Mungkin sebagain dari pembaca sudah menonton film Avatar, tapi pasti ada saja yang belum menontonnya. Kali ini penulis bermaksud mengulas sedikit tentang film tersebut dan mengaitkannya dengan tambang di Indonesia.
Avatar Movie atau film Avatar, merupakan sebuah film mahakarya terbesar yang di sutradarai oleh James Cameron yang berhasil memperoleh penghargaan Globe ke-67 (karodalnet.blogspot.com). Film Avatar yang berdurasi 162 menit ini merupakan film animasi 3D yang sejauh ini telah mendapatkan pendapatan domestik sebesar $77 Juta AS dalam pemutaran pekan perdanannya (12/2009). Pendapatan Avatar Movie sendiri sejauh ini diseluruh dunia telah mencapai $ 159,2 juta AS.
Krisis energi yang telah melanda Bumi membuat manusia berlomba-lomba mencari sumber energi alternatif di luar Bumi. Mereka menuju suatu planet yang menyerupai Bumi, yang disebut Pandora. Pandora memiliki hutan nan subur yang penuh dengan berbagai macam makhluk hidup, sebagian indah dan sebagian lagi menakutkan. Selain itu, Pandora juga rumah bagi suku Na’vi, makhluk yang menyerupai manusia.
Misi manusia ke Pandora adalah untuk meneliti kandungan mineral sebagai pengganti energi yang digunakan selama ini di Bumi. Niat awal untuk meneliti kandungan ternyata berhasil, ditemukan semacam batu yang mirip dengan batu bara yang diberi nama “unobtainium” dan ditaksir nilainya 20 Milyar/kg. Permasalahan muncul ketika kandungan terbanyak ternyata terdapat di rumah pohon milik suku Na’vi. Manusia ingin agar suku Na’vi pindah dari tempat tinggalnya agar penambangan berjalan sukses.
Mereka tahu bahwa niat ini terlalu sulit untuk dilaksanakan. Terlebih-lebih kepada suku Na’vi yang dianggap sebagai kaum primitif, terbelakang, dan animisme. Mereka menggunakan startegi agar mereka pindah dari pohon tersebut dengan dibuatkannya infrastruktur serta memberikan asupan pendidikan.
Usaha tersebut berujung pada kesia-siaan karena iming-iming yang diberikannya tidak digubris oleh suku Na’vi. Mereka tetap tidak mau pindah dari tempat tinggal mereka. Suku Na’vi beranggapan, bahwa manusia terlalu serakah dan tidak mencintai Pandora. Manusia hanya ingin keuntungan sesaat pada Pandora dan setelah itu meninggalkannya tanpa melihat kondisi setelahnya. Mereka hanya menyebabkan kerusakan lingkungan di Pandora.
Masing-masing ingin mempertahankan eksistensinya. Satu sisi manusia mengedepankan aspek ekonomi. Namun di sisi lain, suku Na’vi ingin semua makhluk hidup belajar dari alam dan menjaga alam yang didiami.
Oleh sebab itu, pecahlah perang keduanya. Manusia mengerahkan seluruh senjata yang dibawanya dari Bumi sedangkan Raja suku Na’vi memerintahkan kepada seluruh rakyatnya untuk melindungi negerinya dari ancaman (perusakan lingkungan akibat kedatangan manusia khususnya penambangan) manusia dengan menggunakan senjata alami.
Pelajaran untuk Indonesia
Pertanyaan yang menggelitik penulis adalah, apakah film ini mirip dengan apa yang terjadi di pulau Papua Indonesia? Bisa jadi jawabannya iya dan jawaban berikutnya adalah tidak. Ya karena bisa jadi film ini menggambarkan penduduk Papua yang melawan penambangan “FI” yang selama ini tidak memikirkan nasib mereka (sudah lama beroperasi tetapi tidak memberikan kesejahteraan seluruh penduduk Papua). Sudah berpuluh-puluh tahun kuasa penambangan di pegangnya. Bahkan menyebabkan kemarahan penduduk Papua (aksi-aksi penembakan yang membuat kehidupan mencekam).
Bisa juga jawabannya tidak sama dengan Papua karena dalam film ini perlawanananya antara manusia dan avatar yang notabene makhluk khayalan. Selain itu, latar pemutaran film ini juga bukan di Indonesia.
Ya apapun jawabannya, penulis mencoba mengangkat film ini karena penulis memiliki asumsi bahwa film ini membawa pesan moral terhadap lingkungan di Bumi dan pada khususnya di Indonesia. Pelajaran yang menarik yang dapat kita lihat di Indonesia, yaitu tambang. Sari (Pengawasan Perizinan Usaha Pertambangan Galian Golongan C – 2009) menceritakan bagaimana pengawasan izin usaha pertambangan di Indonesia masih “berantakan”. Pemberian izin usaha penambangan hanya dilihat sebagai sarana peningkatan PAD.
Sari menambahkan, jika pemberian izin penambangan ini hanya dilihat sebagai faktor peningkat PAD, justru yang akan terjadi adalah Pemerintah Daerah (Pemda) mengabaikan dampak negatif dari izin pertambangan yang telah dikeluarkan. Jika kelakukan dari aparat birokrasi terus dibiarkan seperti ini tanpa ada kemauan merubah, maka yang akan terjadi adalah ancaman terhadap kehidupan manusia itu sendiri.
Adanya perusahaan penambangan yang telah mengantongi izin kuasa penambangan akan seenaknya mengeksplioitasi daerah kekuasannya dan tanpa memprediksikan akibat dari aktivitas yang mereka lalukan. Banyak perusahaan yang menganggap meraka telah melakukan Corporate Social Responsibility (CSR) namun yang jadi masalah adalah sedikit dari mereka yang sunguh-sungguh melakukannya.
Kalaupun mereka sungguh-sungguh melakukannya, otomatis Penambangan Liar (Peti) tidak muncul, menurunya angka pengangguran di suatu daerah lokal (akibat lahan telah beralih fungsi maka mereka pun beralih profesi, biasanya mereka beralih menjadi tukang ojeg seperti yang terjadi di daerah Cigudeg dan Jasinga Bogor), masyarakatnya terdidik, dan macam keuntungan lainnya.
Fenomena yang terjadi justru sebalikanya. Masyarakat lokal dibuat “duduk manis” dengan menggenggam “lolipop”. Mereka hanya mengais-ngais dari sisa buangan perusahaan penambangan, Peti sangat menjamur di suatu lokal sebagai pesaing perusahaan penambangan. Menjamurnya peti dikarena masyarakat lokal tidak diberdayakan (perusahaan selalu beranggapan mereka primitif dan bodoh – sudah tau primitif dan bodoh tapi tak pernah menggunakan program CSR untuk “mencerdasakan” mereka). Di samping itu, perusahaan lebih sering menggunakan tenaga dari luar daerah bahkan dari luar negeri.
Timbulnya bencana alam akibat penambangan, pembaca pun sudah barang tentu mengetahui bahwa daerah Sumatra ataupun Kalimantan akhir-akhir ini diberitakan mengalami banjir. Padahal daerah tersebut adalah daerah hutan hujan tropis. Kalau sebagai daerah hutan hujan tropis maka tidak akan terjadi banjir. Ada keanehan di sana bukan? Ya, di sana saat ini sedang giat-giatnya melakukan aktivitas penambangan, khususnya batu bara. Dan kisah hutan hujan tropis suatu saat hanya akan menjadi sebuah legenda (sama seperti Indonesia anggota OPEC – organisasi negara-negara pengekspor minyak). Yang lebih parah lagi, penulis mengasumsikan bahwa bagian terbesar dari tambang ini diboyong ke luar daerah atau ke luar negeri dan masyarakat sekitar hanya dibagi dari bagian terkecil saja setelah “disunat” oleh Pemda.
Mental Pemda seperti inilah (moral hazard) yang biasanya mengiris-iris hati masyarakat lokal (khususunya individu-individu yang sudah mengetahui kongkalikong yang dilakukan antara pengusaha dan penguasa). Mereka benar-benar memanfaatkan kekuasannya untuk kepentingan pengusaha. Penguasa hanya mementingkan dirinya sendiri. Selain itu, mereka tidak pernah sadar bahwa mereka merupakan “pintu gerbang” antara pengusaha dengan masyarakat. Arif (Campaign Manager Green Peaces (8/12)), salah seorang LSM cinta lingkungan, berpendapat bahwa “karena Bupati atau Kepala Daerah itu dipilih berdasarkan popularitas dibandingkan dengan kualitas yang dimiliki maka kemampuan untuk memahami peraturan itu agak sulit. Bahkan ada pula yang tahu aturan namun ikut-ikutan berperilaku jahat. Seolah-olah mereka menjadi raja kecil di daerah tersebut dan dapat mengeruk kekayaan di sana – korupsi)”.
Ya begitulah yang terjadi, semuanya lagi-lagi harus menyerah pada aktivitas ekonomi semata, tanpa memikirkan lingkungan yang diakibatkan dari aktivitas tambang.
Usulan
Dengan demikian, pertanyaan yang muncul berikutnya sebagai akhir dari tulisan ini adalah bagaimana ini semua dapat berakhir dan langkah apa yang perlu kita lakukan? Pada akhir film Avatar, keganasan manusia diakhiri dengan saling kerja sama, kukuh atas satu tujuan untuk menyelamatkan Pandora, dan berdo’a kepada “eywa” (sejenis dewa penyeimbang atau Tuhan bagi suku Na’vi). Eywa juga yang menolong mereka dari keputusasaan berperang dengan manusia. Itulah yang dilakukan suku Na’vi untuk mengakhiri mata rantai keganasan manusia.
Lalu, bagimana dengan kita menghadapi “keganasan” penguasa dan pengusaha? sebagai masyarakat, penulis merekomendasikan agar melakukan musyawarah tri partid (penguasa, pengusaha, dan masyarakat). Kalaupun tidak bisa, atau menemukan jalan buntu atas musyawarah yang dilakukan maka yang terbaik adalah dengan berdemonstrasi (demontrasi damai) sebagai wujud penegakan demokrasi. Menahan amarah jika berujung pada kebuntuan penyelesaian masalah.
Bagi pengusaha, penulis memberikan saran agar dengan bijak mengeksploitasi lahan penambangan. Kompas (25/1), membeberkan fakta terhadap aksi eksploitasi tambang batu bara di Kalimantan. Kawasan hutan produksi, kawasan konservasi (Hutan Lindung Kalsel, Tahura Bukit Soeharto, PPHT Universitas Mulawarman), dan lahan pertanian milik petani semua dijadikan kawasan penambangan.
Pengusaha berkilah (pembenrana atas apa yang mereka lakukan) bahwa dengan adanya penambangan memberikan efek positif. “Tambang menyerap tenaga kerja dan menggerakkan ekonomi warga, seperti munculnya warung dan jasa sewa tempat tinggal” Maskur Ahmad, kontraktor pertambangan di Kutai Kertanegara (kompas, 25/1).
Namun, ironisnya seperti yang sudah disebutkan di paragraf sebelumnya bahwa masyarakat hanya menjadi penonton dari pertambangan tersebut. Tidak ada peningkatan kesejahteraan. Kalaupun dipekerjakan maka hanya sebatas tenaga kasar tidak lebih dari itu. Maka saran dari penulis adalah pengusaha harus melaksanakan kebijakan secara bijak dalam menambang dan mensejahterakan tenaga kerja.
Penulis juga mencoba memberikan dorongan kepada pemerintah, yaitu hendaknya memperhatikan dan menyadari pentingnya pengawasan terhadap tambang khususnya pemberian izin kuasa penambangan. Kompas (7/7) dan (20/1) memberikan gambar bahwa Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) di Indoensia selama ini hanya bisa “masuk laci” tidak dijadikan acuan dalam pemberian izin kuasa penambangan. Sangat disayangkan sekali jika masuk laci karena ahli- ahli di bidang lingkungan, teknik, biologi, ataupun lainnya yang telah membuat Amdal “dimanjakan atau tidur pulas” dengan kelemahan birokrasi seperti ini.
Seorang sarjana teknik lingkungan, sipil, biologi, ataupun lainnya tidak akan muncul ide-ide kratifnya jika pemerintah sendiri saja tidak pernah benar-benar membaca anlisis yang mereka buat. Amdal hanya sebagai syarat pelengkap, karena syarat yang paling utama adalah “selipan amplop” dibalik Amdal yang mereka buat.
Saya teringat dengan firman Allah SWT yang artinya “Telah Nampak kerusakan di darat dan di laut, disebabkan perbuatan tangan manusia. Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatannya, supaya mereka kembali (ke jalan yang benar)” (Qs. Ar-Rum : 41).
Wallahu’alam
Seno Kebijakan Publik’09
wah subhanallah, tulisan yang luar biasa kak!
Harus ada keberanian pemerintah untuk merombak apa yang telah dilakukan orde-orde sebelumnya, juga menanggung resikonya.
tapi kalau untuk kesejahteraan rakyat, kenapa tidak?
Ijin diretweet yaaa
tulisan yang bagus, mencerahkan!
nice post Bung Seno..
saat menonton fil avatar, interpretasi pertama gw adalah Freeport di Papua..
arogansi perusahaan terhadap penduduk lokal sama persis dengan yg di film..
tapi lebih parahnya lagi freeport didukung oeh institusi yang lebih besar bernama Negara RI..
dengan mudahnya kita bisa bilang bahwa kaum Navi adalah pihak yang benar, tapi sampai sekarang kita masih beranggapan bahwa OPM itu adalah pihak yang salah..
Untuk Sofandre: Monggo-monggo aje klo mo di-rewrite, gak masalah kok.. tapi jangan lupa untuk mancantumkan sources-nya ya? misalnya senoagung @ https://www.anakui.com/2010/01/30/avatar-izin-tambang-indonesia/#comments, atau terserah dah gaya penulisan sofan sendiri mo seperti apa. Biar kite makin tenar, monggo-monggo wae lah, wkwkwkwkwkwkwk (becanda, hehehe)!
Trus buat Adit, Salaman, dan Gigih… maskih banget udh mau comment tulisannya, yahhh sebagai mahasiswa yang berkecimpung dalam dunia birokrasi, berbicara dunia birokrat itu bener-bener memusingkan kepala juga. Kayak lingkaran setan untuk menyelesaikannya, klo mo menyelesaikan ini timbul lagi masalah ini.. trus masalah ini udh selesai tiba-tiba berubahlah, kurang inilah itulah… pokoknya mumet pisan euy. Makanya banyak orang pinter ketika berkecimpung di dunia birokrasi, moralnya juga ikut-ikutan gak bener… klo ada selogan demokrasi = demo crazy maka biokrasi = biro crazy, padahal dulu bapak birokrasi sekelas Max Weber gakpernah membayangkan birokrasi akan seperti ini (korupsi), dia membayangkan bahwa yang bekerja di sektor birokrasi adalah orang-orang yang bervisi ke depan, mau bekerja sosial, kerja keras, dan cerdas. Tapi klo gambaran yang sekarang seperti ini yang penguasa bodoh akan membodohi dan penguasa yang pintar akan memintari (cerdik = cerdas dan licik), hihihihhihihi
ayo-ayo, kok gak ada yang mencela atau muak dengan tulisan ini ya (hehehehehehe), kite tunggu komentar yang lainnya. thx b4
gigih:
kaum navy = OPM?
Astaga, artikel paling pinter yang pernah gw baca di sini!
Ceritanya seno sekarang jadi pegawai atau ngelanjutin pasca di kebijakan publik baru masuk kemarin? Kalau daku sendiri lagi ngelanjutin pasca dalam pembangunan pedesaan dengan bahan bakar terbarukan di swasta darma persada jakarta timur.
Yang pasti mantap ini masukannya memang tiap orang punya kelasnya tersendiri.
Sebagai tambahan buat pengetahuan saja tentang sumber panas bumi yang sekarang ini banyak digembar-gemborkan berbagai pihak sebagai sumber bahan bakar baru yang belum banyak digunakan, ternyata di negara kita ini keberadaan sumber tersebut sebagian besar berada di wilayah hutan lindung itu artinya mesti ada pemanfaatan sumber energi baru yang lain demi pemenuhan kebutuhan penduduk kita di masa yang akan datang. Sebab bila hanya menggunakan pengoptimalan satu sumber energi baru saja tentu yang akan terjadi lebih ke arah pembangunan dengan kecenderungan merusak lingkungan seperti yang biasa terjadi.
ah ung Rumbagyo Nangalit bisa aja, jangan bikin gosip dong… kebetulan nalar menulis kite baru terkoneksi sekarang nih, dolodolo mati suri, hahahaha
wahh artikel yang sangat menarik…
sebagai mahaiswa yang dekat dengan dunia tambang, bolehlah saya ikut berkomentar..
menurut saya, sepertinya apa yang disampaikan oleh bung seno memang realita tapi tidak semua… dunia tambang memang selalu minimalnya bersinggungan dengan tiga aspek yakni Lingkungan, Masyarakat Lingkar tambang dan Politik..
terkait masalah lingkungan, tambang memang dikenal merusak, tapi yang perlu di catat adalah tidak semua tambang “nakal” dengan tidak memperhitungkan aspek lingkungan yang ada disekitarnya, karena industri tambang sebelum, sedang dan setelah beroperasi harus memiliki AMDAL dan izin dari Kementrian Lingkungan Hidup (KLH), dan mekanisme ini berlaku di Indonesia..yang menjadi “masalah” kita lebih sering mendengar informasi tambang yang merusak daripada tambang yang bertanggung jawab terhadap komitmennya dengan lingkungan…kalau berkenan silahkan baca tulisan saya disini http://www.facebook.com/notes/muhammad-roghib-ar-romadhoni/mengenal-dunia-tambang-2-saatnya-tambang-bicara-lingkungan/356704074389288
kemudian masalah klasik lain dan memang masih terjadi didunia tambang adalah terkait kesejahteraan masyarakat..nah ini memang menjadi sorotan yang tak kalah seksi dengan masalah lingkungan..dan sekali lagi informasi yang berimbang harus kita dapatkan untuk memastikan sebenarnya apa yyang terjadi di daerah tambang..dan saya mencoba mendokumentasikan dalam tulisan pengamatan saya secara langsung di sekitar masyarakat lingkar tambang…http://www.facebook.com/notes/muhammad-roghib-ar-romadhoni/mengenal-dunia-tambang-3-peran-industri-tambang-dalam-memajukan-daerah-lingkar-t/358006080925754
dan terakhir masalah politik, memang yang lucu selama ini adalah indonesia selalu mengekspor mentah-mentah hasil tambangnya, tapi alhamdulillah ini insyallah hanya berlangsung sampai tahun 2014 karena di tahun 2014 akan diberlakukan UU no.4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batu bara serta KEPMEN ESDM no.7 tahun 2012..yang intinya barang tambang harus dikelola dulu sebelum di ekspor yang artinya akan ada nilai tambah yang kita dapatkan dari proses ini..saya coba menganlisa kebijakan ini dalam tuilisan saya berikut.. https://www.anakui.com/2012/05/29/ketika-indonesia-bersiap-menjadi-negara-kaya-karena-tambang/#comment-182620
yaa, mungkin itu yang menjadi pendapat saya sebagai mahasiswa yang kebetulan mengerti sedikit tentang dunia tambang..
terimakasih atas inspirasi tulisannya yang menarik…
*Jadi pengen liat film avatar lagi, karena ternyata inspirasi yang di dapat bung seno luar biasa..hehheh