Pada saat musim pancaroba seperti sekarang ini, saat bulan Juni datang, dan disaat liburan semester genap segera mendekat, saat inilah musim skripsi tiba. Bagi Kakak-kakak kita angkatan 2005 dan 2004 bahkan ada yang 2003, pasti lagi pada jungkir balik mempersiapkan skripsinya, menunggu sidang dan mempertaruhkan kemampuan dan nasibnya di Universitas yang menyandang nama bangsa ini. tujuan mereka pun hanya satu, segera meninggalkan kampus dengan mengantongi ijazah berlogo Makara!!
saya sempat berpikir, jika mereka sudah memegang ijazah makara itu, apa yang akan mereka lakukan, mencari kerja? menikah? atau menganggur??
saya mengenal dekat dengan salah seorang senior saya yang tidak mau disebutkan nama dan jurusannya, ia sudah genap mendekam selama 6 tahun di kampus ini, ia merupakan salah satu angkatan 2003 yang masih tersisa, seorang yang sangat aktif berorganisasi dan bekerja.
belum lama ini, saya bertanya kepadanya. “Bang, perasaan betah banget dah di kampus, kapan nih lulus?? ucap saya menyindir. Sang Abang pun menjawab dengan santai dan bijaknya, “ngapain cepat-cepet lulus!? sayang, jadi mahasiswa itu sangat singkat, cuma bisa paling lama 6 tahun, lagipula wong udah susah-susah masuk ke sini (UI) koq pengen cepet-cepet lulus?? (for your info; abang gw itu sempet dua kali ronin ikut spmb loh!)
saya sangat heran dengan jawaban yang sangat inteleknya, saya pun segera dinasehati, seperti sang ayah menasehati anaknya; “heran deh, jaman gini koq mau-mau nya lulus cepet? loe sadar gak sih, kita tuh udah terjebak sama sistem yang mengharuskan kita supaya dapet berprestasi, kuliah lancar, lulus cepet, dan dapat cumlaude, terus abis lulus kerja, abis kerja kawin, abis kawin punya anak, terus mati..” ”hidupnya tu yang enak-enak aja dah.” ”Yang harus dipikirin hanya elo dan keluarga loe, bisa sejahtera apa enggak.” ”Lalu kemudian apa kontribusi yang bisa elo berikan, selama elo msh mahasiswa?” ”saya yakin empat tahun adalah waktu yang sangat sempit dan sangat pendek untuk bisa memberikan sesuatu pada masyarakat dan lingkungan loe.”
saya pun langsung membantah, “loh, kontribusi kan bisa saya terapkan pada saat dunia kerja?” tiba-tiba Abang saya itupun tertawa, “haah, yakin loh bisa memberikan seuatu untuk rakyat pada saat elo udah kerja!?” “idealisme itu cuma bisa bertahan pada saat elo jadi mahasiswa cing, pada saat elo meniti karir, elo bakal berpikir pragmatis, sebab orientasi loe hanya pada bisnis dan keuntungan semata, kalo loe masih mempertahankan idealis, loe gak bakalan bisa survive,” dan karir loe pun akan berhenti stop sampe disitu, alias udah gim.” ”itulah keadaan dimana kita tidak bisa memilih, mau gak mau..” ucap orang yang sudah mencicipi segala organisasi intra seperti, Suma, Mapala, BEM, dan ekstra kampus seperti HMI, HTI, FAM, dll
yah saya pun membayangkan, jika saya sudah bekerja, saya pasti gak bisa turun ke jalan lagi, gak bisa diskusi dan debat bareng temen-temen, gak bisa gelar forum, seminar dan kajian-kajian sosial rutin tiap bulan, udah gak sempet ngajar anak-anak jalanan di rumah belajar lagi, mungkin yang saya pikirkan nanti adalah bagaimana saya bisa mendapatkan uang untuk menafkahi dan mensejahterakan anak dan isteri saya. saya pasti gak mikirin lagi keadaan tetangga saya yang kesusahan apalagi keadaan rakyat Indonesia..”
Retorika Abang saya itupun memang beralasan dan didukung bukti-bukti yang otentik, kita lihat saja Akbar Tanjung, Jusuf Kalla, Agung Laksono, Hariman Siregar dll. yang dulunya adalah Aktivis persimpangan jalan, macannya kampus, tapi sekarang mereka mengeong-ngeong pada bangsa ini. memperebutkan kekuasaaan, mengobral janji-janji. kita lihat bagaimana para politisi yang dulunya sering orasi untuk menuntut keadilan dan kesejateraan rakyat, tapi apa yang mereka lakukan sekarang? kaloupun sudah terpilih nanti, mereka pun lupa akan segalanya, lupa terhadap nasib rakyat yang memilihnya, lupa terhadap dirinya, bahkan lupa terhadap tuhannya (naudzubillah).
tapi kalau mementingkan keluarga, saya pun ragu terhadap abang saya itu, pasti ia akan menyusahkan dan menjadi beban keluarganya karena harus terus membiayai kuliahnya selama enam tahun (ditambah uang bimbel buat dua tahun ronin XD). Akan tetapi, selidik punya selidik si Abang saya itu, ternyata sudah bisa membiayai biaya kuliahnya sendiri sejak semester empat, dan pada semester enam, beliau pun sudah bisa membiayai hidupnya sendiri.
Yah, mahasiswa merupakan agen perubahan yang sangat dibutuhkan bangsa ini, tanpa mahasiswa, negara ini tidak akan bisa berdiri dan tidak bisa berjalan. Saya pun sadar bahwa selagi saya masih menyandang status sebagai mahasiswa, berarti saya mempunyai kesempatan yang lebih untuk membuat sesuatu yang lebih berguna bagi orang lain, khususnya untuk lingkungan sekitar saya.
Menyandang status sebagai mahasiswa, berarti menyandang tanggung jawab moral terhadap masyarakat. Ingat, masih banyak adik-adik kita yang tidak bisa menikmati manisnya pendidikan. apalagi pendidikan di kampus yang megah ini, di kampus yang menyandang nama bangsa ini. Hanya karena tidak mampu membeli formulir ujian masuk seharga 500-700 ribu. Mereka tidak diberi kesempatan untuk bertanding, untuk bersaing, dan untuk berkompetisi demi mendapatkan suatu ilmu yang berguna dan bermanfaat bagi orang lain. Belum lagi, saat kampus ini mematok biaya operasional pendidikan dan uang pangkal yang selangit. Makin banyak saja yang sudah putus harapan diawal untuk dapat mengenakan jaket kuning yang sangat membanggakan ini.
“kalo kerjaan loe pada mahasiswa cuma kuliah dan bergaul doang, cuma bisa berprestasi, jadi mapres, lulus cepet dan cumlaude, kalo gitu doang mah gue juga bisa!! tapi gw gak bakalan memilih itu..” Itulah kata terakhir yang di ucapkannya sebelum ia beranjak pergi dariku. Saya pun tertegun kagum, “kok ada ya orang seperti itu.”
mungkin orang-orang seperti itulah yang akan membawa perubahan dan kejayaan untuk bangsa ini.
sungguh, bahwa Rakyat sangat kami cintai daripada diri kami sendiri..
Selamat Berjuang wahai Kakak-kakak ku, berikan yang terbaik untuk diri mu, untuk almameter ini, untuk lingkungan mu, dan untuk bangsa dan negara yang amat kita cintai ini.
keywordnya satu: manfaat bagi orang lain..
mau lulus 4 tahun, 6 tahun, mau DO, mau jadi mapres atau nggak, mau menang lomba atau nggak, mau jadi apa di kampus,
kalo kita punya atau melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain, orang mau ngomong apa ya terserah mereka, iya nggak?
tolong admin anakui.com, itu comment di atas gue, spam banget! Tolong di filter yang kayak gitu dong, ganggu aja!
Udah 3 kali gue liat komennya tinggal copy paste doang! Dia jelas-jelas OOT
Ini masalah pilihan.
Ada yang memilih lulus cepat agar tidak ada beban lagi (karena skripsi seringkali menjadi beban yang bergentayangan di otak jika tidak kunjung selesai), sehingga bisa lebih fokus untuk menggeluti bidang sesuai dengan ilmunya masing-masing. Ada juga yang merasa jatah 6 th harus dipakai sebaik-baiknya agar bisa memaksimalkan kontribusi. Itu sah-sah saja.
Toh, setiap pilihan selalu ada risikonya. Dan mahasiswa diharapkan sudah cukup dewasa untuk berani menanggung risiko atas apapun pilihan yang dibuatnya.
Yang penting, saling menghargai pilihan satu sama lain. Untuk penganut paham lulus “ASAP” janganlah memaksakan teman-temannya yang memilih menikmati masa mahasiswanya lebih lama. Sementara, yang memilih lulus “hingga detik terakhir” tidak perlu juga mempengaruhi para penganut paham “ASAP”. Toh, lama tidaknya masa studi seseorang tidak pernah menjamin kesuksesan dan kontribusinya di masa depan.
“kalo kerjaan loe pada mahasiswa cuma kuliah dan bergaul doang, cuma bisa berprestasi, jadi mapres, lulus cepet dan cumlaude, kalo gitu doang mah gue juga bisa!! tapi gw gak bakalan memilih itu..”
emang gampang jadi mapres? Setau gw orang yang jadi mapres di fakultasnya adalah orang2 hebat, yang ga cma ngandelin nilai akademisnya dan karya tulisnya, tapi juga punya pengalaman organisasi (atau minimal kepanitiaan) yang baik, punya prestasi dan kontribusi buat kampusnya, dan punya visi untuk memajukan Indonesia.
Saya bukan mapres, tapi saya kenal teman2 yang jadi mapres (atau kandidat2nya). Saya cuma merasa pernyataan tersebut seperti menganggap mapres bukan jalur yang baik saat kita kuliah.
Orang punya cara masing2 untuk berkontribusi, jangan cepat2 menganggap cara orang lain lebih tidak baik dari cara kita lah.
saya tidak bilang bahwa cara tersebut salah, yg saya tekankan adalah bahwa setiap orang bisa menjadi mapres atau apapun, tergantung pilihan hidupnya..
Sebenarnya apa sih yang dicari seorang Calon Mapres untuk menjadi Mapres?? Motivasi apa yang sebenarnya melandasi niat seseorang maju menjadi Camapres?? Coba deh antum tanyain ke mereka, untuk apa sih menjadi Mapres? Mungkin jawaban mapres2 kita pun beragam. biar saya bisa beken dan dikenal luas oleh banyak orang, agar saya mempunyai daftar riwayat hidup yg bisa dibanggakan, supaya nantinya saya mudah mendapatkan beasiswa, supaya saya bisa mendapatkan reward, dll. yah gak jauh2 dari situ lah..
Memang sih menjadi Mapres itu tidak mudah. menjalani seleksi yg cukup ketat, punya trade record dan pengalaman organisasi, menyingkirkan puluhan mahasiswa yg memiliki potensi akademik yg sangat mumpuni, apalagi jadi Mapres di tingkat UI.
Menurut saya, Mapres hanyalah simbolis belaka. Jika tidak ada hal2 konkrit yg dilakukannya di luar sana, maka tidak ada bedanya dengan mahasiswa2 lain..
Pertanyaan selanjutnya adalah “apa yg ingin dilakukan jika seorang Mahasiswa telah mendapatkan gelar Mapres??”
Universitas jangan dijadikan menara gading, tempat para akademisi yg hanya mampu menimba ilmu setinggi-tingginya dan mencetak prestasi akademik tanpa berbuat sesuatu untuk komunitas sekitarnya..
@Rydo,
Yah, kalo ama komenlo itu sih gw setuju. Gw juga setuju sama sebagian besar isi tulisanlo.
Cuma kalo diliat dari kalimat yang gw quote, rasanya agak meremehkan orang2 yang “cuma bisa berprestasi, jadi mapres, lulus cepet dan cumlaude”
Jangan anggap gw menggeneralisasi bahwa semua mapres itu hebat dan lain-lain. Kan gw bilang temen2 gw yang jadi mapres. Gw malah nangkep kalo kalimat yang gw quote itu menggeneralisasi kalo semua mapres itu adalah “cuma mapres”. Maaf kalo gw salah nangkep. Tapi itulah kesan yang gw tangkep.
“keywordnya satu: manfaat bagi orang lain..
mau lulus 4 tahun, 6 tahun, mau DO, mau jadi mapres atau nggak, mau menang lomba atau nggak, mau jadi apa di kampus, ”
I respect differences….
dan setiap orang memang punya caranya masing-masing untuk bisa berkontribusi
dan setiap orang juga pengertiannya masing-masing tentang apa itu kontribusi sebenarnya
mungkin kalo menulis jangan hanya melihat dari sudut pandang tertentu saja sehingga seakan-akan meng-underestimate hal-hal lain
kalo saya boleh milih mah mendingan cepet2 lulus atuh…lancar skripsi dan slesai tepat waktu, gak bayaran lagi (karna beasiswa abis)..dan kembali tenang menjalani hari2 tanpa stres menyusun skripsi…
hahaahah, jawaban yg bijak!! gw pusing liat ada yg berdebat,, setiap orang punya pandangan hidup masing2 dan punya prioritas utama dalam kehidupan yang berbeda2,, kalau ada yg care dg komunitas sekitar ya monggo,, kalau ada yg fokus ma karir n kluarga y silahkan…
hidup mah dibawa santai aja tp tetep kudu serius,,!
pokoknya mah “Hidup Mahasiswa” lah . 😀
Walah kalo buat mahasiswi kere kayak gw, dimana orangtua lebih milih gw utk cepet2 menapaki dunia kerja lalu membiayai hidup tanpa ketergantungan mereka lg, lulus cepet adalah pilihan utama!
Pilihan hidup orang beda2 kali ya, termasuk usaha dan prestasi, pemikiran ke depan, dll dipengaruhi oleh lingkungan yang beda2.
Mulai hari ini saya akan lebih menghormati orang2 seperti itu yang memiliki pandangan berbeda ttg lulus-lama dikampus