Halo! Saya udah dua kali nulis tapi belum ngenalin diri, hehe 😀 Saya Clarissa Rizky, Young on top Campus Ambassador Universitas Indonesia yang sedikit sedikit mau berbagi soal apa yang saya tau, tapi kebanyakan sih apa yang saya rasa tentang apa yang saya rasa.
Bulan ini saya menulis lagi, tapi tidak tentang bangkit dari kegagalan, memaafkan diri sendiri dan berusaha untuk tetap persisten yang sepertinya harus jadi sesuatu yang dipelajari setiap hari, tapi tentang dua orang yang berperan luar biasa penting dalam hidup saya.
Kalau di psikologi perkembangan disebut significant others—orang-orang yang secara signifikan berpengaruh pada perkembangan anak mulai dari lahir hingga beranjak dewasa, atau singkatnya orang-orang yang penting dan sangat berperan pada penentuan arah kehidupan anak tersebut.
Iya, orang-orang yang kalau dalam wawancara pada anak kecil bisa diketahui dengan menanyakan “Kalau lagi terjebak di pulau terpencil dan harus menunggu sehari sampai bantuan datang, kamu mau ditemani siapa?” Harusnya jawaban anak itu bisa sedikit banyak bisa menggambarkan siapa yang membuat ia merasa nyaman, aman dan tentunya tenang karena orang tersebut lah yang paling berperan dalam hidup, dan tentunya kebahagiaan anak tersebut. Orang-orang tersebut lah yang menempati urutan paling atas dari daftar orang-orang yang anak itu sayangi. Biasanya, orang tua.
Kalau anak kecil itu saya yang masih berusia 7 tahun sih saya akan dengan sangat yakin minta ditemani ayah dan mama—panggilan untuk orang tua saya. Kalau ditanya sekarang, ketika saya sudah berusia 20 tahun—saya butuh waktu beberapa saat untuk menjawab karena akan ada pertanyaan-pertanyaan seperti “Memang berapa lama nunggunya? Boleh berapa orang? Boleh minta ditemani barang juga nggak?” Jawaban saya tidak akan bisa sespontan jawaban saya versi usia 7 tahun, walaupun mama dan ayah tetap akan jadi orang-orang yang disebut pertama. Lalu pertanyaannya, apa perasaan sayang saya pada orang tua berubah? Katakanlah, berkurang?
Saya sadar, seiring berjalannya waktu saya berkembang dan akan menemui orang-orang baru—yang juga kemudian menjadi significant others dalam hidup. Saya juga belajar di beberapa mata kuliah di kampus—kalau seiring perkembangan usia seorang anak, maka sumber kebahagiaannya pun semakin bervariasi—tidak hanya dari rumah.
Sama seperti pada diri saya, akan ada saat-saat dimana saya lebih memilih untuk menghabiskan waktu untuk menonton tv show favorit di kamar, mengerjakan tugas, pergi bersama teman-teman, atau ikut kegiatan di kampus daripada menghabiskan waktu bersama keluarga. Semua kesibukan itu sering membuat saya lupa, betapa berharganya waktu yang saya punya bersama keluarga, terutama orang tua.
Kemarin, saya harus cepat-cepat menghapus air mata yang hampir jatuh ketika saya membantu mama menyeberang jalan. Saya seperti diingatkan kalau ia bertambah tua setiap hari. Mama yang biasanya melindungi saya dari apapun, sekarang sudah menjadi sosok yang harus saya lindungi. Ia memegang tangan saya dengan erat setiap kami menuruni tangga.
Kemudian saya memperhatikan ayah yang sekarang mengemudi dengan kecepatan yang jauh lebih lambat dari sebelumnya simply karena matanya tidak sesehat dulu lagi. Saya teringat ekpresi wajah teman baik saya di SMA yang baru saja kehilangan ayahnya yang terkena serangan jantung—dan kemudian membuat saya dilanda ketakutan ditinggal ayah sebelum saya melakukan banyak hal untuk beliau.
Saya takut kehabisan waktu untuk bersama mereka. Lagi-lagi, saya harus memaafkan diri saya yang sudah sedikit banyak lupa untuk menghargai setiap kesempatan yang diberikan Tuhan. Bahwa setiap beberapa menit makan malam yang kami habiskan berempat untuk saling tukar cerita tentang hari masing-masing itu sebuah anugerah. Bahwa setiap permintaan tolong mama untuk melakukan suatu hal bisa saja jadi hal terakhir yang ia minta. *sambil ketok-ketok meja*
Saya nggak mau membayangkan hari dimana mereka pergi, sekarang saya janji untuk selalu berusaha memanfaatkan waktu yang ada untuk mereka. Bukan hanya menghabiskan waktu yang berkualitas bersama dengan ayah dan mama, tapi memastikan bahwa saya menjalani hidup yang bisa membuat mereka (semakin) bangga karena memiliki saya sebagai anak. Karena saya tau, mereka adalah dua orang yang selalu bangga akan diri saya maka yang saya harus lakukan adalah memastikan mereka semakin bangga, dan selalu bahagia.
Kamu, juga mau kan?
Yuk, manfaatkan waktumu dengan optimal. Bukan hanya buat kamu, tapi buat mereka—karena menurut saya sukses nggak akan ada artinya tanpa keluarga yang bisa diajak berbagi :—)
Sincerely yours,
Clarissa Rizky
Tujuan banget ya cha ngebanggain orang tue :). Their happiness is ours 😀
Iya banget vaaa :”) Setuju, their happiness is ours!
semoga banyak yang baca, biar mahasiswa gak mikirin nilai bagus sama masa depan doang, tapi mikiein keluarga juga, two thumbs up.
setuju banget
terus berusaha berbuat baik pada ayah dan ibu adalah kunci kebahagiaan
ceritanya menyentuh banget :'(