Untuk Hati yang Menunggu Pagi: Hikmah Sengketa Pemira IKM UI 2009

Untuk semua yang kita dapatkan, kita akan kehilangan sesuatu dan untuk semua yang hilang, kita akan mendapatkan sesuatu
Ralph Waldo Emerson

Sidang arbitrase, yang dihelat oleh pihak DPM UI, berdasarkan kesepakatan dengan pihak-pihak terkait demi meyelesaikan sengketa penetapan bakal calon yang akan maju menjadi calon Majelis Wali Amanat Unsur Mahasiswa (MWA-UM) dalam PEMIRA IKM UI 2009, purna sudah (prequel dari kisah ini dapat dibaca pada runut perkara, di mana kisah berlanjut dengan adanya deadlock di antara pihak-pihak yang terlibat, hingga perlu dipilih opsi baru penyelesaian).

Kisah sengketa inipun berujung pada kembalinya Dwizatmiko, Filsafat 2006 ke panggung PEMIRA IKM UI, dengan syarat dan ketentuan berlaku (hal ini dapat dipahami dengan menyimak putusan dari arbiter di pemiraikmui.wordpress.com). Syarat dan ketentuannya adalah dengan melengkapi kekurangan tanda tangan pada lembar dukungan vokasi miliknya, dalam proses verifikasi yang telah dijadwalkan oleh panitia.

Andai dwizatmiko mampu menembus proses ini, maka PEMIRA IKM UI untuk memilih MWA-UM akan diulang secara serentak (mekanisme teknis dan jadwalnya akan dipublikasikan oleh panitia, segera setelah sidang verivikasi ulangan ini selesai digelar dan keputusannya ternyata meloloskan saudara dwizatmiko), dan penghitungan suara umtuk menentukan pasangan ketua dan wakil ketua BEM UI 2010 serta MWA-UM (karena proses penghitungan suara untuk kandidat DPM UI 2010 sudah usai, dengan hasil semua kandidat lolos ambang batas suara minimal), ditunda hingga semua proses PEMIRA IKM UI telah gugur.

Begitu kurang lebih yang penulis pahami, setelah rapat bersama beberapa rekan panitia di tengah dinginnya malam. Bersama dengan gemulainya jari ini berdansa, mengetikkan kata demi kata di komputer, maka terkonstruksilah gejolak rasa dalam sanubari, layaknya plutonium dalam reaktor nuklir, semuanya saling berbenturan, mengganda, terurai, mengembang dan terhempas ke arah-arah yang tak terbayangkan, terbungkus dalam rasa ragu, andai PEMIRA IKM UI untuk memilih MWA-UM benar diulang. Akan ada biaya dan waktu yang harus tersia-sia. Akan ada harapan yang terpatahkan sayap-sayapnya, setelah sebelumnya harapan-harapan itu terbang tinggi ke atas mega. Malam inipun jadi saksi sebuah kontemplasi. Apakah maksud dari semua ini?

Kita, dengan segala alpa dan salah kita, telah menceritakan pada hati-hati yang percaya, tentang kebesaran-Nya. Ketidaksempurnaan kita, sungguh adalah bukti kesempurnaan-Nya. Dengan ketidaksempurnaan itulah, hidup ini menjadi bermakna, laksana sebuah padang pasir tak berujung, dan hutan rimba yang tak berhingga luasnya, bagi ketidaksempurnaan kita, hidup ini kemudian menyediakan ruang yang tak berkesudahan untuk terus belajar dan dipelajari, berkembang dan mengembangkan, demi memupuk diri menjadi insan yang lebih baik. Maka ketetapan-ketetapan DPM yang dianggap tidak tepat oleh putusan arbiter pun pada akhirnya adalah sebuah pembelajaran yang membuka ruang bagi setiap kita untuk mengambil hikmahnya, sesuai dengan sudut pandang kita masing-masing, apapun itu, maka tidak akan menjadi salah, selama diniatkan dengan tulus demi kebaikan.

Layaknya alam semesta, yang lahir, diretas oleh sebuah ledakan besar yang menghimpun segenap unsurnya dalam pusaran gas dan debu. Benturan yang terjadi antara pihak-pihak dengan kepentingan yang berbeda yang kemudian berpusar dalam segenap alur proses hukum dalam PEMIRA IKM UI inipun, haruslah dimaknai dengan hati yang lapang, sebagai sebuah proses lahirnya kebaikan, baik dalam tingkat individu maupun kelembagaan.

Dan inilah sang pengembara yang menemukan petunjuk arahnya di tengah kilau gemintang, kontemplasi ini berakhir dengan sebuah pemahaman, bahwa adalah keniscayaan untuk mendapatkan semua pembelajaran tersebut dan melewati prosesnya, ada sesuatu yang harus hilang, dalam hal ini, waktu, dana. Perihal harapan, maka seperti ulat yang bermetamorfosis menjadi sang kupu-kupu, semoga harapan-harapan itu yang tadinya terkekang oleh egoisme pribadi, maupun kepentingan sempit golongan tertentu, dapat bertransformasi menjadi sebuah harapan bagi kebaikan bersama, hingga nanti pada saatnya, dongeng ini akan berakhir indah. Walau tanpa sang penyihir, pangeran, dan putri raja, tetap akan ada keajaiban yang tercipta, tetap akan ada cinta yang bersemi, cinta bukan pada diri, golongan atau kepentingannya, tapi pada harkatnya sebagai insan yang mulia, sebagai seorang pahlawan muda, MAHASISWA UI!

Dipersembahkan untuk sang ^^..
HUMAS PEMIRA IKM UI 2009_R.M.Hario/FE/2008

Leave a Comment