Gusur: Surat untuk Para Pendemo di Stasiun UI, dari Anak UI yang Pernah Jadi Korban Gusur

29 Mei 2013, kira-kira pukul 7 malam. Karena diajak pak bos menuntaskan pekerjaan di KFC beberapa jam yang lalu, saya jadi nonton TV. Biasanya hampir tidak pernah.

Akhirnya lihat juga saya, berita tentang penggusuran di stasiun UI.

Saya boleh jujur ya? Tadi saya spontan tertawa melihat kalian, teman-teman yang berdemo.

Saya tahu itu tidak baik. Tawa itu kesannya merendahkan bukan? Saya coba pahami posisi kalian. Apapun kesimpulan saya, tetap tidak patut saya rendahkan kalian. Maaf untuk kespontanan saya.

Tapi mungkin ada sebabnya juga kenapa saya tertawa. Kalau kalian mau dengar kisah nyata saya berikut ini…

Tempat jualan keluarga saya pernah digusur. Dua kali. Itu semasa saya sudah cukup besar untuk mengingat sesuatu. Saya yakin sebelumnya pernah juga beberapa kali.

Ya. Bapak saya cari penghidupan di pinggir jalan, sejak sebelum saya lahir, sampai sekarang. Sampai dua anaknya kuliah di UI.

Dan digusur itu menyebalkan. Yah, kalian tahulah. Kalian semua punya TV kan? Paham sekali pasti kalian, dengan amukan ibu-ibu korban gusuran.

Ibu saya pernah masuk TV lho. Persis sama seperti ibu-ibu di berita itu. Mengangis. Mengamuk. Bangunan kami dibongkar paksa. Tak ada ganti rugi. Bahkan lebih parah dari korban di Stasiun UI, tidak ada janji relokasi. Itu tempat usaha, baru saja kami bangun. Sehingga jadi terlalu bagus untuk sebuah tempat keagenan koran. Lantai berkeramik. Ada WC pula.

Mohon pahami sedikit, kalau kalian datang dari keluarga kantoran atau keluarga pengusaha bukan-jalanan. Bagi kami pengusaha jalanan, itulah yang namanya promosi jabatan. Sebuah investasi. Sebuah perwujudan dari harapan akan masa depan yang lebih baik. ITU HARGA DIRI KAMI.

Dan kami berani berinvestasi, karena sebelumnya sudah ada transaksi. Sudah ada ‘pihak Pemda’ yang meyakinkan dan menjamin bakal aman. Ternyata? Traktor itu datang. Kami berkemas. Lalu kami melihat. Lalu kami menangis. Menuntut hak kami? Aih, kami cuma orang jalanan, tolong ceritakan pada kami, sebenarnya apa sih ‘hak’ itu?

Saya tidak ada di TKP saat kejadian waktu itu. Tapi membayangkannya saja sudah membuat saya menangis sekarang. Membayangkan betapa hancurnya perasaan orang tua saya.

(Ibu saya sampai membuat cerpen yang sedikit terinspirasi dari pengalaman nyatanya. Dimuat di Harian Republika)

Nah, kawan-kawan juniorku di UI. Justru di titik itulah saya spontan menertawai kalian, yang berdemo tadi pagi.

Sama seperti permasalahan sengketa tanah di segala penjuru Indonesia. Mungkin juga sama dengan permasalahan korupsi. Yang ‘berdosa’ di sini adalah sistem. Bukaaan, bukan ‘oknum’ licik yang berhasil meyakinkan orang tua saya untuk bertransaksi dengan mereka. Mereka salah sih memang. Tapi mereka memang wajar muncul…

Ketika sistemnya yang bermasalah.

Sistem bermasalah. Mungkin kalian lebih suka sebut itu ketiadaan hukum atau aturan. Atau hukum ada tapi kurang ditegakan. Kurang disosialisasi. Saya sebut itu masalah sistem. Sistemik, kalau pinjam dari kasus bank Century.

Pemda yang merubuhkan kios kami waktu itu. Juga mungkin PT. KAI hari ini. Bagi saya mereka justru datang menegakan sistem. Telat memang. Itu kesalahan terbesar mereka. Tapi aksi gusur mereka? Entah ya? Justru tidak salah di mata saya.

Separah apapun Pemda Kota Tangerang pernah menghancurkan hati keluarga saya. Berkeping-keping.

(Kalian harus tahu betapa berat sebenarnya saya mengatakan hal ini.)

Saya tidak menyinggung apa dasar kebijakan penggusuran-penggusuran ini diambil oleh PT. KAI.  Apakah ini langkah paling bijak untuk semua pemangku kepentingan PT. KAI? Saya tidak bahas opini saya tentang itu di sini. Bagi saya, apapun opini saya, bijak atau tidak, pada akhirnya adalah tidak salah untuk melakukan sesuatu atas lahan sah milik mereka. Seperti yang juga Pemda lakukan terhadap kios orang tua saya. Silahkan buat tulisan lain, kalau mau membahas hal tersebut. Tulisan ini, pada akhirnya hanyalah tentang sebuah impian di bawah ini.

Saya bermimpi. Sesuatu yang sederhana. Sesuatu yang menjadi alasan kenapa negara itu harus ada. Mimpi bahwa akan ada Indonesia, di mana pedagang jalanan seperti orang tua saya, bisa jelas mengurus semua urusan administrasi dengan jelas. Berhubungan langsung dengan otoritas yang sebenarnya. Sehingga kedua belah pihak mengerti betul detail dari transaksi mereka. Sehingga kalaupun terjadi apa-apa, yang merasa dirugikan akan cukup PD untuk membawa ke meja hijau. Meja hijau yang menutup matanya ketika sedang menimbang keadilan.

Jadi kesimpulannya, saya dukung kalian sepenuhnya junior-juniorku. Untuk demo turun ke jalan. Tapi untuk lawan tirani yang sebenarnya. KEJELASAN DAN PENEGAKAN HUKUM DI NKRI.

Tapi jangan lupa. Demo saja tidak cukup (seringkali, jelas-jelas tidak cukup). Lanjutkan dengan usaha sungguh-sungguh kalian untuk jadi orang besar. Orang kuat. Bangun sistem yang jelas dan berjalan. Dukung segala usaha untuk itu.

Negara Indonesia yang kata kalian bobrok ini, tidak lain dan tidak bukan, hanyalah representasi pemuda-pemudinya di masa lampau. Dan kitalah nanti yang akan merepresentasikan Indonesia, di satu abad usianya, di tahun 2045. Saya percaya dengan kalian. Harus.

Merdeka!!!

Dari status Facebook saya sendiri: http://www.facebook.com/rizky.syaiful/posts/10200400285744529

5 thoughts on “Gusur: Surat untuk Para Pendemo di Stasiun UI, dari Anak UI yang Pernah Jadi Korban Gusur”

  1. Mau cerita nih kak, sebenernya anak-anak FIK kemarin ngga bolos UAS. Mereka ada ujian praktek yang dimulai jam 10. Kebetulan mereka dapet giliran belakangan, jadi mereka sempetin buat ikut demo duluan. Trus sekitar jam 11.30 mereka tetep balik ke FIK kok, buat ikut ujian praktek. Jadi mereka ngga bolos UAS. CMIIW 😀

    Reply
    • bukan kali ini aja media menyudutkan almamater UI

      saat kejadian di MIPA sampe densus 88 dateng juga kyk gitu – awalnya saya marah tp setelah mendengar dari anak MIPA langsung ternyata beritanya diplinter media akhirnya sy mengerti –

      dan sebelum2nya juga ada..

      entah kenapa media demen menyudutkan anak UI

      tp yg saya tahu BSH UI itu banyak

      Reply

Leave a Comment