. . .
Pada rekah fajar,
saat bulan sabit
yang pucat di tengah gemilang jingga
dengan iri berindap dengki,
– gentar akan terangnya hari,
bersingjingkat
menyabiti hamparan mawar
hingga pucat terkulai ke gulita malam:
demikianlah dahulu kuterlukai
dari gila-kebenaranku,
dari rindu-rindu siangku,
muak akan siang, sakit oleh cahaya –
tenggelam, ke malam, ke gelap,
oleh Satu kebenaran
terbakar dan dahaga.
– ingatlah kau, wahai kalbu membara,
betapa dulu kau dahaga
akan keterusiranku
dari tiap kebenaran!
Cuma pandir! Cuma penyair!
. . .
Nietzsche: Nur Narr! Nur Dichter! (Cuma Pandir! Cuma Penyair!)
Petikan puisi dari Nietzsche di atas akan mengawali pembicaraan kita berkenaan tentang kebenaran dan kegilaan manusia. Puisi tersebut di ambil dari kumpulan puisi Nietzche bertahun 1882 – 1888 (dalam judul Dithyrambos Dionysos). Beberapa larik dari puisi tersebut, sudah menyiratkan kepada kita perihal sebuah masalah dari manusia. Mungkin saja pokok tersebut menjadi sebuah permasalahan manusia yang tiada pernah akan terselesaikan secara tuntas. Bersama puisi tersebut marilah kita refleksikan segala yang berkaitan dengan manusia.
* * *
Saya kira permasalahan mendasar dari manusia adalah sebuah kegelisahan abadi. Sebuah beban yang tertanggungkan secara mendasar di dalam kemanusiaan itu sendiri. Rasa gelisah manusia menunjuk pada sebuah karakteristik purba berkenaan dengan passion (hasrat). Passion yang menjadikan manusia dalam keliaran, dalam potentia, dalam keterpurukan serta keterlemparan dari mitos-mitos, juga menjadikan manusia terjebak dalam aneka ragam bayang-bayang egonya: kebebasan, kebenaran, keabadian. Menurun dari passion, manusia semakin menegaskan kegelisahan, semakin gundah-gulana tiada pernah terhentikan. Layaknya samudera yang terus menderu dalam gelora, dalam badai. Menghantam seluruh tepi-tepi karang, sejarah kehidupan manusia yang membeku.
Manusia menyadari kegelisahan tersebut dalam perjalanan panjang sejarah, serta dengan pencapaian akan kesadaran. Kesadaran, telah terbukti menjadi selubung gelap pengetahuan manusia dari zaman klasik hingga modern, dari sari kebijakan Timur semacam Zen hingga seluruh pencapaian sejarah filsafat Barat. Kesemuanya berupaya menguak tabir misteri semesta, membongkar mitos-mitos penuh kegelapan seraya menghadirkan secercah kebenaran, bagi manusia. Tapi tetap saja tak pernah bertemu dengan ujung penyelesaian.
Kesadaran manusia itu sendiri berkenaan dengan seluruh pertanyaan-pertanyaan mengenai kehidupan juga tentang kematian. Manusia sebagai makhluk yang memiliki kehidupan, lantas mempertanyakan segala hal berkaitan dengan hidup itu sendiri. Apa itu kehidupan? Apa itu dunia? Apa itu kenyataan? Apa itu hidup? Mengapa hidup ini bisa terjadi? Untuk apakah hidupku ini? Dari manakah aku berasal? Dan akan kemana? Itulah segelintir saja pertanyaan manusia dari seluruh pertanyaan tiada habis berkenaan dengan hidupnya.
Tidak hanya hidupnya yang manusia pertanyakan tiada henti. Perihal kematian pun manusia gelisahkan tiada habis-habisnya. Apa itu kematian? Kenapa manusia mati? Apa yang akan terjadi setelah manusia mati? Kenapa kematian harus terjadi? Tidak adakah jalan selain kematian itu? Semua itu benar-benar menggelisahkan sang manusia. Tidak ada detik kehidupan manusia yang terlewatkan tanpa ketakutan. Tanpa rasa gemetar untuk menghadapi kesunyian yang penuh dengan selubung misteri. Sebuah kematian yang membawa pada keabadian.
Tanggapan manusia berkenaan dengan seluruh pertanyaan-pertanyaan tersebut cukup beragam. Salah satu di antaranya terangkum dalam sebuah skema kisah-kisah agama dan tuhan. Agama menjadi salah satu spirit manusia, baik secara personal maupun juga komunal. Akan tetapi agama secara jelas lebih menguatkan pengaruh secara komunal. Ritus yang kemudian diwartakan oleh agama-agama perlu dijalankan dalam skema komunal. Eksistensi kebersamaan secara alami ditegaskan dengan kuat oleh agama. Termasuk juga dengan kematian. Kematian yang pada prinsip dasarnya adalah sebuah proses alamiah dari eksistensi mahkluk hidup, oleh agama diubah menjadi sebuah titik tolak misteri yang penuh dengan kategori sakral. Kematian dianggap sebagai sebuah pintu gerbang penuh penantian yang akan membawa manusia berjumpa secara abadi dengan tuhan. Karenanya, ada upacara secara kolektif yang kemudian tercipta sebagai sebuah tanda perwujudan dari ritus kematian.
Begitu juga dengan kesadaran akan kehidupan. Skema agama dan tuhan setelah memberikan jubah sakral bagi kematian. Juga memberikan pemahaman besar mengenai rancangan besar nan agung mengenai alam semesta. Alam semesta yang kemudian disadari dan juga nantinya dialami oleh manusia ini dikisahkan sebagai sebuah kerja kreatif dalam skema besar kreasionisme.
Prinsip kreasionisme telah memberikan pemahaman bahwa alam semesta merupakan sebuah rancangan kreatif dari tuhan. Dengan demikian kehendak tuhanlah segala-galanya ini berpusat. Pokok terpenting dari kreasionisme ini adalah adanya kekuatan adikodrati yang menjadikan segala-galanya, entah melalui ketiadaan (ex-nihilo) ataupun dari suatu realitas kheos (demiurgos) yang kemudian menjadi teratur.
Jawaban tersebut pada suatu waktu diterima bahkan diyakini. Hingga kini pun sebagian penduduk dunia masih menjadi penganut paham besar kreasionisme ini. Melalui otoritas agama serta pewarisan secara kultural maupun juga ekspansional (perang), paham kebenaran agama dan tuhan sebagai sebuah pusat dari eksistensi semesta dilestarikan di dunia. Manusia seolah-olah menemukan kebenaran melalui skema itu. Kesadaran manusia memberikan pembenaran bagi prinsip ini. Reason atau akal manusia menjadi jalan bagi usaha pencarian sekaligus legitimisan dari kebenaran mengenai tuhan dan semestanya.
Akan tetapi melalui sebuah kesadaran manusia juga, pengalaman keduniawian manusia lantas memperlihatkan berbagai ketaksesuaian dengan prinsip kreasi tuhan. Pengalaman manusia memberikan kenyataan lain mengenai dunia yang tidak sempurna. Dunia yang penuh dengan aroma tak mengenakan dan berwajah gelap. Ini merupakan sebuah kontradiksi dari prinsip kesadaran yang diterima begitu saja pada awalnya.
Mengapa dunia yang dicipta secara sempurna ini masih saja menampakan tanda-tanda ketidaksempurnaan? Mengapa manusia harus mengalami kematian? Mengapa ada yang miskin dan ada yang kaya? Mengapa ada orang-orang sakit dan cacat? Mengapa ada ketidakadilan? Bukankah tuhan yang mempunyai kekuasaan penuh mencipta segala-gala ini dapat saja menghilangkannya? Mengapa tidak tuhan lakukan?
Reason manusia lantas menemukan jawabannya, mengarah kepada sosok bernama evil. Evil menjadikan sosok kegelapan dan ketidaksempurnaan memperoleh wujud konkretnya. Seluruh kreasi tuhan mengenai semesta lantas dimitoskan diganggu oleh sosok evil itu. Pembenaran mengenai evil ini menjadikan seluruh pengalaman manusia yang tak sempuran tadi mendapatkan penjelasannya. Pemahaman ini dapat ditelusur melalui pandangan Theodicy. (lihat Theodicy: Essays on the Goodness of God, the Freedom of Man and the Origin of Evil, Leibinz: 1978)
Moral tentang yang baik dan buruk
Sepertinya reason manusia berkenaan dengan tuhan dan evil, hanya akan membawa manusia pada penimbangan mengenai yang baik dan buruk. Suatu prinsip mendasar yang menyelimuti seluruh kehidupan manusia hingga kini. Baik manusia secara personal maupun manusia pada hitungan kawanan (komunal). Penimbangan mengenai yang baik dan yang buruk tersebut lantas menjadi prinsip moral manusia. Manusia meyakini menjadi satu-satunya mahkluk di dunia yang merengkuh hukum universal tersebut.
Moral mengendalikan manusia. Moral mengendalikan kehidupan manusia. Moral adalah hukum. Hukum dalam keteraturan, manifestasi dari prinsip mendasar alam semesta: teratur.Kesadaran yang merupakan pencapaian eksistensi tertinggi manusia pun pada akhirnya mau tidak mau harus menunduk malu pada moral itu. Moral memberikan semacam pentunjuk bagi manusia dalam menentukan pilihan jalan kehidupan manusia. Mana yang baik, mana yang buruk.
Dalam risalah fiktifnya, Nietzche menyatakan asal muasal moral manusia pada sesosok nabi bernama Zaratrustha. Sesosok nabi dalam agama kuno Persia menunjukan kepada umat manusia perihal cahaya dan kegelapan. Menunjukan kepada manusia perihal kebaikan dan keburukan. Itulah hukum semesta. Semesta yang secara reason dipahami sebagai sebuah wujud keteraturan dalam skema cahaya (tata surya). Seluruh kehidupan dalam alam semesta memang sangat bergantung dengan cahaya, dengan matahari. Maka tidak mengherankan pula pada tradisi agama-agama semit memberikan keagungan kepada matahari: nur, bintang timur, cahaya, terang semesta.
Yang baik adalah yang terlihat, yang buruk adalah yang tersembunyikan. Yang terlihat adalah segala-gala yang dapat dicerna oleh mata (terbaca), terindrawi dan yang estetis sebagai sebuah perwujudan dunia yang indah. Yang buruk adalah kekelaman, yang berada di dalam perasaan terdalam, yang emosionil penuh dengan nafsu. Buruk adalah segala kegelapan malam, dengan lolongan anjing dan serigala kelaparan yang mengawasi kota, siap untuk memangsa. Yang buruk adalah segala yang kuasa, yang menguasai tanpa menjadi anak-anak dari yang terlihat, tanpa mengakui dari yang cahaya. Buruk adalah oposisi. Sekalipun alam semesta memiliki dasar kegelapan yang hebat!
* * *
akhir dari moral …. kegilaan
. . .
Tuhan sendiri – pernahkah ia mengawali?
Tuhan sendiri – pernahkah ia memulai?
Nietzche: Alle ewigen Quell-Bronnen (Semua Mata Air Abadi …)
Manusia memang sebuah bayang-bayang gelap, tak pernah terselesaikan. Bahkan ketika dunia sudah penuh kedamaian dalam naungan rancangan agung sang tuhan, lama kelamaan tuhan pun dia gugurkan sendiri. Sebagai pencipta nilai-nilai, manusia memang mempunyai segala kuasa atas segala yang tercipta. Manusia mencipta segala yang khayali. Segala macam rekaan yang seringkali diberi selubung kebenaran.
Dapatkah manusia memberikan pembenaran akan tuhan yang mengawali segala sesuatu? Ya dan tidak. Ya dalam sebuah skema kelogisan atas seluruh hasrat kerinduan manusia akan kebenaran, dan tidak ketika manusia merasa jatuh tersungkur dan tidak berdaya tanpa sebuah pertolongan apapun. Bahkan dari sebuah keajaiban. tuhan bagi manusia, dalam pandangan Nietzche adalah sebuah ilusi. Diciptakan sebagai sebuah rekayasa untuk menutupi segala kelemahan manusia yang tidak ingin diakuinya. Diciptakan untuk memberikan sebuah kode impian bernama pengaharapan akan jaminan kehidupan setelah kematian dalam keabadian.
Penantian, penantian dan terus penantian, itulah jati diri lemah manusia yang ketika tersungkur dalam permainan kehidupan, sebuah keberulangan Abadi, manusia merasa tak berdaya, merasa kalah. Atas semua kekalahan dan ketakberdayaan tersebut manusia pun masih mengingkarinya, masih merasa bukan sebagai kemanusiaan. Manusia mencipta tuhan dalam pikiran-pikiran, dalam khayalan-khayalan, dalam spirit kehidupan, dalam kerumunan dan gerombolan. Manusia berani menyatakan tuhan atas nama kebersamaan dengan banyak manusia-manusia lain. Manusia berkerumun bersama-sama, menunjuk tuhan, menghadirkan tuhan seraya berlindung dibaliknya. Bersembunyi dan menjadi naif atas seluruh kemanusiaannya.
Manusia-manusia di masa kini sungguh suatu manusia dalam kerumunan kegilaan. Berduyung-duyung mengejar segala passion, meluapkannya dalam puncak keberlimangan dunia seraya mengejar segala yang akhirat. Manusia-manusia gila sedang menghuni tempat-tempat terbaik dari kita, bersemayam dalam puncak kuasa raja juga dalam secibir buaian jalanan. Gila menjadi sebuah cara manusia mengamini segala yang kemudian tak lagi dapat diperjelas dalam kebenaran. Manusia menjadi gila dalam kesendiriannya, dalam kekosongan untuk sekedar bergerak melampaui diri mereka sendiri. Manusia sungguh sedang menderita, sungguh tak berdaya. Bencana, keputusasaan, hidup yang tak lagi bermakna, kemunafikan, kematian secara massal bahkan segala hal yang hidup pun kini tak lagi menunjukan rasa bagi manusia. Segala hanya kegilaan, saat sang moral telah dihentikan atas nama ego, atas nama kebebasan.
Moral pada zaman ini berakhir lewat legalitas rasional. Hukum yang secara instrumental telah menatah segala yang obyektif pada ragam bentuk benar-salah. Reason menjadi salah satu fondasinya. Manusia bukan lagi dikendalikan oleh nurani hati nurani (mores) sebagai perwujudan moral, melainkan relasi kontraktual antar sesamanya (atau juga menggunakan prinsip lawan-kawan; Schimt). Dengan demikian, manusia bukan saja mengubah segala kondisi yang selama ini menyelingkupinya, melainkan juga menciptanya kembali dengan sebuah tatanan yang baru. Alam yang penuh dengan segala yang reason, adalah alam yang sudah mengubah wajah tuhan. Tuhan telah mati, begitu kata Nietzche. Dalam artian bukan lagi menjadi penjaga absolut dari moral manusia. Bukan lagi menakut-nakuti manusia melalui suara-suara gelap (atas nama moral). Tuhan masa kini telah dijadikan sebagai sebuah obyek baru, yaitu suatu perwujudan rasional atas pilihan benar-salah, selamat atau tidak selamat. Manusia-manusia hari sudah menafsir tuhan dalam kerangkan instrumental. Manusia mencari jawaban perihal the choosen one (yang terpilih) seperti dalam penggambaran Max Weber.
Moralitas manusia hari ini adalah sebuah kegilaan. Kegilaan akan penantian tiada henti akan keselamatan dunia yang akan datang. Keselamatan dalam skema keabadian. Sejarah manusia lantas memang sebuah sejarah perjuangan. Perjuangan antar kelas yang terpilih dan kelas yang tidak terpilih. Moralitas diukur sejauh itu. Tetapi memang apa daya, manusia tak dapat memastikan dengan benar-benar apa yang akan mereka hadapi ketika kematian itu datang. Percaya, keteguhan, keyakinan bahkan pembelaan yang kuat dan mati-matian akan sebuah ajaran dan tradisi atas seluruh ramalan mengenai zaman yang akan datang menjadi sebuah keniscayaan manusia-manusia masa kini –yang saya sebut sebagai kegilaan—agar mereka mampu mati dalam ketenangan.
* * *
Akankah semua cerita tentang zaman yang akan datang itu memang benar adanya?
Tidak ada yang tahu pasti, kecuali kita menjemput kematian. Tetapi apa daya, hingga hari ini masyarakat kita atas nama apapun sangat membenci bunuh diri. Juga ketika kita pun mengamini seluruh sabda dari Nietzche: berkatalah “Ya” atas seluruh hidup yang kita tanggung.
Jangan pernah menolak kehidupan, sama seperti jiwa Diyonisos yang terus bergelora memberikan keliaran kehidupan (juga pengetahuan) kepada sang Apollo yang bernyanyi memanggilnya.
sepertinya hanya memakai referensi tokoh2 materialis rasionalis, jika bahasan berkaitan dgn tuhan dan agama, coba cari tau lewat kitab suci. karena segala sesuatu yg benar, yg bersifat ke-tuhan2-an, tidak melulu bisa dirasionalkan. daya jangkau rasional kita terbatas, ada kalanya kita hanya dituntut untuk percaya saja. itulah yg disebut iman
Kategori ‘iman’ tidak terlepas dari skema bahasa, geografis, sejarah dan juga pandangan nilai-nilai dari inti kebudayaan.
Setiap dari kita, menggunakan kata dan kategori ‘iman’ dalam konteks posisi identitas masing-masing subyek maupun juga makna kategori tersebut yang secara komunal kita gunakan. Bagi orang dari latar kebudayaan Jawa, mungkin kategori tersebut akan dikaitkan dengan nilai semacam pasrah dening parang dumadi (penyerahan total kepada yang ilahi). Bagi orang dari skema etnik yang berbeda mungkin juga akan menemukan kategori afinitasnya yang lain.
Menggunakan kata ‘iman’ sendiri sebenarnya merupakan sebuah skema kebudayaan yang bukan berasal dari alam nusantara ini. Kata ‘iman’ merupakan akar kata yang diambil dari bahasa Arab (الإيمان). Apabila ditarik secara etimologis kasar dalam Bahasa Indonesia dapat dimaknai sebagai ‘percaya’. Sekalipun perlu mendapatkan catatan juga, kata percaya dalam bahasa Indonesia merupakan padanan kata untuk ‘save’ dalam Bahasa Inggris, sehingga memiliki sedikit perbedaan makna dengan akar kata Bahasa Arabnya.
Masih dalam skema bahasa Arab, kata ‘iman’ tersebut juga dapat dirujuk dari kata kerja ‘aamana’, juga ‘yukminu’ yang dapat dimaknai sebagai ‘percaya’, ‘membenarkan’.
(Rujukan dalam skema pandangan Islam mengenai ‘iman’ dapat dilacak pada Surat At-Taubah ayat 62.)
Dalam tradisi Kristen, dengan menggunakan skema Kitab Perjanjian Baru-nya, kata ‘iman’ tidak dituliskan dengan menggunakan rumpun bahasa semit, melainkan menggunakan bahasa Yunani (yang merupakan bahasa yang cukup dominan dalam penulisan Kitab-Kitab Perjanjian Baru). Bahasa Yunani menggunakan kata “pistis” dan “pisteuo”, yang bermakna ‘iman’ dan ‘percaya’. Salah satu rujukan dalam skema tradisi Kristen berkenaan dengan ‘iman’ adalah dalam Ibrani 11:1, berkaitan dengan ungkapan dari Paulus (salah satu tokoh penting dalam tradisi Kitab-Kitab Perjanjian baru).
Dengan demikian, ketika dalam skema pengetahuan yang kemudian kita pahami, serta dirasionalisasi sehingga menjadi seperangkat nilai yang memiliki pokok-pokok keteguhan (orang biasnya menyebutnya percaya begitu saja) kategori bernama ‘iman’ kita makfumi, maka secara jelas skema kebudayan yang kita anut adalah skema dalam tradisi-tradisi yang dapat dirujuk akarnya, entah dari skema kebudayaan Arab-semit, Yunani-Kristen. Pada perkataan yang lain dan lebih sederhana, kita menggunakan skema kebudayaan ‘asing’, ‘yang lain’ yang entah karena suatu ekspansi kebudayaan ataupun dominasi yang kemudian sedang terjadi dalam pengetahuan dan nilai-nilai mereka (asing) kepada manusia-manusia yang hidup dan mengalami ruang, waktu geografis nusantara ini.
Salah satu fenomena yang juga sedang marak dalam masyarakat hari ini adalah hadirnya nilai-nilai yang begitu saja diterima secara absolut (mutlak) hingga hanya memberikan ruang nilai biner (kategori benar-salah) yang terkadang menjadi nilai-nilai radikal (dan merusak).
Sikap percaya yang berlebihan, tanpa didasari dengan ketermungkinan aras logika yang lebih terbuka, jelas dapat membahayakan. Skema logika benar/salah dalam tradisi Aristotelian secara jelas hanya membawa kategori-kategori pengetahuan yang kita ambil pada sebuah mekanisme labirin skema teori pembenaran. Sebuah upaya yang hendak menjebak kita dalam pilihan untuk menemukan jalan keluar, padahal mungkin saja tidak.
Dunia mungkin saja tidak hanya hitam-putih, benar-salah. Hampir semua kehidupan yang kita jalani adalah mekanisme abu-abu (suatu gradasi dari hitam dan putih, juga benar dan salah). Kategori nilai saja (yang ini merupakan proses kebudayaan manusia baik secara individual maupun komunal) yang lantas memberikan penilaian dan juga keyakinan, seperti Nietzche memberikan metafor Zaratrusta, sang moral.
Kebenaran tentu saja tidak berhenti pada sebuah mekanisme ‘akhir’ dan ‘final’, sama seperti alam semesta yang selalu hidup dan berkembang (dinamis) dalam beragam dimensi.
Mungkin saja kebenaran-kebenaran yang sedang mengisi relung-relung jiwa kita, adalah kebenaran dalam salah satu dimensi alam semesta saja.