Agar Ngampus G sekedar “Status” (3)

Wah dah lama g nulis nie, merasa punya utang klo g dilanjutin..hehe.. Melanjutkan pembahasan terdahulu mengenai seluk-beluk kehidupan mahasiswa yang seharusnya kita jalani, kali ini kita akan sedikit membahas mengenai cara belajar kita di kampus. Pada pembahasan sebelumnya telah kita bedakan siapa kita?? Pembelajar atau pengumpul ilmu, kali ini hanya buat para pembelajar,hehehe.. pengumpul nilai juga bleh baca koq..(sp tau berabah status).Bagaimanakah gaya belajarmu?? Menghafal atau mengilmu??

Hal tersebut sangat berlainan lho.., memang kemampuan menghafal merupakan komponen penting dalam proses belajar seseorang. Tapi jika hafalan hanya sekedar bertambahnya informasi (hafal), akan lain ceritanya… dan cenderung jangka pendek. Ntar pas lulus dah lupa semua gmn?? mau??

Menghafal adalah bekal kita mempelajari ilmu selanjutnya, hakikat dari bertambah cerdasnya seseorang adalah ketika ia berhasil men’asosiasi’kan hal “baru” dengan hal “lama” yang telah ia ketahui. Jadi seseorang dikatakan cerdas bukan sekedar jumlah informasi yang ia terima berlimpah, ibarat kata, hanya sebuah gudang penyimpanan..hehehe. tetapi jika informasi yang dia terima dapat dia hubungkan(manfaatkan) dengan informasi sebelumnya.

Perbedaan sistem pembelajaran antara kampus dan sekolah mungkin membuat kaget mahasiswa yang dulunya terbiasa menghafal saat sekolah. Di perguruan tinggi, mahasiswa dituntut bersifat proaktif dan lebih ditekankan pada kemampuan aktualisasinya. Tetapi ironisnya ada juga  perguruan tinggi yang masih terjebak pada pola pengajaran indoktrinasi(sekedar hafalan), sehingga mahasiswa tidak bisa bersifat kritis. Apalagi dosen  yang sering kali menilai keberhasilan proses belajar  mahasiswa, lulus atau tidak lulus dalam mata kuliah tertentu, cenderung memaksa mahasiswa mengfungsikan ranah kognitifnya bagaikan “gudang”.

Sistem pengajaran kita masih memfungsikan otak kita ibarat mesin fotocopy, apa yang di copy itulah hasilnya.Tradisi demikian tidak akan pernah ada mahasiswa yang lebih pintar dari dosennya.  Bukan seperti mesin pabrik yang memprodukdi dari bahan mentah (input dari dosen) yang kemudian di olah menjadi barang setengah jadi atau barang jadi (kemampuan konversi mahasiswa). Sehingga diharapkan generasi penerus adalah generasi yang lebih cerdas dan kreatif dari generasi sebelumnya..y g??

Belajar akan lebih bermakna jika kita mengalami apa yang kita pelajari, bukan sekedar mengetahuinya (dalam hal ini menghafal). Pembelajaran yang berorientasi pada penguasaan materi memang berhasil dalam kompetisi mengingat jangka pendek tetapi gagal membekali kita dalam  memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang.

Tahu sendiri kan, dunia setiap detik mengalami perubahan. Mungkin untuk ilmu-ilmu pasti menghafal rumus bisa dimaklumi, tapi untuk ilmu sosial?? kan setiap zaman suatu masyarakat akan mengalami pergeseran nilai-nilai sosial, baik disadari atau tidak.. jika selama kuliah kita hanya menghafal, apalagi yang di hafal adalah teori atau materi beberapa tahun yang lalu yang kemungkinan tidak sesuai lagi dengan kondisi kita sekarang dalam penerapannya.

Jadi manakah yang kalian pilih?? hafalan sebagai media belajar atau belajar untuk  menghafal?? silakan pertimbangkan lanjutan tulisan ini..

Kecerdasan dikatakan sebagai kemampuan seseorang untuk mengkaitkan hal yangg baru degan apa yang telah ia ketahui, bukan sekedar bertambahnyaa informasi. Belajar mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata  dan membuat hubungan antara pengetahuan yang kita miliki dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran akan lebih bermakna..hehe

Dalam hafalan hasilnya tidak berupa terapan dan cenderung bersifat statis. Hanya bisa digunakan untuk ilmu-ilmu tertentu yang memang membutuhkan hafalan. Dan umumnya hanya bertahan jangka pendek..

Hasil keluaran kampus (sarjana) harus lebih baik dari dosen, hal ini hanya terjadi pada pengilmu, bukan pada penghafal. Penghafal hanya akan mencapai tahap tertinggi dalam pembelajarnnya setara dengan gurunya. sedangkan pengilmu minimal sama dengan gurunya dan seringkali melampaui mereka. itulah seharusnya kita, generasi kita harus lebih baik daripada generasi sebelumnya dan generasi penerus kita harus lebih baik dari generasi kita.

Islam  mengajarkan kita (muslimin) betapa pentingnya perbaikan kualitas. Barang siapa yang hari ini lebih baik dari kemarin, maka ia termasuk orang-orang yang beruntung. dan barang siapa yang hari ini sama seperti hari kemarin, maka ia termasuk orang yang merugi. Nah nie bagi orang yang hari ini lebih jelek dari hari kemarin, maka ia termasuk orang yang celaka..Ingat!! “setiap tempat adalah tempat belajar dan setiap waktu adalah proses untuk memperbaiki diri”

Terima kasih semua pihak yang telah memberikan ilmunya pada penulis, Ust. Hatta Syamsuddin yang  bersedia mengajariku selama di Ar-Royyan, saudara-saudaraku (kakak semua..he) di UNS SOLO yang telah mengikutsertakan ku mencicipi sedikit dunia kampus selama masa belajarku di Ar-Royyan. Ust. Yanni yang bersedia menerimaku di Ar-royyan hehe.. Dan semua pihak yang pernah berjumpa dengan penulis, karenanya penulis belajar dari apa yang penulis jumpai..

8 thoughts on “Agar Ngampus G sekedar “Status” (3)”

  1. wah, udah saya tunggu2 nih lanjutan sebelumnya.
    tulisan yang bagus!! menginspirasi banget..

    Reply
  2. @abi:
    thx ya, maaf klo kelamaan..lagi masa2 sibuk tugas dan kuliah.. mohon doanya ya..agar kita tak sekedar ngampus di ui..Amien

    Reply
  3. @abi;
    yah.. g cuma tahun pertama, selama kuliah di UI ya sibuk donk..hehe paling tidak sibukkan dirimu dengan kebaikan, sehingga kau terhindar dari keburukan..hehe

    Reply

Leave a Comment