Kepada ayah.
Lelaki dengan tawa yang menyandu, menggumpalkan rindu yang menggebu, penghapus luka dalam penampang sendu, dan sebab-akibat keberadaan kupu-kupu di dalam perutku.
Jika kau tahu betapa setiap hari aku membuka mata, di setiap detak jantung dan desahan napas selalu ada doa untuk kebaikanmu. Jika pula kau tahu, di setiap aku memejamkan mata ada air mata haru yang mendoakan kesehatanmu.
Beberapa hari yang lalu kutulis sebuah kalimat : “aku ingin kita sedekat merah dan jingga di langit sore ini,” . Semesta saat itu seperti sedang bertelepati dengan perasaanku yang mengisyaratkan rindu. Ya, aku merindukan keberadaanmu saat itu hingga kini. Masih dalam jarak yang sedemikian dekat saja gelas perasaanku sudah meluapkan segenap rindu, lalu bagaimana jika nanti Tuhan yang benar-benar memisahkan kita ? Ayah. Lelaki pertama yang kepadanya kujatuh cinta, mulai dari pertama kali aku merasa kehangatan mentari hingga dinginnya malam saat ini. Sudah berapa lama ? Kita sudah melewati ribuan hari dan jutaan detik, yang tak pernah bosan kulewatkan bersamamu.
Ayah.
Kita membicarakan banyak hal, terombang-ambing hingga larut dalam pembicaraan yang mendalam. Ada pula masa dimana kita menyanyikan tembang lawas bersama demi menghabiskan waktu di tengah kemacetan penat ibukota. Itulah momen yang kusebut dengan emas; berada di puncak kebahagiaan seakan ingin melesat untuk menembus cakrawala, melewati semesta dan menyampaikan perasaan itu kepada alam jagat raya. Lalu kemudian aku kembali tertarik ke bumi karena adanya satu pusat gravitasi yang sukses membuatku jatuh kembali dalam cinta.
Aku jatuh cinta kepadamu, ayah..dalam setiap denyut nadi sejak aku lahir hingga aku pergi nanti.