dan teman-temannya yg lai, yang mungkin memang bakal memakan waktu mahasiswa, untuk menjadi mahasiswa yang ideal, yang diatas disebutkan, yang mungkin disingkat menjadi mahasiswa yang menjunjung tridarma universitas.
meski begitu, dilihat dari kacama mata idealisme , itu bukan merupakan suatu kendala yang substansial, tapi..
Maksudnya biar mahasiswa lebih peduli kepada lingkungan sekitar, tugas kuliah harus dikurangi dan ga usah punya angan2 jadi universitas yang dianggap (ga usah dipandang dulu, dianggap aja 🙂 ) ya?
yep… ini yang disebut trade-off…
manusia ga bisa mencapai segala kesempurnaan , termasuk mahasiswa… harus ada yang dikorbankan.. karena ada keterbatasan – keterbatasan tertentu .. misalnya WAKTU.
Mari sama2 berpikir positif, saya rasa apa yang Anda amati dalam keseharian mahasiswa seperti yang Anda tulis tak lebih dari 10 persen saja dari keseluruhan mahasiswa yang ada di kampus, ya kan?
Seperti pepatah usang yang mungkin juga tidak usang, nila setitik merusak susu sebelanga. Tak mungkin mengharapkan 100% mahasiswa di kampus jalannya “lurus”. Seperti halnya dengan harapan2 atas berbagai sisi kehidupan yang lain, bukan?
Itulah kenyataan hidup yang harus kita hadapi sama2. Menurut saya, penulis cuma sedang mengalami sedikit shock karena baru masuk kampus yang selama ini mendapat cap dan penilaian tinggi di masyarakat, semoga segera pulih dan menyesuaikan diri dengan lingkungan kampus. Saran saya, begitu tahun kedua Anda boleh ikut berorganisasi, ikutlah. Maka Anda akan memperoleh pencerahan2 yang sangat luar biasa dan akan menemui jauh lebih banyak mahasiswa yang lebih baik dari yang Anda temui.
Peka lingkungan, semoga nanti anda pun bisa menjadi mahasiswa yang sesungguhnya, keep fighting 😀
Ah sial, mau nulis ini malah keduluan 😀
Setuju sama kamu, fazzzhh_59. Idealisme dan ekspektasi-ekspektasi besar saya pun ikut terkubur sedemikian dalam sejak agustus 2010 kemarin 🙂
Salam maba-maba kecewa! XD
anda punya weapon (senjata)
yang dapat (dan mampu)
untuk menghancurkan semuanya
(hanya dengan kata dan perbuatan)
dalam situasi tertentu
kita menyimpan aksi
gerakan atau perbuatan
tindakan yang dapat
membuat posisi anda tinggi
perkataan yang dapat
mengangkat anda dimata orang
anda marah
dan menyimpan “weapon” kejam
kejam
kejam
pasti berakhir (anda mengetahuinya)
dengan kemenangan
dalam mengangkat kebenaran (anda)
(short
tapi padat)
SELAMA ITU TIDAK MENYAKITKAN SUATU PIHAK
SELAMA ITU TIDAK MENGHANCURKAN KARAKTERNYA
silahkan saja ungkapkan
selama analisa anda
tidak salah
if it is not? THEN SHUT UP
misi anda :
mengangkat kebenaran
bukan menjatuhkan lawan
that’s growing up
kalo boleh saya berkomentar, mungkin penyebabnya sistem pendidikan di negara kita yg bobotnya semakin mengerucut ke atas.
sbg contoh, pada jenjang SD kita dijejali berbagai macam pelajaran yg kompleks, kmudian di smp semakin meningkat dan puncaknya di SMA,nah ketika kuliah semua berubah, jam kuliah ternayatasangat sediki (misal 1hari hanya 2 mata kuliah @2jam) yg membuat banyak jam kosong..
mungkin jg penyebab lainnya ada, sbg contoh:
1. adanya berbagai jalur masuk di UI : mahasiswa Reguler tentu stylenya berbeda dg Mhswa Internasional, apalagi sekarang ada jalur D3, Pararel, dll. Memang latar belakang tersebut menurut saya sedikit banyak mempengaruhi..
CMIIW..
Artikel ini sepertinya benar2 suara hati apa adanya yang tidak dibuat2. bagus sekali..
Itu kenapa foto sbg ilustrasi nya spt itu ?
iya kenapa haha
hello… dunia enggak selamanya seperti yang kamu bayangkan teman.
saya juga memiliki pemikiran yang sama.