Fesbud atau Festival Budaya adalah acara terbesar tahunan yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Acara ini diselenggarakan selama dua hari dan menarik banyak perhatian warga UI. Tidak hanya mahasiswa FIB saja, namun … Baca Selengkapnya
Halo (calon) penulis! Mau tahu bagaimana langkah-langkah menjadi penulis dengan algoritma calon penulis mulai dari menemukan ide hingga mengirimkan naskah ke penerbit?
Di kesempatan ini saya ingin berbagi pengalaman (meski saya bukan penulis tenar atau pro seperti Dee). Hasil dari jungkir-balik di dunia menulis hingga babak-belur menerima surat penolakan editor, ‘memaksa’ saya untuk membuat algoritma a.k.a langkah-langkah menyelesaikan tulisan hingga siap dikirim dan kamu bisa berkhayal jadi penulis sekaliber JK Rowling.
Inilah algoritma yang dipersembahkan khusus (calon) penulis.
1. Temukan, tangkap, atau ciptakan ide
Perhatikan sekelilingmu! via business2community
Apa pun bisa menjadi pecahan ide yang perlu diolah dan sempurnakan. Atau, kamu pakai metode ‘brainstorming‘. Comot beberapa hal, misalkan ketika berada di kafe, kamu ambil kata pelayan-kopi-hujan
Dari kata-kata tersebut, kamu bebas berimajinasi. Contohnya untuk pelayan, kamu bayangkan seorang aktor Korea, mengenakan seragam hitam dengan senyum manis mengembang.
Lanjutkan hingga kamu mendapatkan benang merah atau plot cerita yang menarik.
2. Buat kerangka karangan alias outline
Kalau sudah ada ide, kamu dapat menciptakan karakter yang menghidupkan cerita. via purplebookish
Untuk karakter, bisa lihat orang-orang di sekelilingmu atau bahkan tokoh fiktif. Lalu, kembangkan sebuah kerangka karangan. Pokoknya, tulis dari awal hingga akhir. Bagi menjadi awal-tengah-akhir yang tiap sesinya terbagi dalam beberapa bab/chapter. Oh ya, disarankan untuk menulis detil tiap bab seperti siapa tokoh yang terlibat, tempat kejadian, apa saja yang akan dibahas, dsb. Semakin detil, semakin bagus.
3. Menulislah
Siapkan alat tulis atau komputer, laptop, bahkan ponsel. via flickr
Ubah imajinasimu ke dalam untaian kata. Biarlah mengalir, rutin, dan buatlah dirimu nyaman sekaligus tertantang untuk menyelesaikan naskah. Jika cerita yang kamu tulis adalah hal yang kamu sukai, kamu pasti ingin selalu bertemu dan akhirnya sampai pada titik perpisahan.
4. Simpan naskah yang sudah rampung
Jika naskahmu selesai, tutup dan simpanlah. via juliacrouch
Lebih baik simpan di berbagai tempat (surel, laptop, cloud, dkk) untuk menghindari hilangnya naskah yang sudah bikin kamu fokus dan kerja keras.
Kita memasuki fase pengendapan naskah. Di sini, kamu di “sunnah” kan agar tidak menyentuh naskah yang baru selesai. Kamu bisa mencari penerbit/kompetisi yang cocok dengan tema naskah kamu atau belajar EYD.
5. Menyunting naskah
Ketika detil naskah mulai terlupakan, bukalah naskah. via inkwellbookcompany
Di tahap ini kamu akan membaca naskah sebagai pembaca dan penyunting, bukan penulis. Perhatikan penggunaan tanda baca, ada typo atau kata-kata yang kamu tulis sudah sesuai EYD, kah? Kamu tahu, editor paling sebal dengan penulis yang malas belajar EYD atau typo berseliweran, dan bukan hanya naskah kamu loh yang dihadapi editor!
Kalau bisa, temukan partner untuk membaca naskahmu dan memberi saran atau koreksi.
6. Kirim naskah
Kalo udah oke semua, waktunya kirim! via rentusmailbox
Sudah oke dengan naskahmu? Sekarang, siapkan naskah, surat pengantar, dan alamat penerbit yang kamu tuju. Kamu tidak perlu khawatir terhadap ongkos naskah karena sekarang banyak penerbit yang menerima naskah melalui surel, lebih hemat dan praktis.
7. Baca buku, terus berjuang, dan berdoa
Jangan berhenti sampe situ, lanjut cari ide yang lain. via entrepreneur
Selagi menanti balasan penerbit/hasil kompetisi naskah, kamu bisa cari ide dengan membaca tulisan orang lain sembari berdoa semoga Tuhan memberi kesempatan naskahmu terbit bahkan jika memakan waktu bertahun-tahun kemudian. Percayalah, Tuhan pasti memberi hadiah bagi yang bersabar dan selalu berusaha!
8. Kembali ke langkah 1.
Nah, gimana? Ayo kejar impian menjadi penulis sekarang juga! Semoga berhasil!
Beberapa hari yang lalu anakui.com lewat official account sempat menanyakan pendapat temen-temen mengenai stereotype apa aja sih yang terbentuk di mahasiswa-mahasiswanya mengenai fakultas-fakultas yang ada di UI? Nah, kali ini anakui.com akan mengelaborasi mengenai hal tersebut, memadukannya menjadi satu, biar stereotype tersebut makin melekat di masyarakat. Gak deng, biar stereotype tersebut kalo baik ya semoga tambah berfaedah, kalo buruk ya semoga pergi jauh-jauh. Hehehehe.
Yuk, langsung aja dibaca!
FIB
“Yaelah lo mah enak FIB belajar bahasa doang! via pujiekalestari
Nah, dari sekian banyak pesan yang masuk, yang curhat mengenai FIB ini paling banyak. Kenapa, ya? Mungkin paling banyak terkena stereotype masyarakat kali, ya? Atau karena gak ada kerjaan saking santainya makanya nge-chat mulu? Entahlah. Katanya, anak FIB itu tukang pesta, rokok di mana-mana, gak ada dua anak yang rambutnya sama (lol, mungkin semuanya warna-warni rambutnya), dan selalu ada baazar! Bener sih, beberapa kali dalam sebulan kalo kamu lewat FIB pasti nemuin aja tuh tenda tenda makanan bertebaran.
Dan yang paling sering dibilang orang-orang adalah…
Katanya, anak muda banget lah pokoknya kalau FISIP via bem.fisip.ui.ac.id
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik ini melekat dengan mahasiswanya yang keren-keren, nyentrik, super kritis akan masalah sospol di sekeliling kita, tapi sayangnya… males-males. Ah masa iya semuanya males sih? Bener gak tuh? Tapi ya kalo diliat-liat, anak FISIP tuh kayanya paling menikmati masa-masa kuliah di kampus deh, anak muda banget lah pokoknya.
FKM
Fakultas Kebanyakan Muslimah/Fakultas Kurang Mas-Mas via nohanarum
Sering dipelesetin jadi Fakultas Kebanyakan Muslimah/Fakultas Kurang Mas-Mas. Yak, katanya sih emang kebanyakan ukhti-ukhti di sini. Eh tapi gak juga kok, banyak juga yang gak kerudungan baik cewek maupun cowok (yaiyalah!) Ada juga yang bilang kalo sekarang FKM dibenci perokok wkwkw. Iya, mungkin gara-gara usulan harga rokok yang menjadi Rp50 ribu per bungkus itu merupakan kajian dari Fakultas Kesehatan Masyarakat UI ini kali, ya.
Anaknya sih kata orang-orang pada ambisius semua. Hmm, iya juga sih kalo kita lihat secara sekilas, gak tau kalo kebenarannya gimana. Menurut gue sendiri sih, FEB merupakan salah satu fakultas yang selalu totalitas dalam menyelenggarakan suatu acara; JGTC, contohnya. Bayangin aja, meski bukan merupakan proker BEM UI, di masyarakat udah terbentuk mindset dan stigma bahwa JGTC ini merupakan acara yang khas UI banget, saking megah dan berkelasnya!
Nah empat dulu aja ya, gimana? Biar penasaran dan pada nungguin gitu, hehehehehe. Kalo kamu punya masukan mengenai stereotype fakultas kamu, boleh banget chat di Official Line anakui.com (@tkg4665m). Ditunggu ya!
Tanya sama yang udah lulus kuliah ataupun sama yang masih berusaha lulus kuliah, mereka bakal bilang gini, Kuliah itu banyak suka dukanya, sama aja kaya hidup itu sendiri. Mau jurusan apa pun, mau anak teknik, anak hukum, anak politik, kedokteran sampai tata boga sekalipun, kuliahnya nggak jauh-jauh dari stereotip mata dari luar, dan gegap-gempita perjuangan meraih toga di dalam. Sama aja buat anak sastra, meskipun tiap jurusan pasti punya suka duka benefit-defisitnya masing-masing yang unik. Nah, berikut ini cuma mereka yang anak sastra yang bisa merasakannya.
Kalau kamu emang anak sastra, bohong banget kalo kamu nggak pernah denger yang kaya begitu. Yap, jadi anak sastra, kadang suka dipandang sebelah mata sama orang awam yang nggak ngerti apa gunanya kuliah sastra. Malah kadang nggak dipandang sama sekali.
“Kalo mau belajar bahasa mending les aja.”
Mungkin udah kodratnya disepelein, tapi bukan berarti hal-hal itu bener. Ketika kamu yang anak sastra berpikir pada semester awal kalau ternyata kuliahnya emang mirip sama les, semua kemudian berubah ketika kamu dihajar sama linguistik, dari fonetik sampai semantik, terus diajak ‘main’ kritik sastra, gaul sama ‘penerjemahan’ sampai ke telaah teks-teks berita, belum lagi budayanya dan pranata negara. Dilematis. Yang diluar nganggep enteng, kamu yang di dalam setengah mati berusaha keluar.
Jadi Anak Sastra In a Nutshell
“Coba dong ngomong bahasa Prancis.” (Sumber:Photo Credit: jophan via Compfightcc)
Ini salah satu hal yang paling sering terjadi selain dipandang sebelah mata sama orang-orang. Kamu pasti punya satu atau dua orang dari keluarga kamu yang agak sedikit suka basa-basi. A fan of small talk. Formality. Ini yang terjadi ketika kamu kumpul bareng keluarga kamu dan si penggemar basa-basi.
*lagi kumpul di ruang keluarga bareng keluarga besar*
“Oh, iya, kamu anak sastra ‘kan?”
“Iya, Om. Jurusan Prancis.” *mikir* *bukannya gue udah pernah bilang ya?*
“Wah, udah bisa bahasa Prancis dong?” *yang lain mulai noleh*
“Sedikit…”
“Coba ngomong.” *yang lain nungguin gue ngomong*
Oke. Satu, ya iyalah udah bisa, dari semester dua harus udah bisa; dua, manners yang tepat adalah untuk jawab sedikit, biar nggak dikatain sombong; tiga, ngomong salah atau bener pun, nggak ada artinya karena dalam radius 100m nggak ada yang bakal ngerti juga; empat, dikata boneka kali ya, dipencet langsung ngomong. Kan pasti bingung, mau ngomong apa. Perkenalan terlalu cliché, selain perkenalan, bingung milih topik. Akhirnya diem aja, awkward.
Rumpi ala Sastra
Ngobrol ala Sastra. (Sumber:Photo Credit: khowaga1 via Compfightcc)
Ini yang pasti sebagian anak sastra juga pernah ngelakuin. Salah satu benefit, bisa dibilang. Ketika kamu berada di suatu tempat yang ramai bersama temen-temen sejurusan, terus kamu mau ngomongin orang yang barusan aja lewat meja kamu. Bisik-bisik biasa bisa ketauan, ngomong pake bahasa Inggris, kemungkinan itu orang ngerti juga (I mean, who doesn’t? Unless you guys would speak like a pretentious snob so they wouldn’t exactly understand you.). Terus akhirnya kamu dan temen-temen ngomongin itu orang pake bahasa Jerman, Cina, atau malah bahasa Italia.
Terus kalian ketawa, terus orang yang diomongin nggak ngerti, terus kalian berasa keren dan berasa sastra banget.
Jujur-jujuran, pasti ada sebagian anak sastra yang dulunya masuk sastra hanya supaya nggak ketemu sama yang namanya matematika. Bung, pilihan tepat. Matematika adalah musuh abadi yang sudah lama tak bersua. Terakhir liat soal matematika, mungkin ketika SBMPTN atau SIMAK. Atau malah pas UN SMA. Udah lama nggak liat angka, ‘kan? Perkalian nggak selancar dulu, gegara angka yang diliat kalo nggak nomor halaman ya tahun dan tanggal. Eits, kalo duit beda cerita ya.
Mungkin nanti akan kelabakan ketika lihat soal ujian masuk S2 yang ada matematika dasar atau TPA yang pake itung-itungan, tapi setidaknya selama kuliah S1 nggak perlu berurusan sama sincostan dari trigonometri dan nggak perlu kenalan lebih lanjut sama yang namanya kalkulus.
Novel
Kami nggak sembarang baca buku. (Sumber:Photo Credit: Kemm 2 via Compfightcc)
Mungkin dulunya nggak pernah nyangka kalau ternyata novel itu cuma untuk dibaca. Anak sastra harus menghadapi novel-novel klasik, berbahasa asing, dan harus dibaca karena itu novel bakal dijadiin bahan UTS atau UAS. Perkara lebih runyam lagi ketika itu novel harus dianalisis lewat mata kuliah kritik sastra, dan harus membuahkan makalah. Entah karena terlalu runyam, anak sastra pun akhirnya bersotoy-sotoy ria menganalisis itu novel yang penting jadi 10 lembar dan dikumpulkan. Isinya bisa analisis, bisa juga curhat, atau cuma jadi retelling, karena kamu berjiwa storyteller alias pendongeng.
Terus tetiba nilai di SIAK C+, entah dari mana juntrungannya, dan kamu hanya bisa menengadah, mengingat-ingat kamu nulis apa di makalah.
—
Nah klo tadi kamu udah baca tentang curhatan mahasiswa dari sastra UI. Ini ada dari tetangga belakang fakultas FIB yaitu Fasilkom. Yuk simak tulisan tentang curhatan mereka di sini.
Kalo kamu anak sastra, kamu pasti pernah atau akan mengalami hal-hal di atas. Ayo share tulisan ini via Facebook, Twitter, dan Line supaya teman-teman sejawat yang juga anak sastra menyadari hal ini dan mereka yang bukan sastra juga ngerti, gimana ribetnya jadi anak sastra.
Teater itu salah satu kegiatan di UI yang hampir ada di setiap fakultas. Bahkan ada beberapa fakultas yang punya grup teater lebih dari satu di dalamnya, karena beberapa jurusan punya grup teaternya sendiri. Banyak anak UI yang tergabung dalam grup teater, bahkan ada juga yang baru kenal teater pas maba karena ikut lomba teater tingkat fakultas, dan dilatih oleh senior-seniornnya. Tambah banyak deh tuh, mahasiswa yang terlibat teater. Nah, di bawah ini ada 5 hal yang dirasakan oleh anak teater di UI.
Suara Perut
Suara Perut (Sumber: teatersastraui)
Ya, kamu yang anak teater jadi akrab sama suara perut, and now you really know how to be loud. Berkat suara perut, mungkin nanti kalau kamu nonton bola dan dukung tim kesayangan, kamu nggak perlu kehilangan suara karena teriak-teriak sembarangan, kamu pake suara perut. Lebih berguna juga kalau kamu mau manggil tukang ojek. Dengan menguasai suara perut, anak teater otomatis ngerti banget volume suara dan bisa mengatur pada siapa suara mereka mau terpusat. Lumayan tuh buat ngobrol bisik-bisik di kelas atau nyeletuk-nyeletuk lucu.
Kalau kamu terlibat dalam produksi suatu pertunjukan sebagai seorang yang mengurusi dekorasi dan properti, atau kamu jadi pemain dan sedang dilatih detail oleh sutradara, kamu akan sangat-sangat ditekan untuk memperhatikan detail. Alhasil, anak teater ini jadi benar-benar memperhatikan detail terhadap segala sesuatu, meskipun di luar produksi teater. Jadi observer atau pengamat. Gerak-gerik sampai warna, bahkan kamu bisa lebih aware sama yang namanya blocking. Ini berguna kalau ada gebetan di kantin yang duduk di suatu tempat, kamu bisa memilih tempat yang paling strategis untuk memperhatikan dia karena kamu jago blocking.
Ini sebenernya lebih tertuju pada pemain yang ada di atas panggung. Mau nggak mau, kamu yang dilatih intensif untuk menjadi seorang tokoh, pasti ketularan sama itu tokoh. Kamu pasti masih hapal beberapa detail gerakannya, cara jalan, cara ngomong, cara noleh. Semuanya. Apalagi kalau udah sering main atau nonton teater, kadang pemain yang total bakal menyadari detail-detail suatu tokoh, karakternya, dan kalau dia suka, karakter itu bisa diserap masuk layaknya tokoh yang dia pernah peranin. Keren abis. Kamu seakan punya beberapa kepribadian sekaligus, and it’s all acting.
Ini salah satu sisi yang agak negatif. Kenapa? Karena kamu kini tak lagi bisa sepenuhnya menikmati yang namanya sinetron Indonesia karena percaya atau tidak, selalu ada akting pemainnya yang bikin kamu mau ngasih saran. Bukan berarti mau nge-judge, tapi kamu punya beberapa opini untuk sinetron itu. Ayolah, kamu tahu kan sinetron Indonesia saat ini, yang entah kenapa sekali tayang bisa 12 kali bilang salam, dan kalau bawa-bawa siluman kesannya semua orang mengerenyit? Anak teater pasti punya satu-dua hal yang ingin disampaikan mengenai hal itu.
Di Bawah Sorot Lampu
Di bawah sorot lampu. (Sumber: goestiqball)
Kamu yang anak teater dan jadi pemain pasti pernah ngerasain ini, sama halnya kaya penyanyi yang naik ke atas panggung atau orang yag harus ngasih pidato. Di bawah sorot lampu selalu menyenangkan buat mereka yang tau cara menikmatinya, tapi di bawah sorot lampu pun nggak selalu enak. All eyes on you itu nggak selalu enak.
Nervous itu selalu jadi bagian buat mereka, meskipun udah berpengalaman sekalipun. Tapi ketika udah bisa ngontrol nervous, mereka yang anak teater bakal bisa mengontrol dirinya dan “menggerakkan” alur. Mereka akan selalu tahu apa yang harus dikatakan karena mereka beraksi dan bereaksi di saat bersamaan, semua tempat bisa jadi panggung dan mereka bisa jadi selalu berada di bawah sorot lampu.
—
Kamu anak teater juga? Pasti punya sesuatu yang lain untuk ditambahkan?
Yuk, share tulisan ini via Facebook, Twitter, dan Line dan lihat siapa yang setuju soal ini dan siapa tau ada temen kamu yang anak teater juga dan bisa elaborate gimana sih anak teater itu.
Nongkrongnya mahasiswa nggak selalu di mall atau di kafe-kafe. Bukan juga yang sekadar ngobrol, tapi yang ada manfaat tersendiri bagi mereka. Salah satunya adalah “nongkrong nyeni”, atau nongkrong di tempat-tempat yang berhubungan dengan budaya dan seni. Nah berikut ini adalah tempat-tempat nongkrong yang terkenal dengan segala aktivitas budaya dan seninya.
Salihara
Salihara juga biasa ngadain diskusi. (Sumber: Facebook Salihara)
Siapa yang nggak tau Komunitas Salihara yang ada di Pasar Minggu? Komunitas Salihara ini bisa dibilang salah satu komunitas seni dan budaya yang sangat aktif. Mulai dari ngadain diskusi tentang seni dan budaya seperti novel, tari, dan teater. Salihara juga kadang jadi rumah untuk mengadakan konser-konser musik, baik dalam maupun luar negeri.
Program-program kumpul diskusi sastra, lokakarya, sampai kelas menulis diadakan di Komunitas Salihara. Untuk mahasiswa yang bukan hanya bisa menghargi seni, tapi juga berjiwa dan ingin berkontribusi dalam seni dan budaya, ada baiknya untuk mulai berkunjung dan bergabung ke Komunitas Salihara.
Ini yang paling terkenal. Taman Ismail Marzuki adalah pusatnya seni dan budaya di Jakarta. Di TIM, semuanya ada. Dari pementasan tari, teater, seni rupa, sampai ke screening film. Bahkan, mungkin jodoh kamu juga ada di situ. Bicara tentang screening film, yang sedang gencar adalah Kineforum yang didukung sama DKJ dan TIM sendiri.
Kineforum ini mengadakan program screening atau penayangan film-film (kebanyakan film lokal) yang berkualitas namun tidak masuk ke bisokop komersil. Bukan berarti film ini nggak laku loh ya, tapi karena memang film-film ini nggak sembarangan. Speaking of komersil, nonton di bioskop Kineforum itu gratis. Serius. Yang lebih keren lagi, tiketnya terbatas. Kapasitasnya 45 orang, dan tiket nggak bisa dipesan tapi harus diambil mulai dari satu jam sebelum pemutaran film.
Nah, buat kamu yang sudah sampai di XXI di TIM dan kecewa lihat deretan filmnya, atau kecewa lihat dompet yang nggak mencukupi, kamu bisa ke bioskop Kineforum yang ada di belakang gedung XXI itu, dan mendapatkan tiket gratis untuk nonton film yang nggak kalah berkualitas dari yang ditayangkan di XXI.
Institut Franҫais Indonesia (IFI)
Belajar tentang Prancis di IFI Indonesia (Sumber: ifi-id.com)
Prancis nggak cuma tentang menara Eiffel. Kamu yang ngaku suka Prancis dan pengen tahu hal-hal tentang Prancis, bisa mengunjungi Institut Franҫais Indonesia yang ada di Thamrin atau yang ada di Wijaya. Ada apa sih, di situ? Banyak! Di situ ada pemutaran film yang rutin diadakan dan gratis! Lalu ada juga konser musik (biasanya musik klasik tapi ada juga musik kontemporer) dan juga diskusi film atau diskusi buku. Selain itu, kamu juga bisa tahu info-info untuk belajar ke Prancis. Di IFI ini juga ada perpustakaan yang isinya buku-buku Prancis dan bisa kamu pinjem, loh.
Goethe Institut
Goethe Institut (Sumber: goethe.de)
Jerman juga punya pusat budaya atau cultural center, yaitu Goethe Institut yang ada di Jalan Sam Ratulangi. Kamu yang suka sama Jerman bisa main ke situ, main ke perpustakaannya atau ikut nonton pemutaran film yang sering diadakan. Bahkan kamu bisa les bahasa Jerman di situ dan kamu bisa ketemu orang-orang yang juga suka segala sesuatu tentang Jerman.
Kampus UI
UI juga suka bikin acara seni dan budaya. (Sumber: adhirachmanprana)
Bentar, bentar. Nongkrong di kampus? Iya! Kata siapa kalau mau nongkrong nyeni harus keluar kampus? Di kampus UI kamu juga bisa nongkrong nyeni. Mahasiswa-mahasiswa sering mengadakan berbagai acara seni dan budaya di area kampus. Mulai dari konser-konser musik macam JGTC dan Jingga Blues Festival, pementasan teater, pementasan tari, nge-jam di kantin, lomba mural, lomba dan pameran fotografi, bahkan lomba teater tahunan gede-gedean kaya Petang Kreatif yang diadain Festival Budaya FIB! Semua acara-acara itu dibikin sendiri sama mahasiswa. Nongkrong nyeni di kampus bukan cuma dateng dan menikmati seni, malah bisa ikutan ngurusin acara seni, bahkan ikutan lomba seni.
Nah, kamu yang suka nongkrong nyeni, ayo share tulisan ini via Facebook, Twitter dan Line supaya mereka yang mau nongkrong nyeni tapi nggak tau tempatnya bisa dateng ke tempat-tempat berikut, siapa tau ketagihan dan dateng terus.
Di lembar baru ini, aku ingin mencurahkan semuanya kepadamu, betapa merananya hati ini. Mentari pun seakan enggan menghapus pilu yang mendalam, begitu mendengar untaian kata kosong yang menyayat dada, meski tak niat untuk kudengar. Merasuk memaksa masuk ke dalam sukma batin, mengoyaknya lebar-lebar, dan meninggalkannya menjadi lara tak terbendung. Bagaimana tidak? Tawa yang terselubung makian di antara mereka, membuatku semakin kecil. Mengecil…. dan mengecil….
Duh, bohong banget kalo gue ngaku mengecil. Kalo duduk, kursi satu aja masih berasa kurang.
Nah, kalau tebak cuplikan di atas, pasti mayoritas orang akan menerka bahwa tokoh “penulis” merupakan mahasiswa dari Fakultas Ilmu Budaya.
YUP BENAR!
*tebar confetti*
*dan kemudian hening, hanya ditemani kumpulan jangkrik*
Tapi sekarang gue tanya, kenapa kalian nebaknya begitu? Karena FIB itu… identik dengan sastra… yang kalo berkomunikasi semua serba puitis – saking puitisnya sampe bingung sendiri karena nggak ngerti intinya apa – gitu? Unik juga, ya. Ternyata cukup banyak “pandangan umum” tentang anak FIB, sampai-sampai ada beberapa yang “sedikit” menjadi perhatian. Yuk mariiii kita coba lihat beberapa diantaranya.
Nah ini nih, ini. Ini pernyataan mainstream yang sering orang ucapkan.
Eh sebelumnya dulu nih, FIB terdiri dari 15 program studi, yang terbagi menjadi dua bidang: bidang sastra yang terdiri atas 11 prodi, dan 4 prodi lainnya adalah non sastra (Ilmu Perpustakaan, Arkeolog, Sejarah, dan Filsafat). Kalau masuk di bidang sastra, pasti orang bakal bilang, “Yahelah lo tinggal kursus aja juga kelar, kan?”. Sedangkan kalau menjadi bagian dari mahasiswa di bidang non-sastra… orang bakal bilang, “Lo mau jadi orang gila tanpa arah? Atau lo mau, gitu, masa depan lo cuma berakhir jadi abang-abang tukang jagain buku?”
Padahal tidak sesepele dan separah itu. Gue merasa bahwa pekerjaan atau profesi tidak ditentukan oleh di fakultas mana ia dulu pernah menimba ilmu. Jaman sekarang, justru banyak orang yang kuliah di prodi X misalnya, eh kerjanya malah melenceng jauh dari apa yang sudah ia pelajari selama 4-6 tahun. Mungkin karena faktor jumlah penduduk yang semakin membludak tetapi tidak seiring dengan meluasnya lapangan pekerjaan. Tapi, itu justru salah satu keuntungan jadi anak FIB yang menurut gue cukup fleksibel dalam mencari pekerjaan. Ke mana aja bisa kok, asalkan bisa mencari peluang dengan cerdas dan memanfaatkan peluang dengan optimal dan benar.
Hasemeleh banget dah ah. Emang sih, Kansas (Kantin Sastra) selalu rame. Nggak pernah sepi. Bahkan, untuk beberapa kalangan, Kansas sering disebut dengan “Kompor-nya FIB”: panas pengap parah kalo udah masuk situ, saking banyaknya orang.
Tapi bukan berarti jadwal kuliah kita longgar. Bukan berarti kita nggak pernah ngalamin tugas setumpuk. Mulai dari ngurusin Subjek-Predikat-Objek sampai cara melafalkan huruf konsonan dan huruf vokal dengan baik dan benar aja pun kita pelajarin sampai direla-relain bergadang demi itu. Atau kalau belajar Manajemen Rekod yang ampun-ampunan, atau baca-baca materi Metodologi Penelitian Epigrafi…
Ada kamera nggak ya, buat minta nyawa tambahan?
3. Lo milih FIB UI karena.. *dan kemudian memasang tampang penuh selidik*
Nape lo? Nape? Karena ngincer nama “UI”-nya aja, gitu? Memang sih, gue pernah melihat sebuah kasus yang “menarik” di Facebook dua tahun silam. Ada seorang siswa kelas 3 SMA, cowok, bertanya di sebuah page pendidikan yang spontan saja, mengundang “perhatian” hingga dikomen sebanyak seratus lebih. Dia bertanya,
“Kak, passing grade paling rendah di UI tuh, apa ya? Soalnya saya pengen banget nih kak, masuk UI”.
Yaa tak dipungkiri, passing grade terendah dipegang oleh salah satu prodi di FIB. Tetapi, bukan berarti kita masuk FIB demi UI-nya aja. Kita masuk FIB karena tekad yang kuat dan kesadaran penuh atas minat-bakat dan keinginan ke depannya mau jadi apa. Ada juga sih memang, orang-orang yang menjadikan FIB sebagai “tempat terpaksa”-nya. Tapi kan itu semua ada “balesannya”. Percaya dong, kalo semua itu berawal dari niat?
Duh! Gue aja paling nggak bisa kalo udah urusan puisi, ngegombal, berpantun ria… Nggak semua anak FIB jago ngegombal! Dan itu tandanya, nggak semua anak FIB punya pacar *langsung showeran*.
Di FIB, nggak cuma mempelajari bagaimana caranya menguntai kata-kata demi menarik lawan jenis. Ada kalanya anak FIB pun mau nggak mau mempelajari itung-itungan layaknya anak eksak, meskipun dengan konteks yang tak sama.
Anak FIB bukan pula berarti seorang mahasiswa yang demen ngelamun di pinggir danau, menikmati semilir angin dan berlarian sendiri di tengah imajinasinya. Ada kalanya anak FIB meneliti. Masalahnya, objek penelitian anak FIB itu “bergerak”, tidak “diam” seperti ranah eksaskta. Justru kita sebagai peneliti yang “diam”, karena kalau kita “gerak”, penelitian kita bisa-bisa nggak objektif. Nahlo!
Duuuh salah nih, ngebiarin cowok-cowok berkeliaran di tengah wilayah kami? Lumayan kan, buat seger-seger mata? Sama seperti yang udah ditulis di nomor 3, gue yakin mereka – kaum pria yang berani membuat keputusan – memilih FIB karena mereka tahu kedepannya mau jadi apa dan mau ngapain, sehingga untuk mencapai itu semua, salah satu step-nya adalah menjadi bagian dari mahasiswa FIB. Lagian bagus, kan, cowok kayak gitu? Untuk dirinya sendiri aja bisa bertahan dan berani ambil risiko tanpa peduli apa yang orang lain pikirkan, apalagi untuk ngeperjuangin kita buat jadi pendamping hidupnya? #savecowokcowokFIB :’)
—
Naaaah gimana? Gimana gimana gimana? Intinya sih, fakultas itu hanya perkara pilihan, suara hati. Bukan tempat pembeda ini-itu, apalagi tempat pelarian. Nggak salah dong, kalau seandainya nanti nggak sengaja ketemu anak FIB yang ngomongin statistik dengan semangat ’45, atau nemuin anak FMIPA yang lagi berpantun-pantun ria di pinggir danau.
Karena “fakultas” hanyalah “sebuah tempat” untuk kita belajar dan berkreasi di dalamnya 🙂
mau tahu, Puisi yang keren2….? dan para pujangga Sastra UI..? come n join us.. Petang Puisi “Indonesia, Mau Kemana?” Teater Sastra Universitas Indonesia bekerjasama dengan ILUNI FIB UI Hari dan tanggal : Rabu, 30 Mei … Baca Selengkapnya
Salam Langit Sastra, Kami ucapkan terima kasih atas atensi yang luar biasa kepada semua yang telah membaca apalagi membeli Majalah Katajiwa. Sekali lagi kami mengundang anda semua untuk menulis di sini Apa yang bisa ditulis … Baca Selengkapnya
Menyaksikan sastrawan dari negara-negara serumpun di acara Temu Sastrawan Nusantara Melayu Raya (Numera) yang telah berlangsung dari tanggal 16 hingga 18 Maret 2012 di Padang, Sumatera Barat, membawa kita ke sebuah pemikiran konstruktif agar bagaimana … Baca Selengkapnya
Forum Bahasa dan Sastra, sebuah acara tahunan Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, menyelenggarakan lomba sastra (cerpen, puisi dan fotografi), pameran sastra (karya lomba) dan talkshow dengan pembicara-pembicara ternama di bidang sastra FORUM BAHASA DAN … Baca Selengkapnya
Lomba FBS (Puisi, Cerpen dan Fotografi) diperpanjang sampai 30 September 2011 Kabar gembira bagi kamu yang baru mengetahui adanya lomba forum bahasa dan sastra (FBS) atau bagi kamu yg sedang mempersiapkan karya terbaikmu. Penerimaan dan … Baca Selengkapnya
Sastra adalah bagian dari banyak hal yang tersingkirkan dan terpinggirkan di Indonesia. Sastra telah terposisikan sebagai sesuatu yang aneh dan tak berguna. Bahkan sama sekali tidak memikat, menghibur, apalagi memberikan masukan bagi kehidupan. Kini sastra … Baca Selengkapnya
Sumber: http://untuksastraindonesia.wordpress.com/gerakkan-jemarimu-bergabunglah/ Kirimkan Naskahmu! Bagaimana bergabung di dalam proyek ini? 1. Tentukan apa yang ingin kamu tulis. Boleh puisi, cerpen, prosa, dan esai. Tema yang diangkat adalah“Semua Bergerak untuk Sastra Indonesia”. 2. Download template dari nulisbuku.com … Baca Selengkapnya
Melodi Kansas merupakan acara pergelaran musik yang diselenggarakan oleh Senar Budaya FIB. Acara ini mempersembahkan pentas seni musik yang dibawakan oleh berbagai band di UI. Berbagai band ini tentunya mempunyai potensi yang luar biasa dan … Baca Selengkapnya
Humaniora Islamic Festival 2010 Menyelami Budaya, Menzikirkan Cakrawala 27-29 Desember 2010 @Auditorium Gedung IX FIB UI Senin, 27 Desember 2010 pukul: 13.00-18.00 WIB – Saman Shivanataraja* – Seminar Sastra: Penulis Ayat-ayat Cinta & ketika Cinta … Baca Selengkapnya
Sketsa Robot 2.0: Mempertanyakan Pendidikan, Menertawakan Masa Depan Sinopsis “Pendidikan tanpa uang adalah omong ko…song!” Demikian ujar ketua panitia seleksi mahasiswa baru Universitas Robot Indonesia (URI). Tentu saja pernyataan itu adalah pernyataan yang biasa bagi … Baca Selengkapnya
Festival budaya yang tahun lalu sempet vakum akirnya balik lagi dengan mengusung tema larik aka perhelatan rumah insan kebudayaan. Acara yang dilakukan untuk memperingati hari ulang tahun fakultas ilmu budaya universitas Indonesia. Acara ini dimulai … Baca Selengkapnya
Dalam rangka memperingati hari lahirnya yang ke 25, Teater Sastra Universitas Indonesia dengan bangga mempersembahkan sebuah pementasan teater yang berjudul “Tragedi Macbeth”, karya William Shakespeare, yang diterjemahkan dan disutradarai oleh I. Yudhi Soenarto. Sinopsis: “Salam, … Baca Selengkapnya