The Real Leadership Exercise: Gerakan Indonesia Mengajar [1]

Sumber: milis ILDP, share dari Tri Mukhlison Anugerah

Senin, 14 Juni 2010, sembilan orang anak muda perwakilan Ikatan Alumni-PPSDMS datang ke kantor Indonesia Mengajar. Malam itu adalah program perdana Silaturrahim Tokoh Nasional Inspiratif. Untuk edisi perdana ini, kami memilih Anies Baswedan, penggagas Gerakan Indonesia Mengajar. Anies adalah sosok rektor muda, penuh semangat, segudang ide kreatif, dan namanya cukup disegani di kalangan akademisi level nasional maupun internasional saat ini. Kunjungan kami bermaksud untuk mencari inspirasi dari cerita dan pengalaman Anies Baswedan.

Malam itu saya datang bersama Habibi Yusuf Sarjono dan Dasril Guntara. Kami janji bertemu di bagian belakang masjid Al-Azhar Kebayoran Baru. ”Lagi di mana?” ujar Dasril lewat hape. ”Di masjid Al-Azhar,” jawabku singkat. Tak berapa lama kami bertemu. Ia terlihat melambai-lambaikan tangan dari kejauhan bersama Habibi. Saya lalu menghampiri mereka.

Saya lihat jam di hape pukul 18.55. Kami tak ingin terlambat bertemu Anies Baswedan. Maklum, kami sudah janji datang jam 19.00 teng. Kami putuskan segera berangkat menuju Jalan Galuh 2 no 4 Kebayoran Baru. Dengan berat hati kami terpaksa meninggalkan Hasan dan Rizky, yang masih berada di depan Mabes Polri. Alhamdulillah, kami datang tepat waktu jam 19.00. Jarak masjid Al-Azhar tak terlalu jauh dari kantor Indonesia Mengajar, sekitar 300 meter saja. Sesampainya di alamat tersurat, awalnya agak ragu apakah benar rumah mewah ini adalah kantor yang kami maksud. Jangan-jangan kami salah alamat. Kan tengsin, masuk-masuk pagar rumah orang, lalu salah alamat. Akhirnya kami disambut seorang staf di kantor tersebut. ”Pak Anies-nya ada mas?” tanyaku untuk kroscek. ”Ada,” jawab staf tersebut. Berarti benar ini alamat yang dimaksud. Kami lalu masuk lewat pintu utama.

Masuk pintu utama, kami dihadang gambar menarik. Sebuah foto Bung Karno sedang menuntun masyarakat di daerah terpencil yang sedang belajar membaca. Saya tidak tahu pasti dimana daerahnya. Tangan kiri Bung Karno menunjuk beberapa huruf yang ditulis dengan kapur di sebuah papan. Ada empat baris tulisan A-I-U-E-O. Ia dikerumuni masyarakat yang saat itu, masih banyak yang buta huruf. ”Sungguh inspiratif,” pikirku dalam hati.

Di dalam ruangan pertemuan di lantai dasar, sudah ada teman-teman yang hadir lebih awal, Yogi Alwendra, Muhammad Syaiful Anam, Yanuar Agung dan Dessy Amirudin. Mereka baru saja pulang kerja. Salut buat mereka berempat. Hasan dan Rizky baru bisa hadir 20 menit berikutnya, setelah muter-muter dan nyasar. Mereka dijemput Agung di perempatan tak jauh dari kantor Indonesia Mengajar.

Kami chit-chat. Biasalah, update dan saling tukar informasi. Setelah menunggu sekitar setengah jam, teman-teman mulai gelisah. “Sholat yuk”, kata Yogi memberi ide mengisi kekosongan waktu. Menurut informasi pegawainya, Anies Baswedan ternyata sedang ada rapat di lantai atas. Tak apalah. Kita tunggu saja sebentar. Snack pun dihidangkan di hadapan kami.

”Assalamu’alaikum,” ucap seorang pria berkacamata, berkemeja kotak-kotak, ketika masuk ke ruangan rapat di tempat kami menunggu. “Wa’alaikum Salam Warah Matullahi Wabarakatuh,” jawab kami serempak. Tanpa komando, kami berdiri dan pria itu menyalami kami satu persatu sambil berkenalan menyebutkan nama masing-masing.

Namanya Hikmat Hardono. “Saya hanya bantu-bantu mas Anies saja di sini,” ujarnya merendah. Hikmat Hardono adalah Direktur Program Indonesia Mengajar. “Mas Anies sedang ada rapat, mungkin sebentar lagi selesai kok,” ujarnya menenangkan kami.

Hikmat membuka obrolan dengan kami. Ia menjelaskan sekilas penjelasan teknis mengenai program Indonesia Mengajar. Menurut Hikmat, Gerakan Indonesia Mengajar merupakan program yang lahir atas dasar keprihatinan terhadap dunia pendidikan di Indonesia, khususnya di luar Jawa. Ia menyebutnya dengan istilah ”daerah”. Tapi saya lebih nyaman membaginya dengan terminologi Jawa dan Luar Jawa. Ada kesenjangan antara pendidikan di Jawa dan di luar Jawa. Dari segi kualitas, infrastruktur, dan persebaran guru.

Fakta yang ditemukan Tim Gerakan Indonesia Mengajar menunjukkan bahwa di daerah terpencil, sebanyak 66 persen sekolah kekurangan guru. Uniknya, 68 persen sekolah di perkotaan mengalami kelebihan guru. Indonesia Mengajar perlahan tapi pasti ingin mengikis kesenjangan itu. Indonesia Mengajar merekrut lulusan terbaik dari perguruan tinggi, yang kemudian diberi training untuk menjadi pengajar muda, lalu mengirimnya ke sekolah-sekolah di daerah terpencil selama setahun.

Sejauh ini, baru ada lima daerah pilot project Gerakan Indonesia Mengajar, yaitu Kabupaten Bengkalis (Riau), Kabupaten Tulang Bawang (Lampung), Kabupaten Paser (Kalimantan Timur), Kabupaten Majene (Sulawesi Barat), Kabupaten Halmahera Selatan (Maluku Utara).

Sarjana muda yang dijadikan pengajar muda ini, akan hidup (live-in) di sebuah rumah yang telah dipilihkan oleh perangkat RT/RW di daerah yang dekat dengan sekolah yang ditunjuk. Sengaja rumah yang akan ditempati tidak dipilih tim Indonesia Mengajar, agar ada proses kesepakatan dan penerimaan dari masyarakat, mulai dari RT, RW, Lurah, dan sampai di tingkat lebih atasnya lagi. Sehingga, hal ini tidak akan mengganggu stabilitas tatanan sosial di masyarakat.

Ada empat hal yang minimal harus dilakukan pengajar muda dalam program Indonesia Mengajar. Mengajar di SD, terlibat dalam ekstrakurikuler SD (pramuka, kesenian, keterampilan) , melakukan pendidikan masyarakat (bantu-bantu pak Lurah, Karang Taruna, Acara 17 Agustus-an), mendorong perluasan jaringan dan advokasi pendidikan masyarakat (mencari bibit siswa berbakat).

Minimal, outcome dari pihak sekolah yang diharapkan dari program ini, nilai UAS para murid bisa meningkat, tingkat kelulusan juga diharapkan meningkat, dan terakhir, tingkat absensi bisa mencapai level lebih baik lagi. Itu batas paling minimalis.

Sekitar setengah jam kami ngobrol, sosok yang dinanti-nanti pun tiba. Pria tinggi, tubuh berisi, rambut pendek-rapi sedikit bergelombang, tersenyum dengan mata sedikit terpicing, masuk ke ruangan memberi salam. Kami berjabat tangan. Ia menatap dalam-dalam tiap orang yang dijabat tangannya, sambil berkenalan saling menyebutkan nama.

Tepat sebelum Anies Baswedan masuk, kami sudah dihidangkan makanan nasi kotak. ”Monggo, sambil dimakan,” ujar Anies halus. ”Wong, makan aja bisa lebih didahulukan daripada shalat,” lanjutnya lagi berseloroh. Kami pun tertawa mendengarnya, sambil membuka nasi box yang berisi lauk cukup komplit itu. Ada nasi, ayam goreng kecap, kentang pedas campur hati, dan tak lupa lalapan timun dan daun kemangi. Lezat sekali.

Anies bertanya seputar pekerjaan para alumni IA-PPSDMS yang datang malam itu. Kami larut dalam obrolan ringan. ”Mengapa mengajar, mengapa SD?” tanya Anam singkat dan tajam pada Anies. Anies tersenyum. Selesai makan malam bersama, Anies Baswedan mulai menjelaskan filosofi program Indonesia Mengajar. Penjelasannya diawali kata-kata yang tertulis di pembukaan UUD 1945.

”Coba renungkan”, ujar Anies.

”….Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”

Bagi Anies, empat hal yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945, terasa kurang tepat dianggap sebagai cita-cita bangsa. Ia lebih senang menyebutnya sebagai sebuah janji kemerdekaan. ”This is our promise,” ujar Anies Baswedan mantap.

Anies menjelaskan, memang pendidikan itu tanggung jawab pemerintah. Tapi, sebagai elemen anak bangsa, tentu kita juga bisa berpartisipasi membantu pemerintah. ”Ini call of duty (panggilan suci) kita berpartisipasi mewujudkan cita-cita nasional,” katanya.

”Coba Anda kunjungi orang yang ada di rumah mewah sekitar sini (kantor Indonesia Mengajar). Tanyakan ke mereka, 30-40 tahun lalu, siapa mereka. Mereka bukan siapa-siapa. Mereka bisa menikmati hidup berkecukupan, karena pendidikan,” ujar Anies meyakinkan kami.

Pendidikan menurut Anies, jangan sampai hanya terjebak pada rutinitas ajar-mengajar saja. Pendidikan harus bisa menjadi faktor percepatan rekayasa sosial (social engineering) suatu masyarakat. Mobilitas vertikal dimungkinkan dengan perbaikan pendidikan. Dengan pendidikan juga, seseorang memperoleh ilmu pengetahuan, jejaring, informasi dan berbagai macam akses yang luas.

Masalah krusialnya sekarang adalah pendidikan di Indonesia tidak merata. Baik dari segi kualitas, infrastruktur, dan juga persebaran gurunya. Ditambah pula, ada ancaman di tahun 2011 nanti, banyak guru SD yang akan pensiun. Sehingga, Indonesia akan sangat kekurangan guru SD dalam waktu yang serentak. Itulah mengapa SD dipilih menjadi target sasaran dari Gerakan Indonesia Mengajar. Disamping hasil kajian literatur yang dipelajari tim Indonesia Mengajar menunjukkan anak SD relatif lebih mudah dipengaruhi. Sekali tertanam doktrin positif dalam diri si murid, kelak ia akan sangat termotivasi untuk meraih sukses.

Gerakan Indonesia Mengajar bukanlah gagasan baru. Program ini mengacu pada project seperti Teach for Africa, Teach for Afganistan, Teach for All, dan sejenisnya. Di Indonesia sendiri pernah ada Program Pengerahan Tenaga Mahasiswa (PTM) yang digagas oleh mahasiswa UGM. Program itu menerjunkan mahasiswa-mahasiswa ke daerah-daerah yang kekurangan guru, dengan target tingkat SMA. Awalnya PTM hanya diikuti 8 orang mahasiswa UGM. Salah satunya yang kemudian menjadi “orang” adalah Koesnadi Hardhasoemantri. Sepulang mengajar di daerah, ia membawa siswa potensial untuk kuliah di UGM.[2] Koesnadi tentu taka sing di telinga alumni UGM. Setelah 2 tahun program itu berjalan, PTM berhasil menarik 1400 mahasiswa untuk terjun ke daerah-daerah (1200 mahasiswa UGM, dan sisanya dari universitas lain). Bahkan seorang seperti Emil Salim dari UI pun pernah ikut program ini.

“Jika ada orang-orang sukses di Indonesia saat ini, yang kuliah di tahun 60-an, dari daerah, langsung tanya aja, kenapa bisa sekolah di Jawa. Mungkin hampir pasti jawabannya karena PTM. You can name it,” ucap Anies menantang kami. Ia lalu menyebutkan beberapa nama orang sukses di Indonesia “hasil didikan” PTM.

Program PTM sangat efektif menarik minat pemuda-pemudi di daerah untuk berani bermimpi, menuntut ilmu sampai perguruan tinggi, tidak hanya di daerahnya, tapi juga di sekolah-sekolah terbaik di Pulau Jawa.

Profesional, Bukan Sekadar Amal

Jika ditanya, apakah program Indonesia Mengajar ini adalah kegiatan sukarela saja? Jawabannya: Tidak! Program ini dirancang Anies dan kawan-kawannya untuk dikelola secara professional.

Kerap kita temukan berita mengenai guru yang teraniaya karena tidak dibayar, diminta tetap ikhlas, diminta sabar, diminta menunggu haknya diberikan. Saya tegaskan, Anies ingin menghapus stigma itu. Gerakan Indonesia Mengajar mengelola pengajar muda secara profesional. Guru di program ini boleh berlega hati dan bisa optimal mengembangkan diri dan menggali potensi muridnya. Kebutuhannya dijamin. Pengajar muda yang tinggal di daerah terpencil akan dibekali sebuah laptop, projector, fasilitas pendukung internet, dan gaji yang lumayan cukup bagi seorang fresh graduate. ”Gaji Anda sebagai pengajar muda sama dengan fresh graduate yang masuk Unilever, itu clue-nya,” ungkap Anies. Ia kemudian menyebutkan angka pastinya. Tentu tidak etis jika saya sebutkan di tulisan ini. Tapi yang jelas, sangat menarik.

Penempatan pengajar muda tidak serta merta sendirian di sebuah daerah pelosok. Satu tim pengajar terdiri dari lima hingga sepuluh orang yang akan ditempatkan di satu kabupaten, namun berbeda kecamatan. Sekolahnya diupayakan berdekatan agar mudah untuk berkoordinasi. Jadi jangan terlalu khawatir merasa sendirian ketika beradaptasi di tempat baru.

Setelah setahun ikut program ini, Anda akan kembali ke kota. Kembali ke dunia Anda. Tak perlu takut, karena Gerakan Indonesia Mengajar telah bekerjasama dengan sponsor mereka. Anda punya peluang yang cukup besar direkrut menjadi karyawan di perusahaan yang cukup bonafid. Jikapun ada tes masuk perusahaan tersebut, mungkin hanya formalitas saja.

Bagi mereka yang ingin lanjut S2, Anda juga tak perlu khawatir. Dijamin Anda akan lebih mudah mendapatkan link beasiswa. Peluang Anda akan lebih besar dibandingkan pelamar lain yang tak punya pengalaman mengabdi di masyarakat. Ditambah lagi, surat rekomendasi dari seorang Anies Baswedan, tentu bukanlah hal yang main-main, bukan?

The Real Leadership Exercise

Berada di daerah baru dan terpencil merupakan tantangan yang akan memacu adrenalin Anda sebagai pengajar muda. Bayangkan, resistensi bisa datang dari guru-guru yang merasa terancam dengan keberadaan pengajar muda, yang multi-tasking. Ada unsur cemburu di sana. Belum lagi menghadapi kepala sekolah yang punya karakter beragam. Lebih payah lagi kalau bertemu kepala sekolah yang tidak open-minded. How can you deal with that?

Pengajar muda tak melulu berinteraksi di sekolah SD saja. Tentu, pengajar muda akan didorong berbaur dengan masyarakat. Rapat RT/RW, pengajian, arisan, kerja bakti, mengadakan kepanitiaan perayaan hari istimewa, dan sebagainya. Masyarakat punya ekspektasi tinggi terhadap pengajar muda. Bukan mustahil, ia tak hanya mengajar, tapi juga diminta menjadi pemimpin rapat desa, penceramah saat shalat Jumat, pemrakarsa perpustakaan warga, dan lain sebagainya. Pengajar muda diharapkan menjadi motor yang memberikan sentuhan berbeda kepada masyarakat di sekitarnya.

Sehingga, soft skill pengajar muda benar-benar ditempa, dilatih, dan diuji di sini. Manajemen konflik, manajemen waktu, manajemen kreativitas, dan aspek manajemen lainnya benar-benar digebyah-uyah. Turun langsung ke masyarakat merupakan bentuk aktualisasi diri dan sarana mempraktekkan teori-teori yang dulu hanya dipelajari secara text book di perguruan tinggi. Anda dulu mungkin seorang aktivis yang biasa menggerakkan mahasiswa. Itu terlalu gampang. Belum ada apa-apanya. Anda menggerakkan orang yang pendidikannya setara dengan Anda. Tapi, ketika berhadapan dengan orang yang berpendidikan rendah, percaya klenik, tradisional, kuno, tertutup, tentu butuh sebuah sentuhan berseni tinggi untuk meng-handle itu semua. Murid SD sebagai ”audience” Anda nanti, tentu merupakan sebuah objek eksperimen yang tak kalah sulit untuk ditaklukkan. Jika si pengajar muda mampu mencuri perhatian anak SD, dan membuat mereka mau mengikuti arahan darinya, maka itu merupakan bukti keberhasilan sebuah leadership exercise, di level mikro. Semua pengalaman itu bisa anda tuliskan dan laporkan, serta dibaca oleh orang-orang di Jakarta, atau dimanapun, melalui sarana facebook, twitter, ataupun e-mail. Temuan Anda di lapangan bisa saja unik, bahkan menggugah rasa kemanusiaan orang lain yang hidup lebih berkecukupan.

Dalam 30-40 tahun ke depan, jika program ini running well, Indonesia akan punya masyarakat yang mahasiswanya dulu pernah mengabdi di masyarakat. Ketika bertemu di parlemen dan ditanya, apakah dulu pernah mengabdi di masyarakat, tentu akan dengan mudah dijawab, ya. Dan jawabannya tidak sekadar ya. Tapi juga ada penjelasan yang detil tentang pengalaman berkecimpung dengan masyarakat di daerah terpencil.

Bayangkan, ketika orang-orang yang pernah jadi pengajar muda ini kelak menjadi politisi, pemimpin korporat, aparat pemerintah, atau bahkan seorang presiden sekalipun, tentu mereka akan punya bekal soft skill yang cukup untuk mengelola masyarakatnya dengan baik. Mereka punya nilai empati yang tinggi dan wawasan budaya yang beragam.

Kelak, profesional di bidang apapun, harus pernah mempunyai pengalaman mengajar di daerah terpencil. Kita bisa berbangga, anak muda kita selain berkualitas world class, di sisi lain juga rendah hati karena pernah merasakan hidup prihatin di masyarakat terpencil. Ketika ditanya orang lain tentang pengabdian, ia bisa dengan bangga menjawab, ”I have served my community & my country.”

Review dan Kritik

Anies Baswedan cukup nekat sebenarnya. Menurut pengakuannya, ia tak melakukan pre-test dalam program ini. Hanya mengandalkan hasil riset, dan hasil pengalaman KKN yang pernah dijalaninya. Ada plus, ada minusnya. Plusnya, ia benar-benar mewakili jiwa muda yang nekat, berani bereksperimen, dan tak tanggung-tanggung dalam berbuat sesuatu. Anies coba menularkan semangat itu kepada anak muda berbakat. Berani berbuat untuk bangsa.

Nilai minusnya, ya karena bagian dari bahan percobaan awal, Anda sebagai pengajar muda akan ditantang menghadapi semua permasalahan sosial dari nol. Belum tahu medan, belum bisa meraba masalah yang kemungkinan muncul di lapangan. Dan justru di sana letak tantangan yang harus ditaklukkan. Seorang sarjana harus membuktikan ke-sarjanaannya pada titik ini.

Gerakan Indonesia Mengajar masih terlihat belum optimal dalam kampanye. Khususnya untuk website, belum terlihat begitu komplit dalam menggaet ketertarikan calon pengajar muda. Hal ini terlihat dari belum adanya jadwal yang pasti dari program ini. Tentu, mahasiswa terbaik manapun, tak akan mau menunggu lama, apalagi menunggu sesuatu yang tidak jelas deadline dan jadwalnya. Ia akan cenderung lebih memilih tawaran menggiurkan dari kanan-kiri, yang lebih datang duluan ”menjemputnya” . Ini sebuah catatatan yang perlu diperhatikan oleh Tim Indonesia Mengajar.

Indonesia Mengajar diharapkan melahirkan momen dimana para pengajar muda menjadi ”Jendela Inspirasi” bagi anak-anak di pelosok Indonesia agar terbuka matanya, punya hasrat untuk maju, dan bercita-cita untuk kuliah dan menjadi orang besar di masa depan. Anies Baswedan terkenang pengalamannya saat KKN UGM dulu. Sebuah keluarga begitu terkesan padanya, hingga mereka melabeli Anies sebagai ”Mas KKN”. Keluarga tersebut pun bertekad agar kelak anaknya menjadi seperti ”Mas KKN”. Bisa kuliah di UGM. Dan hebatnya, harapan itu menjadi kenyataan.

Hari sudah semakin larut. Jam di hape saya menunjukkan pukul 22.15. Anies Baswedan sudah terlihat lelah. Raut mukanya menyampaikan itu pada kami. “If you buy this idea (Gerakan Indonesia Mengajar), then feel free to sell it. The margin is yours,” kata Anies sambil melempar senyum khasnya. Kami tertawa mendengarnya.

Sebelum pulang, kami tak lupa berkodak di depan sebuah foto seorang pengajar muda yang berdiri di depan kelas yang terlihat reot dari papan, ber-cat alakadarnya. Namun di bagian atas foto itu ada tulisan inspiratif, “Mengajar Setahun, Memberi Inspirasi Sepanjang Masa.” Bagaimana dengan Anda? Berani mencoba?

******

Untuk informasi selanjutnya, kunjungi: www.indonesiamengajar.org

3 thoughts on “The Real Leadership Exercise: Gerakan Indonesia Mengajar [1]”

  1. Ada satu pertanyaan di benak saya, sebenarnya darimana sumber dana dari kegiatan indonesia mengajar ini. Oiya andaikan pak anies jadi rektor UI mungkin ia akan mewajibkan program KKN untuk seluruh mahasiswa UI.

    Reply
  2. @Danar: sponsor program ini adalah perusahaan-perusahaan nasional jaringannya Anies Baswedan. Pada suatu kesempatan, beliau bertemu dengan para CEO perusahaan2 tsb, lalu menantang mereka utk turut berkontribusi dlm memajukan pendidikan Indonesia melalui program ini.

    Selain mendanai program ini, perusahaan2 tsb juga bersedia menampung para pengajar muda setelah mereka mengikuti program Indonesia Mengajar. Menurut penilaian mereka, para pengajar muda ini telah memenuhi banyak kualifikasi kepemimpinan yang dibutuhkan dalam perusahaan. Makanya di tulisan di atas disebutkan bahwa program ini tidak hanya amal, tapi juga profesional.

    Dan jangan khawatir, sponsornya bukan lembaga donor dari luar (pemerintah, NGO, perusahaan asing).

    Reply
  3. @bang habibi
    trims atas infonya,, klo saya liat daftar donor beasiswa di univ paramadina tercantum djarum,bakrie,newmont… Apakah di Gerakan Indonesia Mengajar ini perusahaan rokok dan perusahaan yang punya track record kurang baik misal beberapa perusahaan tambang yang diduga merusak hutan atau menggelapkan pajak dipersilakan untuk menjadi donatur program ini??

    Anyway,,, Program ini sangat menarik dan jujur saja tahun depan ketika saya lulus saya sudah punya ancar-ancar untuk bergabung dengan program ini karena visinya yang luar biasa,,,

    Reply

Leave a Comment