Sedikit mundur ya ke euforia hari raya Idul Fitri. Sudah maaf-maafan dengan orang-orang terdekat? Saya alhamdulillah sudah. Kebetulan tradisi di keluarga saya adalah sungkeman—tentunya dengan orang yang lebih tua; dalam hal ini nenek, kakek, serta orang tua saya. Air mata rasanya mudah sekali jatuh ketika permintaan saya dijawab tidak hanya dengan persetujuan tapi juga dengan doa agar hidup saya lebih baik—setahun ke depan ataupun sampai nanti, terus.
Buat saya, setengah berdiri dan menundukkan kepala pada orang tua sambil memohon maaf sedalam-dalamnya itu bukan merendahkan diri, atau sekedar upaya penghapusan dosa selayaknya makna idul fitiri itu sendiri. Buat saya hal itu adalah tindakan paling sederhana yang bisa dilakukan untuk mengakui kesalahan, dan sebuahreminder untuk diri sendiri supaya malu untuk mengulanginya lagi.
Meminta maaf pada nenek dan kakek selalu tidak sedramatis meminta maaf pada orang tua saya sendiri. Walaupun kakek & nenek saya juga sukses membuat air mata saya jatuh karena pesan dan doa mereka yang buat saya mahal sekali—“Selalu doain orang tua kamu ya Clar. Ayo cepat lulus bantu ayahnya..”
Tapi kebahagiaan buat saya adalah mendengar ayah menjawab permintaan maaf saya dengan—“Tetap jadi kebanggaan ayah ya kak,” atau memeluk ibu dengan begitu banyak air mata mengingat kami punya banyak sejarah perselisihan dan pertengkaran, semua karena keduanya terlalu menyayangi satu sama lain. Saya juga selalu bahagia setelah bermaaf-maafan dengan adik dan mengunjungi makam kakak. Rasanya Tuhan memberi mereka untuk mengajarkan saya supaya tau makna kebahagiaan lewat berbagi yang tidak kenal batasan, baik waktu maupun jumlah.
Apa dengan keluarga sudah cukup? Saya juga berusaha memaknai lebaran dengan maaf-memaafkan dengan orang-orang terdekat—sahabat, teman, dosen, atau siapapun lah yang ada di hidup saya. Lagi-lagi pertanyaannya, apakah itu sudah cukup untuk ‘kembali mulai dari nol’?
Memohon ampunan pada Allah tentunya selalu harus dilakukan, tapi yang sering saya lupa adalah untuk berdamai dengan diri sendiri. Untuk mulai dari awal lagi, kayaknya kita harus jauh-jauh ya dari yang namanya penyesalan. Memaafkan diri sendiri untuk hal yang telah dilakukan atau bahkan untuk hal yang seharusnya dilakukan tapi tidak itu sepertinya penting deh, setidaknya buat menjalani hidup setahun ke depan.
Saya sih nggak akan bilang memaafkan diri sendiri itu perkara mudah. Misalnya pada penderita gangguan stress pasca trauma—akan jauh lebih sulit untuk ‘mengobati’ mereka yang mengalami peristiwa traumatis yang terjadi karena kesalahan mereka—seperti lalai menggunakan listrik dan berakibat rumah kebakaran dibandingkan ‘mengobati’ korban kecelakaan pesawat yang kehilangan keluarganya. Sama seperti dalam hidup kita, akan lebih mudah memaafkan kesalahan orang lain kan, daripada kesalahan kita sendiri?
Tapi, kalau kita berhasil memaafkan diri sendiri, berarti impact buat hidup kita juga pasti akan lebih besar. Mengakui, lalu mengikhlaskan, dan yang paling penting berusaha sebaik mungkin untuk tidak mengulangi kesalahan sebenarnya cukup kok. Kuncinya balik ke diri sendiri, mau atau tidak mau. Jadi mau kan, hidup lebih sehat—secara fisik maupun psikologis?
If you want to start fresh, to walk free, to smile easily and to laugh sincerely—to be healthy physically and psychologically—you need to be true with yourself, forgive and learn from your own mistake. So, will you?
Sincerely yours,
Clarissa Rizky
Honestly. I wish I could forgive myself 🙂