Tiarap

Tiarap. Mereka masuk ke dalam parit-parit. Dari sekian banyak tragedi peperangan yang mereka ikuti, kali ini penuh dengan interpretasi. Tapi, rakyat hanya tahu bahwa mereka mundur teratur. Masalahnya, apakah secara terhormat atau kemudian hari dilaknat? Lari dari kenyataan ataukah memang itu fenomena? O, mahasiswa….

Di sudut gang sempit Sunter atau Tanah Tinggi Senen, selalu ada cerita kepiluan anak-anak bangsa. Labirin-labirin yang tersusun rapi tapi kumuh menceritakan kisah sendu mereka di lembaran kertas script acara televisi. Menjual sederhananya rumah-rumah mereka. Menjual sepenggalan pekerjaan kasar ibu-ibu perkasa pemakan nasi aking. Setiap hari bahkan rating “genre” mereka selalu tinggi. Nada-nada antusiasme intonasi ala host Silet penuh amarah dan kesedihan. Selalu ada yang pilu. Selalu ada yang teriris miris. Titik sampai situ.

 

Mata mereka tak ingin berkaca. Bahkan, jika orang-orang “sok” perhatian itu, yang bertopang kamera-kamera plus naskah-naskah, datang sidak—bahasa sulitnya adalah meninjau, mereka tak peduli (atau tak mengerti) apa itu air mata? Gedung mewah menjadi penghalang matahari menyelinap di gubuk-gubuk mungil penuh tambalan. Gedung baru 1.1 triliun—persetan dengan itu semua—menjadi headline di koran-koran alas tidur malam hari. Urus apa mereka dengan fasilitas gila itu? Yang mereka tahu, matahari terhalang menyinari pagi. Yang mereka tahu, hari ini mereka tidak tahu: dapat uang dari mana dan dapat makan dari mana. 1.1 triliun hak mereka terampas dengan multivariat hitam kerakusan manusia.

Apa iya mereka sengaja diciptakan menjadi Bolshevik baru, di mana orang-orang di balik layar itu tertawa senang dengan teori-teori pertentangan kelas: berharap repetisi revolusi permanen berikutnya? Masalahnya, para kaum terdidik telah mereduksi analogi perannya sendiri di tengah pentas-pentas sejarah, termasuk di kampus ini. Jembatan antara elit dan alit terlalu jauh. Menjadi sangat elitis. Apatis. Kontra-alitis.

 

Kita butuh orang-orang reaksioner. Ini tentu lebih baik daripada ratapan seorang yang terobsesi dengan diamnya emas. Sinisme terhadap ketidakseimbangan sosial didapat dari perdebatan mengenai mana yang pantas mana yang tidak. Dari sini akan lahir aforisme. Lalu bagaimana jika perdebatan itu in absentia? Menunggu titah pemberi kuasa yang datang dari struktur atas piramida? Entah “atas” itu kamsud-nya apa. IRS bilang, “wallahu’alam.” Dependensi kaum terpelajar hanya berkhidmat kepada kemerdekaan berpikir dan bersikap. Jika tidak demikian, mungkin Afrika, Asia, bil khusus Indonesia tidak akan terlepas dari belenggu pembodohan totaliter kolonial. Kita butuh orang-orang peraih medali moral, mengisi karavan revolusi yang kesekian.

Elit eksekutif raib entah ke mana. Siapa dia? Entahlah, di Daerah Istimewa ini semua dapat menjadi ketua: fulan dan fulanawati. Bukankah cukup bermodal suara, sedikit strategi basi, dan kampanye simpatik untuk menghasilkan voters? Kita sebut saja dia sebagai Bunga (maaf, nama dan inisial disamarkan—halah!). Bunga dengan geng pusgiwa nan jauh di sana mungkin juga sedang asah otak. Tapi, duhai, kemana saja Tuan dan Puan? Ini sudah berlangsung lama: kisah duka nestapa mereka yang hidup di labirin-labirin sempit kompleks rakyat miskin kota. Sebelum Tuan dan Puan berjaya di sana, nelangsa mereka berlarut-larut telah bersua. Membasahi pipi-pipi abang-abang Tuan dan Puan. Mengapa Tuan dan Puan baru berpikir-pikir sekarang?

Kemana kau, nak mahasiswa?

Mereka yang ber-almamater nyaman belajar di ruang-ruang ber-refrigerant. Sesekali menekan tuts QWERTY, di Onyx baru hadiah papa. Mereka, elit-elit kampus yang terpilih secara tak acak menjadi penerus perjuangan post-historia. Agenda kerakyatan mereka artifisial. Slogan-slogan “hidup rakyat Indonesia” telah menguap dalam skenario pembusukan mahasiswa di ruang-ruang kelas. Dari kiri datang hanya bisa mencaci-maki. Dari kanan datang hanya haus kekuasaan. Dari tengah datang tak lebih dari figuran—bertafsir bebas: penggembira. Siapa yang masih setia bersabar dalam gerbong-gerbong kosong itu?

Ataukah mereka yang duduk euphoria mengenakan almamater dengan tampang sok imut di depan campers, di acara-acara televisi? Menjadi aktor bisu dalam narasi gagap 60 menit. 50 ribu untuk sepaket tawa, tepuk tangan, dan pertanyaan pura-pura. Kelas-kelas mereka bahkan penuh dengan kelicikan prestasi. Fraud! Menjual tropi idealisme dengan semangkuk kelulusan. Dari yang almamaternya terlipat rapi di pojok lemari, hingga almamater dekil karena digunakan untuk beraksi-ria di jalan raya: dari mahasiswa apatis hingga aktivis. Sungguh narasi klise.

Apa ini kekuasaan yang kalian ributkan di Pemira?

Bahwa tiarapnya seorang prajurit dalam parit hanya disebabkan tiga hal: 1) karena menghindari serangan musuh 2) karena melaksanakan strategi perang 3) karena takut peperangan. Lalu bagaimana konklusi semua ini? Silakan bertanya pada Bunga, karena kita hanya mampu berkeluh-kesah pada anak, calon bapak-bapak penghuni gedung mewah sana. ©

2 thoughts on “Tiarap”

Leave a Comment