#1 Catatan Perjalanan Tim Gerakan UI Mengajar

#1 Catatan Perjalanan Tim Gerakan UI Mengajar
–Desa Pelag, Bayongbong, Garut Utara–

Berawal dari sebuah rekomendasi dari rekan kami di AsGar Muda (Asli Garut Muda), kami mulai menempuh perjalanan ke Desa Pelag, Kecamatan Bayongbong. Sebelumnya, kami menempuh perjalanan 4 jam diatas bis menuju Kabupaten Garut Kota dan kami menempuh kembali perjalanan sekitar 1 jam ke Desa tersebut.

Kami tidak pernah menyangka perjalanan akan seperti ini. Kami diantar oleh Kang Ano (rekan dari AsGar Muda) kemudian—ternyata—dijemput oleh kepala sekolah dari satu-satunya sekolah yang ada di desa kecil tersebut. Inti dari perjalanan tidak hanya sekedar kebaikan hati dari kedua orang tersebut atau apa yang hendak kami lihat di sana, tapi bagaimana cara kami menempuhnya.

Jalanan sangat bergelombang, mendaki, berbatu, dan agak “mengancam” nyawa. Perjalanan singkat dengan motor sekitar ½ jam tersebut selayaknya off-road ditempat berbatu. Ucapan syukur langsung membahana ketika sampai di depan sekolah, pengendara “ojek” langsung tertawa.

Kami disambut dengan beragam Bahasa Sunda seperti ketika kami bernegosiasi dengan para pengendara ojek. Tumpu harapan kami untuk urusan ini terletak pada Kang Ano dan dua rekan dari Tim GUIM yang memang “anak” Garut. Saat mereka bercengkrama, yang lain langsung melakukan observasi. Sekilas kami melihat tingkah polah anak-anak SD yang ada di sana yang masih ada memakai sendal dan ditempat pembakaran sampah mereka sedang bermain api, diulang: Mereka sedang bermain api! Saat seorang rekan dari Tim Research and Development menanyakan kepada guru di sana, guru tersebut menjawab: yah, biasalah anak-anak.

Tim Research and Development penasaran dan segera melihat-lihat suasana kelas yang ada di sana di saat penghujung jam pelajaran kelas. Beriringan dengan hal tersebut, tim langsung berpecah sesuai dengan briefing teknis di malam hari sebelum keberangkatan: tim logistic mengobservasi keadaan secara fisik (sekolah dan lingkungan), tim Research and Development melihat suprastruktur sekolah (interaksi mengajar, sistem pembelajaran, kurikulum, dll), dan tim Public Relation bertanya-tanya perihal kondisi sekolah dan masyarakat.

Kami dijamu langsung oleh Kepala Sekolah di rumah beliau yang sangat dekat dengan sekolah. Kami dijamu dengan ikan hasil tangkapan langsung serta duduk bersama dengan Ketua RW, Kepala Perkumpulan, dan Kepala Sekolah. Ternyata sekolah swadaya masyarakat tersebut berupa Madrasah Ibtidaiyah yang sudah berdiri 4 tahun.

Sekolah pernah mendapat bantuan untuk membangun 3 ruang kelas menjadi lebih layak (bangunan yang baik), sementara 2 ruangan lagi masih butuh perbaikan infrastruktur skala berat (bangunan dengan 2 lantai dimana lantai atas masih berdinding anyaman). Buku-buku sudah mendapat bantuan akan tetapi masih belum tercukupi dalam segi buku pelajaran dan buku tulis. Untuk guru sendiri terdiri dari 10 guru dimana 6 PNS dan 4 sukwan (baca: sukarelawan).

Para guru ini justru bertempat tinggal di daerah yang jauh, ada yang berasal dari desa tetangga, garut kota, bahkan berasal dari Bumbulang (Garut Selatan). Hanya ada 1 orang guru yang berasal dari desa tersebut. Kepala Sekolah yang hanya lulusan SMP tersebut juga menceritakan bahwa masih banyak warga yang buta huruf dan pernah suatu ketika hal tersebut tersiar di media massa nasional. Tingkat kepedulian terhadap pendidikan sangat rendah, terbukti dari sikap kebanyakan orang tua yang malah menyuruh anaknya membantu bekerja di ladang hutan.

Selain itu, sulit untuk membuat para masyarakat untuk mengikuti pelajaran mengenal huruf dan membaca yang diadakan setiap Selasa dan Kamis setelah anak SD bersekolah. Untuk membuat mereka duduk selama pelajaran, dibutuhkan uang Rp.10.000 perkepala setiap hari. Untuk saja program ini didanai oleh seorang dosen kota garut yang baik hatinya.

Cerita lain yang kami simak dari para tetua ini adalah tentang kondisi masyarakat yang ada di sana. Yang paling banyak bersuara adalah Bapak Ketua Perkumpulan. Dengan semangat beliau menceritakan tentang kondisi di desa tersebut dimana MCK masih memprihatinkan. Banyak MCK umum yang tidak layak pakai (masih berupa bilik anyaman bambu, pipa air yang bocor atau aliran air yang tidak ada), sementara masih banyak yang menggunakan MCK umum.

Selain itu, keadaan ekonomi masyarakat setempat masih mengandalkan hasil alam berupa tembakau, wortel, sayur-sayuran, dll. Kebanyakan dari masyarakat masih bekerja di hutan untuk mengurusi lahan tanaman mereka. Bahkan mereka memiliki 2 “rumah”, yakni: rumah di desa dan “rumah” di hutan. Saat musim panen, mereka akan tinggal di rumah di hutan, sampai-sampai anak-anak di sana juga akan ikutan libur sekolah.

Setelah asyik bercerita tentang segala hal kami menyempatkan diri untuk melihat-lihat keadaan desa. Desa tersebut terdiri dari 4 RT dimana luas dari desa tersebut cukup kecil: kami hanya membutuhkan waktu kurang lebih 3 jam untuk mengelili desa sampai ke perbatasan hutan. Terlihat ladang jagung dan ladang cabe yang membentang luas lalu lapangan besar tempat anak-anak bermain bola.

Banyak dari mereka yang bersekolah di sekolah kecil di desa tersebut. 1 sekolah dasar untuk 1 desa kecil (itupun swadaya masyarakat). Mereka tidak punya SMP atau SMA. Apalagi mengenal Perguruan Tinggi. Mereka tahu dengan UI, UNPAD, IPB, atau ITB, tapi belum ada dari mereka yang berani memberikan statement untuk menginjakkan kaki ke semua universitas tersebut. Satu hal yang menjadi fokus dari semua ini adalah paradigma! Paradigma masyarakat yang kurang baik tentang pendidikan yang setinggi-tingginya yang pada akhirnya mampu membuat perekonomian mereka menjadi lebih baik.

Kami pulang. Kami mencari tempat lagi sebagai data perbandingan.

To be continued…
Survey tanggal 22 Juli 2011 Desa Pelag, Kecamatana Bayongbong

Tim Survey
Ara (PO)–Luluk & Gita (Research & Development)–Aldis(Public Relation)–Wahyu(logistic)

“Bukan hanya sekedar menelusuri jalan, kami melihat kehidupan: bagian kecil dari pendidikan Indonesia”

Depok, 29 Desember 2011
Lizara Patriona Syafri

2 thoughts on “#1 Catatan Perjalanan Tim Gerakan UI Mengajar”

  1. wah, ceritanya inspiring.. 🙂

    tapi rasanya bakal lebih seru kalo diceritain dari awal, gerakan UI mengajar itu kapan didirikan, mengapa, tujuannya apa, dan ke depannya gimana.. juga apa ada hubungannya dgn Indonesia Mengajarnya Pak Anies Baswedan?

    Reply
  2. Selamat berjuang semua teman-teman GUIM..
    Salam ya untuk anak-anak luar biasa di sana 🙂
    Sebenarnya saya sangat kecewa tidak bisa ikut mengajar di sana karena tidak lolos 30 besar pengajar, tetapi saya yakin ini bukan akhir segalanya untuk berkontribusi bagi dunia pendidikan Indonesia..
    Semoga kita semua bisa menjalankan “Mendidik adalah kewajiban setiap orang terdidik”

    Reply

Leave a Comment