Dua pekan sudah, ku habiskan liburan ini di kota Pendidikan, Yogyakarta. Sebuah kota yang dapat memadukan antara kehidupan akademisi, budaya, dan religi. Mungkin bagi teman- teman sekalian yang sudah melalang buana ke seantero negeri ini / yang hoby traveller akan sangat susah menemukan sebuah kota seperti yogyakarta, benar ga ya? . Dimana nilai-nilai tradisional budaya jawa masih terbalut rapi dan dapat disandingkan dengan budaya akademisi yang cenderung membawa perubahan modern. Maka tak ayal lagi jika mayoritas masyarakat kita menjulukinya dengan “Kota budaya” .
Dalam perspektif saya (sebagai mahasiswa yang belajar ilmu eksak), saya tidak terlalu paham dengan teori budaya di kota ini. Namun, sebagai seorang manusia yang punya lima indra, saya dapat merasakan harmonisasi kehidupan yang ada. Salah satu bukti nyata adalah di sekitar lingkungan kampus Universitas Gadjah Mada. sebagai sebuah kampus yang menjadi salah satu barometer pendidikan tinggi di negeri ini, UGM juga mempunyai mahasiswa yang multikultur. Bermacam-macam mahasiswa dari berbagai back ground kehidupan hadir di kampus yang tak jauh dari pusat kota jogja ini. Sehingga apabila diambil hipotesis sementara, kehidupan kampus dan kehidupan real masyarakat sekitar tentu terdapat sedikit sekat yang dapat menjadikan kedua kehidupan tersebut terpolarisasi. Namun kenyataan yang ada, dua kehidupan tersebut dapat berjalan harmonis dan bersifat mutualisme. Tidak hanya dalam kehidupan ekonomi masyarakat sekitar, tetapi juga dampak sosio-kultur. Nilai – nilai luhur dan keakraban masyarakat sekitar pun tidak terdegradasi dengan keberadaan jumlah mahasiswa yang secara struktural merubah susunan masyarakat.
Hal yang unik yang mungkin dapat menjadi sorotan bersama, adalah adanya transform nilai budaya ke dalam individu / mahasiswa pendatang. Sudah menjadi hal lazim dan diketahui bersama bahwa mahasiswa luar daerah yang menimba ilmu di kota budaya ini pasti akan sedikit paham tentang budaya daerah setempat ( baca: bahasa dan budaya jawa). Maka tak heran bila ada yang memplesetkan kampus di jogja (mungkin : UGM adalah kampus jawa). Terlepas dari ada tidaknya transform budaya dalam diri mahasiswa , yang jelas mahasiswa yang belajar di yogyakarta (khususnya : ugm) adalah mahasiswa yang terkenal tekun, sederhana, dan setia terhadap pekerjaannya ketika sudah masuk ke dalam dunia kerja.
Trus bagaimana dengan saya, sebagai orang jawa tulen yang belajar dikampus yang lingkungannya terdapat sekat/ tembok pemisah yang jauh antara budaya kampus dan budaya masyarakat sekitar nya? Akankah ada transformasi nilai budaya positif dari masyarakat sekitar ke diri saya? Atau malah sebaliknya kehidupan mahasiswa mengikis nilai budaya dalam diri saya?
WaAllahu ‘alam
Hehe..tergantung mana yang lebih kuat memberi pengaruh(dampak) terhadap kita har.. apakah kita bisa bereaksi terhadap masyarakat (budaya&bahasa) dengan baik/tidak..karena kita jugalah yang menentukan rekasi kita terhadap lingkungan sekitar kita ( kehidupam kita)
Kalau memang tidak ingin terkikis budayanya, perantau biasanya membentuk suatu komunitas tersendiri ( saling menguatkan) salah satunya ADIGUNAUI..hehehe
kaget bro…..
mahasiswa UI juga gw kira tekun2 ko..cuma emang namanya kebnyakan asal Jakarta (jabodetabek) >>> klo ga salah statistiknya hampir 75%>>>jadi ya agak beda ama mahasiswa UGMlah….kita lebih banyak omong aja….
ini gw setuju ama Widi Kun
“perantau biasanya membentuk suatu komunitas tersendiri ( saling menguatkan) ”
gw juga mahasiswa perantau…..
MEnarik, har (son). Bener juga ya, kampus kita itu agak terpisah dari kehidupan riil masyarakat depok. Kalau UGM itu, kampusnya dibelah oleh jalan umum, bahkan RSUD nya pun berada di lingkungan kampus sehingga UGM itu benar2 dekat di hati masyarakat.
Mungkin kita harus lebih mempertimbangkan kontribusi kita bagi masyarakat depok. Omong2 akhir2 ini kualitas pendidikan Depok lagi banyak disoroti oleh media lho, termasuk kondisi fisik bangunannya. –malu jd anak Sipil yg g bisa bantu banyak–